Halo, lagi.

329 61 9
                                    

Umpanku tidak pernah meleset.

Mungkin, itulah alasan kenapa selama masa smp dan sma, tim selalu memilihku menjadi kapten basket mereka. Kapten tim basket sekolah. Mendengarnya saja, kau pasti tahu apa-apa saja yang kudapatkan dengan menyandang gelar itu. Tapi, tenang, kita tidak akan membahas hal itu sekarang.

Ada hal yang lebih penting yang harus kita bahas di sini selagi kita tengah berada di momen yang tepat.

Di kejauhan sana, tiga murid perempuan tengah berjalan melewati pinggiran lapangan basket. Ketiga anak itu tidak berada di kelas yang sama denganku. Hanya saja, jadwal pelajaran kebugaran mereka berada tepat sebelum pelajaran kelasku dimulai. Mereka hendak meninggalkan lapangan, sembari dua di antaranya sesekali melihat ke tengah lapangan sembari terkekeh. Tepat di mana aku tengah berlatih men-dribble bola dengan beberapa kawanku.

Hanya dua, batinku. Satu di antara mereka terlihat acuh tak acuh sembari sesekali merutuki kedua kawannya untuk berjalan lebih cepat karena perutnya tengah lapar. Baru kali ini aku mendapati siswi yang merasa bahwa rasa laparnya lebih menyita perhatian dari pada aku.

Tergerak untuk membuat perhatian siswi itu beralih kepadaku, aku berniat melakukan tembakan jarak jauh ke dalam ring basket.

Umpanku tidak pernah meleset.

Bola basketku dengan manisnya masuk ke ring basket, kemudian memantul ke lantai, dan berakhir membentur kepala anak perempuan yang kumaksud.

Lihat, 'kan? Umpanku benar-benar tidak pernah meleset.

Anak perempuan itu terlambat untuk menghindar. Teriakan 'awas' ku pun sudah tidak ada gunanya. Saat kedua kawan anak perempuan itu memekik, bola basket tadi sudah menghantam kepalanya. Aku tidak tahu seberapa kuat bola basket itu memantul dari lantai. Tetapi, hantaman bola basket ke kepalanya sanggup membuat anak perempuan itu terjatuh.

Tanpa dapat berpikir apa-apa lagi, kedua kakiku refleks berlari mendekati anak perempuan itu. ia masih terduduk di lantai sembari memegangi bagian pelipis dan mata kirinya. Oh, aku harap aku tidak membuat matanya legam esok hari.

"Aku, aku minta maaf, sungguh. Aku tidak bermaksud mengenaimu dengan bola basketku," ujarku saat bersimpuh di hadapan tiga anak perempuan itu.

Kedua kawannya tampak kebingungan walaupun tetap terus berusaha menenangkan si anak perempuan sambil menanyakan rasa sakitnya.

"Apakah kau perlu melakukan tembakan jarak jauh saat kami berjalan di bawah ring?" tanyanya ketus.

Sial, dia marah. Batinku.

Aku menelan ludah. Seketika lidahku kelu untuk menyahut.

"Kau sengaja, ya?" tanyanya sekali lagi dengan nada yang sama.

Ah, kalimat itu.

Sudah hampir delapan tahun semenjak aku terakhir mendengar kalimat yang sama, dari orang yang sama. Sepertinya, dia tidak berubah. Hanya saja, dia tidak mengingatku. Anak laki-laki yang secara tidak sengaja menjatuhkan buah mangga tepat di kepalanya saat tengah memetik mangga di pekarangan rumah sang kakek.

"Ah, kenapa sakit sekali," ucap anak perempuan itu pada dirinya sendiri.

"Bisakah kau berdiri? Haruskah aku memanggil petugas UKS?" tanyaku.

"Tidak perlu," sahut gadis itu, "kakiku tidak terluka," imbuhnya seraya bangkit berdiri, kemudian berlalu meninggalkan lapangan basket.

Bagus. Setidaknya, kali ini ia akan terus mengingatku, sebagai orang yang menyebabkan matanya lebam.

GenreFest 2018: Fluffy RomanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang