Konspirasi Alam Semesta: 11

12.2K 2.1K 42
                                    

"Aduh manten anyar. Ndak bisa jauh-jauh dari suami ya, Bu?"

Aku hanya bisa tersenyum mendengarkan ucapan usil dari sesama rekan kerja di kampus. Hari ini kampus tempatku mengajar tengah menyelenggarakan gathering tiap 6 bulan. Guna mendekatkan dan mengakrabkan diri sesama pekerja di lingkungan kampus. Baik itu pengajar maupun karyawan.

Meskipun sempat keluar kata-kata "terserah." dari bibir mas Rama saat kutolak tawarannya kemarin untuk mengantarku, tetap saja pagi-pagi tadi dia sudah memanaskan mesin mobilnya dengan setelah rapi kemeja berwarna biru langit dan celana bahan berwarna navy yang tua cenderung hitam. Kemejanya seperti biasa digulung rapi keatas mendekati siku. Rambutnya selalu rapi, kadang dengan bantuan gel rambut kadang hanya disisir. Tidak lupa tas tangannya. Wangi badannya jangan ditanya, membuatnya semakin seperti pria metroseksual.

Entahlah, apa memang begitu?

Tapi sejujurnya, melihat tampilan fisik suamiku itu membuatku berbunga-bunga. Siapa yang menolak ditemani pria setampan mas Rama? Suami sendiri pula?

Ups.. suami pura-puraku.

Aku dan beberapa teman pengajar telah menyelesaikan dua game dalam kegiatan gathering ini. Para suami/istri beserta anak-anaknya memilih duduk di meja-kursi yang sudah diatur sedemikian rupa agar bisa menghadap ke titik utama acara digelar. Teriakan-teriakan mereka menggema demi memberi semangat dalam lomba kecil-kecilan ini.

Karena aku panitia sekaligus peserta, membuat keringatku mengucur deras lebih dari biasanya. Akhirnya kuputuskan untuk duduk sejenak menghampiri mas Rama yang sedari tadi memegang kamera, sesekali mengecek ponselnya.

"Foto apa Mas daritadi?" Tanyaku sembari hendak menegak teh instan dalam botol.

Botol yang sudah kubuka kemasannya itu, tiba-tiba berpindah tangan dan kini sudah ada air mineral biasa jatuh di tanganku.

"Kebiasaan ya minum teh-teh instan begini? Nggak baik. Mulai sekarang kemana-mana bawa air mineral."

"Semuanya juga minum ini kok." Jawabku sedikit kesal.

"Ya biar aja mereka."

"Habis ini acara penutupan Mas. Karena aku panitia jadi ya agak lama, tunggu semua selesai baru aku bisa pulang." Kataku mencoba untuk mencairkan suasana.

"Iya."

"Iya apa?" Tanyaku bingung.

"Iya, saya tunggu kamu sampai selesai."

"Mas yakin? Aku bakal lama lho. Maksudku tuh justru Mas balik aja dulu. Aku bisa bareng temen nanti turun di Mal, daripada..."

"Saya tunggu sampai selesai."

That's it.

Selalu saja begitu. Dan selalu saja aku kalah dalam diam.

Kadang aku berpikir apa ini balasan dari alam, setelah selama ini aku lebih suka mendebat pendapat orang sampai mereka kalah bicara. Apa ini hasilnya?

"Okey!" Jawabku ketus.

"Memang kenapa kalau saya tunggu kamu sampai selesai disini? Ada yang terganggu?Pacar kamu? Yang mana orangnya?" Tanyanya bertubi-tubi sembari mengedarkan pandangannya berkeliling.

Aku tertawa tipis, "Kalau nggak salah ingat, bukannya mas Rama yang kasih peraturan supaya nggak mencampuri privasi masing-masing?"

"Saya terdengar mencampuri privasimu? Maaf kalau demikian. Tapi saya hanya ingin tahu, kekasih dari istri yang sudah saya nikahi, ya meskipun di awal kamu bilang tidak punya, siapapun bisa berbohong kan? Saya rasa fair, setelah kamu juga tahu sosok Amithya.."

Deg.

Ternyata mas Rama mengetahui kenyataan bahwa aku tahu sosok Amithya.

"Terserah apa kata...."

"Bu Ayun. Beserta suami. Monggo silahkan maju ke depan! Peserta terakhir ya. Melawan pak Kuncoro beserta Istri. Mari kita kasih semangaatt!!"

Suara yang bersumber dari mic itu memecah percakapanku dengan mas Rama. Setelah terjadi perdebatan dengannya, kini aku harus berdiri berhadapan dengan suamiku itu, di tengah orang banyak, di antara balon berisikan bubuk tepung yang ditempel diantara wajah kami berdua.

Sound great..

"Baik bapak-bapak, ibu-ibu.. kita lihat ya diantara pasangan ini mana dulu yang berhasil memecahkan balon berisikan tepung itu. Kita mulai ya.. satu..dua..tiga."

Sorakkan penonton, suara tepuk tangan yang saling bersautan memasuki kedua telingaku. Tidak peduli siapa yang tengah berada dalam hadapanku kini dan apa yang Ia perbuat padaku setelahnya.

Dorr!

Balon diantara aku dan mas Rama pecah. Wajah kami berdua dipenuhi tepung berwarna putih. Semua orang terutama anak-anak melanjutkan tawanya dengan terpingkal-pingkal.

"Yaaa! Balon bu Ayun dan suami yang pecah lebih dulu. Tunggu..belum selesai. Di dalam pecahan balon itu ada secarik kertas bertuliskan kata mutiara. Monggo kepada suami bu Ayun, dibaca apa di dalamnya.."

Sang mc memberikan mic nya pada mas Rama. Aku masih mencoba terkekeh melihat wajah mas Rama yang sebagian tertutup tepung, demi menyenangkan suasana.

Tanpa tertera dalam skenario drama yang ku bayangkan, tangan mas Rama kemudian merangkul pinggangku sejenak. Kemudian tangannya berpindah mengusap lembut wajahku yang terkena tepung, selanjutnya Ia menatapku dengan lekat, setelah membaca secarik kertas dari dalam balon kami yang jatuh tepat di dadanya.

"Sayangku.. Pembayun Paramastri Candrakirana. Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti. Kamu adalah sosok itu, yang bisa bersikap bijak, lembut dan sabar. Saya mencintai kamu, selama yang saya bisa, selama kamu bertahan."

Ucapannya yang aku lebih percaya itu bohong, berhasil merasuk dalam ke sekujur tubuhku. Dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Sorak candaan dari penonton yang menggoda kami, tepuk riuh mereka, seakan hanya lewat di gendang telingaku.

Aku tahu betul mas Rama berimprovisasi dalam kalimatnya. Karena apa? Karena kata mutiara itu aku yang memilihnya.

Itu mewakili keadaanku saat ini.

Segala sifat keras hati dan yang buruk lainnya hanya bisa dikalahkan dengan sikap bijak, lembut dan sabar.

Aku berharap bisa menghadapi suamiku ini dengan sikap demikian. Ya, semoga saja harapan mas Rama agar aku bisa bertahan bisa terkabul.

Konspirasi Alam SemestaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang