Abbie

416 63 6
                                    

Hari ini cuaca mendung. Sejak bangun dari tidurnya pagi tadi, Abbie bisa mendengar rintik hujan yang terus bertaburann tanpa henti. Muncul sedikit keengganan dalam dirinya untuk keluar dari hangatnya selimut patch-work, hadiah ulang tahunnya yang datang lebih cepat. Kumpulan jahitan tebal dari aneka pola warna-warni yang senada itu makin menambah semarak kamar tinggal Abbie yang didominasi warna-warna pastel sejuk.

Sebentar lagi dia akan berusia 23 tahun. Keluarganya tidak bisa ikut merayakan, tetapi hadiah kiriman dari mereka sudah datang lebih dulu melalu kiriman pos, dan itu cukup untuk membuat Abbie senang. Kalender bergambar di dinding kamar tinggalnya sudah dia lingkari dengan rapi, ditambah sedikit bunga-bunga mungil sebagai hiasan. Tanggalnya tiga hari lagi.

Pipinya sedikit merona bila mengingat rencana yang sudah dia persiapkan jauh-jauh hari, bersama satu orang yang menjadi sumber bunga-bunga mungil yang sesekali bertebaran dalam benak Abbie setiap teringat akan dirinya. Berkat itu, semangat Abbie muncul kembali. Mengalahkan gaya tarik nyamannya kasur dan selimut, dia melangkahkan kaki ke kamar mandi.

Di daun pintu bercat putih, tergantung kemeja katun kotak-kotak sewarna padang lavender, dengan celana biru langit yang akan dia kenakan saat janjian nanti. Tidak semanis yang dia harapkan, memang. Namun setidaknya semua warna favoritnya bisa dia kenakan tanpa harus terlihat janggal.

"Tinggal beli sepatu kanvas putih atau krem, paduannya akan sempurna!" Begitulah yang disarankan oleh rekan kerjanya. Pulang kerja hari ini, Abbie berencana untuk mencari sepatu kanvas yang dimaksud di pusat pertokoan dekat tempat kerjanya.

Sembari menyeka wajah yang masih kuyup dengan handuk tebal warna ungu pastel yang baru dia ambil dari rak, dia mengamati bayangan sosoknya di cermin. Besar dan canggung. Dia mendesah pada bahunya yang tergolong bidang dan rahangnya yang cenderung persegi. Baju-baju manis yang jadi dambaannya tidak pernah cocok dia kenakan. Rambut pendeknya juga terlalu kaku untuk bisa ditata.

Pernah dia mencoba memanjangkan rambut, namun orang-orang mengatainya: seperti surai singa. Yah, setidaknya sekarang dia sudah tidak perlu khawatir tubuhnya akan membesar lagi. Usia 23 tahun itu berarti dia sudah melalui puncak masa pertumbuhan.

Alarm smartphone-nya menjerit. Suara ciap-ciap anak ayam itu adalah tanda sudah waktunya bagi Abbie untuk bergegas sarapan, sebelum berangkat kerja. Dia sengaja memasang waktu alarmnya lebih awal supaya masih sempat baginya untuk nanti membereskan peralatan makan.

Dengan payung di satu tangan, dan totebag sehari-hari warna kopi susu, tersampir di bahu, Abbie mengunci pintu kamar tempat tinggalnya. Hari ini juga dia akan berjuang untuk menjalani hari. Setidaknya, dia akan mencoba.

Ya, bisa dimulai dari menyapa paman pemilik gedung. Kebetulan, beliau terlihat sedang menyapu teras gedung.

"S-selamat pagi, Paman!"

"Oooh. Nak Abbie, ya...?"

Paman pemilik gedung adalah kenalan keluarganya sejak lama, karena itu dia diijinkan tinggal sendiri di gedung apartemen kecil, yang lebih cocok dibilang kos-kosan itu. Namun Abbie masih sering merasa gugup setiap kali harus berbicara dengannya.

"Selamat pagi, juga," balas paman pemilik gedung. "Mau berangkat kerja?"

"Iya, Paman. Permisi..." jawab Abbie seraya buru-buru melangkah ke arah gerbang. Dia selalu berusaha mengakhiri percakapan secepat mungkin. Khawatir kegugupannya akan membuat lawan bicara tidak nyaman.

"Ah, tunggu sebentar, Nak Abbie!"

Selembar brosur hasil fotokopi dengan gambar ilustrasi sederhana, diambil oleh paman pemilik gedung dari tumpukan untuk diserahkan padanya.

GenreFest 2018: Fluffy RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang