EPILOG

129 33 7
                                    

Aku lepaskan kedua belati yang menancap ditubuh mama, ku baringkan tubuh paruh bayanya penuh dengan kelembutan, aku hapus lagi airmataku yang sebenarnya sudah ku tahan, aku berjalan ke kamarku, mengganti pakaianku, menyiapkan semuanya. Perasaan yang sering orang sebut dendam kesumat, kini dirasa pas untuk menggambarkan perasaanku.

Aku mengendarai dan mengarahkan mobilku kearah rumah Steffany, begitu sampai, ku parkirkan mobilku di sembarang tempat.

Dengan cepat panjat dinding bermaterial ukiran kayu rumahnya, karena tujuanku ialah kamar tidurnya. Benar saja, dia sudah banyak menghisap darah, kini wajahnya normal dan berseri dengan piyama putih yang ia kenakan.

Aku sangat membencinya!

Saat Steffy merebahkan dan memposisikan tubuhnya kearah lain, aku peluk tubuhnya dari belakang, meluruskan tubuhnya, menindihkannya dan tanpa basi-basi ku layangkan pisau yang dipakainya untuk membunuh mama tadi.

"Te-man selama-nya, hah!" ucapnya terbata yang sudah ku cekik dengan tali.

"Jangan sebut kalimat itu, brengsek!"

Kukunya kembali memanjang lalu memutuskan tali yang menarik lehernya, kemudian dia membuatku melayang dan mendorongku keras ke dinding dengan kekuatan gravitasinya.

Tanganku ingin sekali meraihnya, untuk segara menghabisinya. Sampai air mataku kembali pecah, selain ingat mama, aku menangis karena aku melihat cincin dijari tangan manisku. Cincin ini pemberian Steffany, sebagai tanda persahabatan kami.

Hatiku benar-benar hancur, tubuhku yang sama sekali tidak bisa bergerak yang membuatku benar-benar tak bisa menyangkal bayangan-bayangan saat aku tertawa bersama mama, memeluk mama, menangis dihadapan mama, ditambah sekarang Steffany, aku terus mengingat semua tentang persahabatan kami.

Steffany menurunkan perlahan tangannya, melonggarkan apa yang sudah menyesakkan tubuhku. Dia menghampiriku kemudian menaikan daguku, melihatku yang benar-benar tak bisa lagi membendung airmata ini.

"Aku tidak ingin, keabadianku terusik!" bisiknya.

"Maaf! Keinginanmu tak bisa terwujud untuk yang satu ini."

Ccchheph!

Kali ini aku menusukan pisauku tepat dijantungnya.

Aaahhh, ringisnya dengan darah yang mulai mengalir keluar dari mulutnya.

Ku tatap dan ku perhatikan matanya, pupil matanya kembali coklat setelah tadi berwarna merah maroon, bisa ku pastikan kali ini Steffany benar-benar tewas ditanganku.

"Maaf...kan a..ku Ken...dy! Aaahh." lirihnya. "Sebenarnya, bau mu sangatlah lezat tapi aku tak sanggup melukaimu lebih dari ini," sambungnya lagi sebelum akhirnya dia benar-benar menutup matanya dan jatuh dipelukanku.

Jari tanganku dan tangannya saling mengisi, bersama dengan bunyi cincin persahabatan kami yang menempel.

"...sayang mengapa ribut sekali?" Ny. Forsberg tiba-tiba masuk dan melihat semuanya.

Dia tercengang setengah mati melihat pisau ditanganku.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Ny. Forsberg yang wajahnya sangat terkejut kemudian Ny. Forsberg menjauhkan dan menangisi anaknya, dia membawa tubuh Steffy diatas pangkuannya, sedangkan aku, masih terpaku. Tanganku gemetaran.

Kau tau apa yang selanjutnya terjadi? Aku dianggap gila, karena telah membunuh mama dan sahabatku sendiri.

Terlebih setelah mereka menemukan sidik jariku dipisau yang membunuh mama, mereka langsung beranggapan bahwa, memang aku yang benar-benar melakukannya, mereka juga berkesimpulan, jika saat itu Steffany melihatku ingin membunuh mama kemudian aku mengancamnya lalu membunuhnya juga.

THE NIGHT AFTER YOU [#1 THILLER]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang