I Fall in the Autumn Part 7

261 36 5
                                    

 Selepas Aoshima sensei pergi, aku mulai berberes sedikit dan mencoba mengaktifkan telepon gengamku duntuk menghubungkannya dengan koneksi internet di kamarku. Kulihat Satria berusaha menghubungiku sebanyak 102 kali hari ini. Aku menghela nafas panjang, tersenyum dan mulai meneleponnya. Seperti biasa, belum juga aku bicara, dia sudah memarahiku karena tidak segera menghubunginya begitu sampai di Jepang. Dia baru reda ketika aku menceritakan semua kejadian secara detail dan runut. Dia mengatakan bahwa ayah dan ibu sangat mengkhawatirkanku. Aku memintanya untuk menghubungkan ke ayah dan ibu karena orang tuaku tidak mempunyai smartphone bahkan telepon rumah. Setelah menghubungi orang tuaku, aku merasa sangat lega. Setidaknya kekhawatiran orang tua melepas anaknya merantau jauh bisa sedikit reda.

Aku dan Satria masih seperti biasanya. Tidak ada yang berubah diantara kami. Hanya saja, Satria kini sudah bekerja di salah satu perusahaan media yang sedang naik daun. Menjadi seorang manager muda yang luar biasa. Aku sangat bangga dengannya. Sedangkan teman-temanku yang lain, mereka sebagian sudah ada yang menikah, bekerja dan ada juga yang sepertiku masih mengejar mimpi untuk bisa bersekolah tinggi. Bahkan, Burhan temanku itu kini sudah menjadi seorang dokter. Kabarnya dia sedang berusaha mendekati Kyla. Namun dimataku, Kyla masih selalu dengan Naoki. Beberapa kali aku melihatnya pada unggahan sosial medianya. Semakin hari, teman-teman semakin menjodohkan aku dengan Satria. Dan Satria selalu menanggapinya dengan mengatakan bahwa nanti dia akan datang ke rumah orang tuaku. Padahal, sejak kecil memang dia sudah sering keluar masuk rumahku. Tentu saja itu hanya bercanda, karena meski kami dekat satu sama lain, kami tidak pernah saling mencintai.

"Em, nanti kirimin foto yang bagus ya. Di pakai itu kamera hadiah dariku itu, jangan cuma dipajang", kata dia suatu waktu.

"Brisik, iya nangi kukirim foto kalender", jawabku menanggapinya.

Menjelang kepergianku ke Jepang, Satria semakin sering menggodaku tentang Naoki.

"Cie...chance mu untuk bertemu Naoki besar banget tuh disana. Terus aku dilupain pasti kalau kamu jalan bareng Naoki. Emi ga pernah mengghubungi Satria lagi, apakah mereka putus? Gitu nanti gosipnya".

Aku hanya bisa menjawab, "Bodo amat". Karena memang, meski sudah kulupakan segala tentang Naoki, namun masih ada sisa rasa yang tidak bisa hilang begitu saja.

Akhir pekan ini, aku putuskan untuk berkeliling di sekitar tempat tinggalku yang baru. Sekedar mengambil gambar yang diminta Satria, atau menghubungi ibu Satria untuk menghubungkannya dengan orang tuaku. Aku mencoba untuk beradaptasi dengan lingkungan baruku. Mencari tahu dimana aku harus belanja makanan, dimana aku harus belanja barang. Karena mulai minggu depan, aku tahu aku akan semakin banyak kegiatan. Meskipun aku masih belum bisa beradaptasi dengan dinginnya udara musim dingin. Meski Pak Rafi mengatakan bahwa sudah mulai hangat karena bunga Ume (plum) sudah bermekaran indah, namun bagiku tetap saja terlalu dingin untuk kutinggali.

Senin pagi, aku memutuskan untuk datang lebih awal ke kampus. Belum ada siapapun di ruang siswa. Belum ada satu menit aku duduk di meja kerja baruku ini, datanglah Pak Rafi yang terkejut akan keberadaanku.

"Oh! Selamat pagi, ini pasti Mbak Emi, yang mau exchange enam bulan disini ya?", sapanya ramah dengan logat jawa yang masih sangat kental.

"Iya, bapak Pak Rafi ya? Mohon bantuannya pak. Dan selamat juga atas kelahiran putra..."

"Putri mbak" potongnya,

"Iya selamat atas kelahiran putrinya pak, semoga sehat dan sholehah" kataku.

"Terima kasih mbak Emi. Mohon maaf hari Jumat seharusnya saya yang menjemput mbak Emi tapi istri saya kontraksi dari jam 1 sampai jam 5 pagi melahirkannya, sudah panik saya tengah malam itu. untungnya Raju-san baik hati jadi mau gantikan saya dia. Dan Raju-san juga yang mengantarkan saya ke rumah sakit itu sebenarnya", kelakar Pak Rafi.

Kami berbincang sejenak mengenai rencana aktifitas saya selama disini, kemudian Pak Rafi menuju meja kerjanya dan menghidupkan komputernya. Pak Rafi berkata bahwa dia harus mencetak artikel ilmiahnya untuk segera diserahkan kepada Aoyama-sensei, karena hari ini Pak Rafi masih akan mengurus kepulangan istri dan anaknya dari rumah sakit.

"Disini yang sudah berkeluarga tinggalnya agak jauh dari kampus mbak, karena biar dekat dengan TK dan SD. Karena anak-anak kan tidak boleh diantar orang tua ya kalau SD itu. Jadi biar dekat anaknya dengan sekolahan. Nah yang single kebanyakan tinggal di asrama kampus. Yang tinggal di dekat kampus hanya 2 orang. Mas Jan dan mbak Rania", cerita pak Rafi sambil menata kertas-kertas.

"Ada berapa orang Indonesia disini pak?", tanyaku.

"Disini ada 5 pasang yang sudah berkeluarga. Pak Teguh dari Jogja, Pak Asep dan Pak Norman dari Bandung, Bu Astuti dari Kalimantan dan saya sendiri dari Magelang. Yang single itu ya itu, mbak Rania, mas Jan, mas Rian, mas Ian, mas Sony, mbak Sissy, Mbak Rahma, Mbak Cinta, Mbak Fitri, sama mbak Rere. Sedikit dibandingkan dengan kota lain yang bisa sampai 50 hingga 200 orang, mbak."

"Itu tadi siapa pak, Mas Jan, mas Ian, mas Rian, namanya mirip semua, orangnya beda?", tanyaku keheranan.

"Wah iya mbak, namanya Rian semua, tapi satu panggilannya tetap Rian, satu Ian katanya karena nama kecil, dan satu Jan pake J mbak, ejaan orang Eropa katanya, karena dia kuliah di Jerman sebelum lanjut ke Jepang." kelakar Pak Rafi.

"Wow, keren ya pak pas Jan pakai J itu,"

"Mas Jan memang berprestasi mbak. Sering ikut kompetisi lomba science dimana-mana. Oh iya sudah ketemu mas Jan? Tinggalnya satu apato dengan Mbak Emi".

(apato adalah penyebutan untuk apartment dalam bahasa jepang)

" Belum pak, di kamar nomor berapa ya?", tanyaku antusias. Aku senang jika ada orang Indonesia yang tinggal dekat denganku. Setidaknya aku bisa punya tempat untuk bertanya, mengingat aku tidak bisa bahasa Jepang sama sekali.

"Nomor 207. Mbak Emi jadinya kamar nomor berapa? Kalau tidak salah Aoshima sensei sempat bilang ada 3 kamar kosong di lantai 2, 3 dan 4"

"Saya 208 pak."

"Wah sampingnya mas Jan banget."

"Tidak ada orang, pak. Kemarin saya bel mau bagikan oleh-oleh, karena kata sensei kalau orang baru di apartement harus membagikan oleh-oleh atau kenang-kenangan tanda perkenalan begitu. tapi kamarnya kosong terus, saya bel 3 kali seharian itu."

"Oh iya dink, mas Jan masih di Jakarta, mbak. Pagi ini pulang. Mungkin nanti siang atau sore aja mbak. Orangnya baik banget koq. Calon ketua PPI dia. Nanti kalau butuh apa-apa bisa tanya mas Jan. Biar saya hubungi dia nanti mbak."

(PPI adalah Persatua Pelajar Indonesia)

"Makasih banyak, Pak Rafi. Saya senang sekali bisa diterima baik seperti ini." kataku sambil dalam hati kuucap banyak syukur.

Obrolan kami terputus saat Aoyama sensei masuk ke ruangan kami dan berbincang mengenai artikel Pak Rafi lantas beliau mengajakku untuk mengurus semua dokumen berkenaan dengan aktifitas akademikku selama disini nanti.  

--**--

Sudah seminggu aku tinggal di negara ini, kurasakan sedikit demi sedikit aku mulai belajar beradaptasi dengan tempat ini disela-sela banyak mengambil gambar keindahan Jepang dengan bunga ume yang bermekaran. Bagaimana cara menyebrang jalan yang meskipun tidak ada apapundi lampu merah tapi tetap tidak boleh berjalan. Bagaimana cara membeli minuman di mesin penjual otomatis yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Bagaimana cara berbelanja dengan menghitung sendiri dan membayar sendiri pada mesin kasir otomatis. Bagaimana cara mengisi botol air mineral yang bisa kita ambil secara gratis di toko obat. Dan bagaimana susahnya mencari makanan halal di Jepang. 

Namun aku masih belum bertemu dengan sosok Mas Jan yang tinggal di kamar sebelah. Diantara sekian banyak orang Indonesia disini, hanya dialah yang belum pernah kutemui. Ada banyak testimoni mengenainya. Sebagian besar penilaian baik datang dari pihak laki-laki dan keluarga. Sedangkan para wanita menganggapnya sebagai orang yang sedikit dingin. Sedikit banyak komentar itu, terus terang saja membuatku sedikit tidak bernyali untuk bertemu. Mengingat, aku tidak pandai bergaul dengan orang yang dipandang kelas tinggi seperti itu.


Kudengar pula bahwa dia adalah anak seorang pengusaha kaya di Jakarta. Salah satu bisnis yang bahkan dia pegang adalah aplikasi penyedia jasa travelling untuk booking tiket pesawat dan penginapan online yang saat ini sedang naik daun. Berita tentang dia yang sering ke luar negeri hampir tiap bulan juga membuatku sempat bingung untuk memberikan oleh-oleh yang kubawa. Jujur, ini hanyalah makanan khas daerah yang tidak berkelas.

Pagi ini, kudengar suara percikan air keran dari berandanya. Rupanya dia dirumah. Terbukti dengan suara mesin cucinya yang sedang mengumpulkan air. Bergegas kuraih tas karton bermotif batik yang sudah kusiapkan jauh-jauh hari. Pada akhirnya kuputuskan untuk menggantinya dengan mi instan, seperti saran Satria kepadaku ketika aku mneleponnya untuk menanyakan apa yang bagus untuk kuberikan pada Mas Jan.

"Tidak ada yang bisa menolak kelezatan Ind*mie, Em. Setinggi apapun level orang itu."

Aku merapikan sedikit penampilanku sebelum bergegas keluar rumah. Kutarik nafas dalam sebelum kuketuk pintu kamarnya. Ketukan pertama, tidak ada respon sama sekali.

Ketukan kedua.

Masih tidak direspon.

Ketukan ketiga.

Butuh waktu hampir satu menit dari ketukan pertama sebelum akhirnya aku memutuskan untuk kembali ke kamar.

Namun, ketika hampir membalikkan badanku, pintu terbuka perlahan. Seorang laki-laki dengan tinggi sekitar 175 cm melongok keluar dengan satu tangan memegang gagang pintu dan tangan lainnya memegang sikat gigi.

Jantungku berdegup kencang. Tas karton berisi mie instanku terjatuh seketika itu pula aku menutup mulutku dengan kedua tanganku. Aku tak percaya dengan apa yang hadir di hadapanku. Dia yang sudah lama menghilang dari sekitarku. Dia yang tatapan matanya masih sama dengan saat terakhir kali bertemu. Aku hanya tidak bisa berkata apapun. Badanku gemetar hingga tak mampu mengeluarkan suara.

I Fall in the Autumn (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang