BAB DUA

1K 134 1
                                    

AINA tidak tahu, ada berapa puluh lantai gedung kantor yang selama ini menjadi tempat ia bekerja. Ia terlalu sibuk hingga mengabaikan data statistik tentang gedung perusahaan ini. Yang ia tahu, untuk kali pertama, ia bisa menatap gedung-gedung pencakar langit di atap gedung paling tinggi di ibu kota. Yang ia tahu, ia mungkin bisa mati dengan mudah jika memutuskan untuk terjun bebas dari ketinggian entah berapa.

Aina sudah muak dengan kehidupannya. Ia sudah tidak tahan dengan berbagai berita yang tersebar di media massa tentang dirinya.

Ditinggal ketika sedang sayang-sayangnya?

Omong kosong! Nyatanya, semua orang tidak peduli bagaimana perasaan orang yang mereka bicarakan. Mereka hanya suka dan menggemari bahan gosip murahan tanpa mencerna dan melakukan riset masalah terlebih dahulu.

Tidak peduli apakah itu akan melukai atau tidak, para penggemar akun gosip itu akan senang dan bahagia kalau ada orang yang bisa ditertawakan secara gratis.

Aina sudah cukup frustasi dengan masalah pernikahannya yang berujung memalukan, ia tidak bisa menahan cibiran dan hinaan dari orang lain lagi. Ia lelah dan ingin segera mengakhiri semua.

Baru saja ia akan melangkahkan kaki telanjangnya ke tepi pembatas gedung, ia sudah bergidik ngeri melihat betapa tinggi posisinya sekarang. Kepalanya tiba-tiba saja pusing. Ya ampuuun, tidak bisakah bunuh diri itu tidak semenakutkan ini?

Tidak, tidak! Aina harus loncat. Setidaknya ini lebih baik daripada ia harus hidup dengan cibiran dan tatapan menyebalkan dari semua orang serta melihat Regy yang dicintainya setengah mati menikah dengan orang yang bukan dirinya dan hidup bahagia selama-lamanya. Ia tidak bisa hidup seperti itu!

Aina kembali melangkahkan kaki ke tepi pembatas gedung. Ia takut-takut melangkahkan kakinya. Dengan mata sedikit terpejam ia buru-buru membulatkan tekadnya dan langsung terjun ke bawah tanpa menatap apapun.

▫️▫️▫️

"Lihat kan, Mar. Apa gue bilang. Dia itu gila!"

Maryam tersenyum, mata sipitnya bertambah sipit. Ia tahu cerita lengkap tentang gadis yang terbaring lemah dengan perban nyaris di sekujur tubuhnya itu. Ya, siapa yang tak kenal Aina Salim? Seluruh kantor bahkan seluruh Indonesia tahu. Akhir-akhir ini, namanya jadi trending topic di social media maupun acara berita di televisi. Semua kompak membicarakan nasibnya yang mengenaskan.

Batal nikah, calon suami menghamili mantan pacar, dan bunuh diri yang sama sekali tidak berhasil. Kini, ia sudah koma hampir delapan hari dan Desy--sahabat satu-satunya itu justru melabelinya dengan title gila. Betapa malangnya nasib Aina!

"Gue nggak habis pikir deh apa yang ada di kepalanya. Dia udah beberapa kali nyoba bunuh diri. Tapi lihat apa yang terjadi, failed! Gagal total dan malah ngerusak tubuhnya gini. Apa nggak gila!"

Maryam kembali tersenyum. Ia tahu, marahnya Desy adalah ungkapan kekecewaan dan rasa sayangnya yang mendalam kepada sahabat satu-satunya itu. Ia hanya meyayangkan kelakuan Aina yang ceroboh. Terlampau khawatir membuat Desy uring-uringan. Padahal setelah mengomel panjang lebar, ia pasti akan menangis tersedu-sedu dan meminta Aina yang koma segera siuman.

"Mar gue...."

Omelan Desy terhenti ketika sebuah suara parau terdengar dari tubuh Aina.

Desy buru-buru mendekat dan memastikan bahwa apa yang didengarnya barusan bukan sebuah ilusi.

"Mar, lo denger nggak sih apa yang gue denger tadi?"

Tangan Aina bergerak-gerak. Mulutnya mengeluarkan suara-suara tidak jelas.

"Gy... Regy!"

Desy menghela napas, ia menatap Maryam dengan tatapan kesal seolah mengonfirmasi dan memberitahu Maryam, "kan? Apa gue bilang. Aina itu gila!"

Tetapi Maryam justru terkekeh. Ia meminta Desy untuk menyingkir. Aina perlu dibantu untuk bangun dan Desy sepertinya tidak akan banyak membantu. Desy pasti akan bersungut-sungut marah dan sebal karena Aina justru menyebut manusia yang membuatnya terluka parah luar dalam di saat-saat ia koma seperti ini.

"Ai, ini sahabatmu. Ayo, bangun!"

Aina bergerak-gerak. Matanya berusaha untuk terbuka. Maryam dengan pelan berbisik menyuruh Aina bangun. Maryam merasa kalau Aina mungkin saja sedang mengalami masa transisi antara mimpi dan ingin bangun dari tidur panjangnya.

"Jangan, Gy. Jangan pergi! Regy... Regy!"

Suara Aina lirih. Mimik wajahnya menunjukan kesedihan. Namun Maryam tetap gigih membangunkan Aina.

Sampai pada titik tertentu, mata Aina tiba-tiba saja terbuka. Ia berusaha mengenali sekitar. Satu demi satu benda yang dapat dijangkaunya ia kenali dengan mata yang menyipit. Lampu yang berpendar cahayanya, atap rumah sakit yang dicat berwarna putih, lalu, ia menoleh ke arah kiri. Tepat di mana Maryam duduk dengan kedua tangannya memegang lembut lengan Aina.

Matanya menyipit, berusaha mengenali. Tetapi, detik berikutnya pupil matanya tiba-tiba saja membesar. Ia terkejut. Lalu kembali pingsan.

▫️▫️▫️

▫️▫️▫️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Hectic HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang