Ibu Memanggil Pulang

5K 103 23
                                    


SENJA menoreh cerita di tengah hiruk pikuk perkotaan, macet kendaraan berlalu lalang menambah cerita baru disetiap sudut Ibu kota Jakarta. Entah sejak kapan Jakarta akan terbebas dari kemacetan yang tiada ujung, terkecuali dihari raya Idul Fitri. Kabur dari kota Jakarta mengungsi ke pegunungan jauh lebih baik, namun apalah daya bagi seorang karyawan yang setiap hari harus mengais uang di Ibu kota ini. Hanya di sini tempat satu-satunya untuk merubah nasib. Ibu kota tempat para perantau mengubah hidupnya, namun tak banyak dari mereka justru menjadi pengamen bahkan pencopet. Ibu kota memberikan cerita unik tak banyak juga menoreh cerita kelam. Jika tak kuat iman dan mental, kita akan tergilas oleh perkembangan zaman yang semakin maju dan canggih.

Tempat tinggal yang berdempet-dempetan satu rumah dengan rumah lainnya, hingga tak ada ruang atau sela kosong sebagai pemisah rumah dijajaran kota itu. Kali menghitam, bahkan polusi membuat napas terasa sesak. Gang-gang sempit menjadi tempat persinggahan dan dijadikannya warung kecil, bahkan meja-meja berderetan menjajankan makanan-makanan anak SD. Itulah potret tempat tinggal atau disebut Kos-an. Yulidar Chairani gadis kelahiran Pariaman berdarah Minang yang telah menghabiskan hidupnya 25 tahun dirantau orang. Hingga kini ia tak pernah mengenal budaya, adat istiadat, bahkan kampung tempat ia dilahirkan. Bagaimana tidak sejak lahir, umur 7 bulan ia sudah dibawa Ayah dan Ibunya merantau ke Jambi, umur tiga tahun ia harus mencicipi tempat yang lebih jauh lagi dari kampung halamannya yaitu Ibu kota Jakarta. Berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, hingga akhirnya ia menetap di kawasan Depok, Jawa Barat.

Hand Phone-nya berdering. Segera diangkatnya.

"Lidar...........?" Suara yang sangat ia kenal, suara parau Ayahnya yang sudah mulai menua, namun luar biasa Ayahnya masih sangat kuat dan terlihat seperti masih berumur 40 tahun. Padahal umurnya sudah menginjak kepala 52.

"Iya Yah," Jawabnya dengan air mata yang sudah berlinang di pipi.

"Kamu pulang dulu ya Nak. Ada yang ingin Ayah bicarakan di rumah."

"Baiklah," Tukasnya hambar, dengan suara parau.

Setelah teleponnya terputus, Ia memilih menyendiri di balai teras kosannya. Dipandangi foto Ibu dan Ayahnya lekat-lekat, berurailah air matanya. Ada rasa bersalah namun ada rasa rindu bercampur menjadi satu. Ia paham dan tau betul masalah apa yang akan dibicarakan oleh Ayahnya di rumah, sebab sebelumnya Ibunya lebih dulu memintanya untuk kembali ke kampung halaman.

Namun sebelum ia mengambil keputusan berat itu, ia lebih dulu berdiskusi dengan teman-teman pengajiannya di Yisc Al Azhar begitu pula dengan ustadzahnya yang selama ini membimbingnya memperdalam agama Islam. Semua jawaban yang diberikan oleh teman-teman dan ustadzahnya hampir sama, terkecuali teman-teman kantor dan teman kampusnya saat kuliah dulu.

Teman pengajian dan ustadzahnya menyarankannya untuk mengikuti semua permintaan orang tuanya. Karena sebagai bentuk cinta dan bakti kita selama ia hidup. Rejeki, pekerjaan bisa dicari namun bakti dan surga ke dua orang tua hanya bisa didapat jika Allah meridhai. Ridha Allah terdapat diridha orang tua. Masih terngiang di kepalanya perkataan Ustadzah Veny, "Percayalah pada janji Allah, Allah tidak akan meninggalkan hambanya. Apa lagi untuk tugas mulia menjaga dan merawat orang tua. Lidar, selama mereka hidup tenaga, materi, pikiran mereka dicurahkan seluruhnya hanya untuk kita, anaknya. Namun apa yang sudah kita berikan kepada mereka? Sekarang penuhilah keinginannya, yakinlah bahwa kelak Allah akan mengganti semua yang telah hilang. Asal kamu ikhlas dan yakin kepada kebesaran Allah."

Namun beda lagi dengan Inez teman satu kampusnya dulu. Ia menyarankan untuk memberi pengertian kepada orang tuanya. Yakinkan bahwa hidup itu harus realistis dan melihat ke depan. Apa yang akan didapat di kampung kalau pada akhirnya hanya status sebagai pengangguran, dijodohkan, bahkan menjadi bahan ocehan orang, lulusan sarjanah di Jakarta tapi pengangguran. Terakhir kali ia katakan, "Jangan jadi orang munafik dan bodoh Dar. Apa yang telah susah payah kau capai di sini, akan kamu tinggalkan? Kamu baru saja memulai berlahan kupastikan kau akan bersinar. Jangan jadi orang yang bodoh hanya hal sepeleh, kau harus meninggalkan semua yang sudah susah payah kau kejar! Hidup itu realistis, lihat ke depan bukannya mundur ke belakang."

Muaro Cinta di Ranah Minang (Sudah terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang