Konspirasi Alam Semesta: 18

15.9K 2.4K 163
                                    

Lama-lama aku merasa bukan menjadi seorang istri yang sah, tetapi lebih seperti wanita panggilan. Pagi ini aku terbangun tanpa busana diatas kasur, tanpa suamiku.

Iya, dia sudah pergi lagi.

Sanggramawijaya: saya pergi dulu melihat keadaan Amithya. Kalau perlu sesuatu panggil Sundari. Lebih baik kamu tidak usah kemana-mana hari ini. Kamu pasti kelelahan.

Itu pesan singkat yang tertera di layar ponselku setelah beberapa kali mas Rama mencoba meraihku lewat telepon. Tentu saja aku terlalu pulas tidur, terbuai dalam permainan malam mas Rama, membuatku seperti dipuja.

Semakin kemari, yang kurasakan hanya ingin terus memancing mas Rama. Sampai sejauh mana Ia akan bertindak dan sejauh apa aku bisa bertahan.

"Ndari, segera selesaikan informasi yang masih harus saya pelajari. Karena saya ingin segera jalan." Ucapku pada Sundari ketika Ia sedang mempersiapkan pakaianku. Kutinggalkan dia untuk menuju kamar mandi.

Setelah menghabiskan waktu sekitar 20 menit di kamar mandi, aku segera bersiap diri dan menyandera Sundari dalam waktu yang cukup lama. Agaknya, semua orang tidak akan curiga karena Sundari yang bertugas menemaniku selama di dalam Keraton.

"Ndari, kamu tahu? Ibu kemarin membicarakan Catur Kelok Sekawan."

Sundari cukup terkejut, "Maksud ndoro putri, Kanjeng Ratu?"

"Iya. Selain itu, Ibu menceritakan bekas tunangan Gusti Pangeran. Apa kamu juga tahu tentang..."

"Nona Amithya? Saya tidak terlalu tahu cerita itu, ndoro, karena waktu itu saya baru dilatih menjadi abdi dalam. Tapi memang saya mendengar sepotong-sepotong ceritanya."

Kenyataannya Sundari tidak memiliki informasi lebih mengenai Amithya. Itu sangat mengusikku. Apalagi setelah peristiwa semalam, dimana aku menyisipkan berbagai kalimat-kalimat 'seandainya' dan kutujukan pada Putra Mahkota.

"Mas.."

Mas Rama menyahutiku hanya dengan gumaman.

"Apa Mas Rama satu-satu pewaris tahta Raja?"

"Sejauh ini, cuma saya kandidat tunggal. Ada apa?"

"Seandainya, Mas bukan calon tunggal, apa Mas masih mau hidup di dalam Keraton?"

Tanpa bisa kutebak, mas Rama justru menghela nafas panjang dan dalam.

"Takdir itu memang tidak bisa kita rancang, tapi setidaknya bisa kita rubah dengan cara berusaha. Mengenai saya yang sudah terlahir sebagai darah biru dan penerus tahta, itu sudah tidak bisa saya utak-atik. Seandainya memang ada calon lain, saya akan berbesar hati untuk bersaing secara sehat."

"Jadi, maksud mas Rama, mas akan terus bertahan di dalam Keraton ini?"

"Apa itu perlu saya jawab? Dan tentu saja saya tidak bisa berjuang sendiri, harus ada kamu di sisi saya. Kecuali.."

"..apa?"

"Kecuali kamu mencoba mengkhianati saya dan pada akhirnya saya memang ditakdirkan kembali lagi sendiri di dalam tebing tinggi Keraton ini."

Aku terdiam.

"Saya tahu pikiranmu, Ayun. Itulah kenapa sedari awal saya menekankan bahwa hidup di dalam Keraton ini tidak mudah. Mungkin saat ini kamu ingin menyerah, tapi tidak. Tidak akan saya izinkan hal itu terjadi. Kali ini, kuasa saya tidak akan main-main."

Pernyataan dari mas Rama itu tentu saja berhasil memukul dadaku tepat sasaran. Entah apa yang bisa Ia baca dari pikiranku, entah keinginanku yang ingin menyerah saja, atau sampai mengetahui tentang kenyataan aku tahu mengenai Amithya dan Catur Kelok Sekawan.

Konspirasi Alam SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang