Hari berlalu tanpa aku memikirkan tentang Naoki lagi. Rasanya lebih tenang. Lebih banyak waktu untuk mendengarkan curhat Satria yang sedang jatuh cinta dengan teman satu kantornya. Pun juga menemani Adrian yang baru saja mengalami penolakan dari penerbit jurnal untuk paper ilmiah pertamanya di Jepang.
Eksperimenku pun bukan tanpa halangan. Berkali mengulang akibat sampel yang terlalu lemah, atau stagnan. Tak jarang aku dan Adrian mencuri waktu disela kesibukan, untuk sekedar berbincang dan bertukar pikiran.
Tanpa disadari bahwa kami menjadi lebih dekat dari yang dikira. Kami sama-sama memahami satu sama lain seperti dari alam bawah sadar.
"Jadi, Adrian sudah menyatakan perasaannya?", tanya Satria di suatu waktu.
Aku hanya membuat suara gumaman yang menyiatkan kealpaan.
"Cemen si. Apa yang dia tunggu?", keluh Satria.
"Apa mungkin karena aku dari keluarga yang ga selevel sama keluarganya ya?"
Satria kaget mendengar penuturanku.
"Hah! Keluarganya nggak sesempit itu, Em. Ibunya baik dan sederhana banget, kan. Ayahnya memang nampak seperti kebanyakan bos-bos, tapi baik banget kan?", sanggah Satria.
"Iya, tapi kan itu karena kita dianggap temannya Adrian, bukan sebagai calon pasangan hidupnya Adrian kan?"
Satria tidak segera menjawab. Hanya gumaman yang mengisyaratkan antara setuju dan tidak dengan pernyataanku.
"Sat, kalau beneran alasannya seperti itu, apa yang harus aku lakukan?"
"Mmmmmm.......", Satria bergumam sangat lama, sebelum akhirnya melanjutkan, " kamu harus jadi sukses, atau kaya, pokoknya kamu harus selevel."
"Muri!", kataku pesimis.
(Muri: tidak mungkin/impossible)
"Iya sih"
Lalu kami saling terdiam.
"Menurutku, Adrian ga gitu. Mungkin aja dia lagi pusing dengan studinya. Kamu bilang kemaren dia hampir frustasi karena ditolak jurnal kan? Setahu aku, dia tipe yang mengutamakan studi dari dulu", ujar Satria sebelum mengakhiri teleponnya.
Tentang ini, sebenarnya aku mempunyai banyak pemikiran. Mungkin saja Satria benar. Atau mungkin saja ketakutanku yang menjadi alasan sebenarnya. Atau jangan-jangan, Adrian telah menebar banyak jala di tempat lain. Siapa yang tahu?
Disini, mungkin terlihat bahwa akulah yang menjadi orang terdekatnya. Tapi di tempat lain? Apalagi dia adalah pengurus pusat PPI Jepang. Temannya pasti banyak.
"Aaaaaaaaaaaaaaa........", teriakku menolak untuk memikirkan hal itu.
Suara ponsel membuyarkan lamunanku. Sebuah panggilan masuk dari Adrian. Panjang umur, kataku dalam hati.
"Halo.."
"Em, makasih supnya ya. Sorry, tadi ga bisa nemuin langsung sebelum kamu pulang ini baru kelar zemi."
(zemi = seminar)
"Gapapa, ganbatte ya buat papernya."
"Makasih ya, Em. Kamu dah makan kan?"
"Udah. Pulang jam berapa?"
"Mmmm...belum tau nih, kayaknya pagian, aku harus kasih major revisi dulu sama sensei minggu ini. Kayaknya beneran aku salah tangkep maksud sensei di penelitian ini. Jadinya salah konsep kan, duh."
"Jaga kesehatannya. Muri shinaide. Pelan-pelan sambil dikerjain yang teliti ya."
(muri shinaide = jangan memaksakan diri)
"Arigatou ne, Em, selalu kasih semangat"
"Iiyo, udah sana dimakan dulu, laper kan pastinya."
"Iya hehe, arigatou ya Em..."
Aku ingin sekali berkata "aku sayang kamu", namun kuurungkan. Aku terlalu malu untuk tiba-tiba mengatakannya.
Apakah aku harus mengungkapkan perasaanku terlebih dahulu? Bagaimana jika memang bukan aku yang menjadi pilihannya? Tiba-tiba ada keraguan yang kemudian mendominasi hati dan pikiran ini.
"Ting", suara notifikasi ponsel membuyarkan lamunanku. Sebuah email masuk dari Aoshima sensei.
Dear Emi-san,
Datamu sudah cukup untuk dimasukkan kedalam laporan kegiatan selama pertukaran pelajar ini. Namun, jika kamu ingin menjadikannya sebuah paper ilmiah dan menerbitkannya di jurnal bergengsi, kamu harus melakukan beberapa eksperimen tambahan.
Masih ada cukup waktu untuk melakukannya jika kamu tertarik. Datanglah ke ruangan saya besok siang.
With best,
Aoshima Haruto
Betul. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk memikirkan tentang asmara. Ada hal yang lebih penting.
"Yosh!! Ganbaru ze!!", teriakku mulai bersemangat.
"Ting", notifikasi ponselku berbunyi kembali.
Kulihat pesan yang tertera. Oh Tuhan, kumohon, cukup Adrian yang menjadi distraksi, jangan yang ini.
Hai Emi.
Ini aku, Naoki. Apa kabar? Aku dapat kontakmu dari Burham. Semoga kamu tidak keberatan.
Minggu depan aku akan ke Nagoya untuk urusan pekerjaan.
Apakah kita bisa bertemu? Ada yang ingin kubicarakan.
Kumohon.....
KAMU SEDANG MEMBACA
I Fall in the Autumn (Completed)
Romance(TAMAT) Emi adalah gadis biasa anak pasangan petani di sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Dia bersahabat dengan Satria, cowok tampan yang banyak digemari oleh para cewek di sekolah mereka. Kepada Satria, Emi menceritakan tentang cintanya kepada Naok...