Seminggu lalu Yayasan Absarina menggelar seminar di sebuah Universitas Swasta. Acara tersebut menuai banyak pujian dari para penggiat kemanusiaan. Peserta yang hadir di acara tersebut pun melebihi ekspektasi. Secara umum acara itu berjalan sukses. Aily yang mengurus acara itu, kembali diberi tanggung jawab untuk acara berikutnya.
Sekarang kesuksesan itulah yang menjadi keresahan Aily. Dia cemas untuk acara mendatang, semua tidak berjalan seperti yang diharapkan banyak orang. Sebelum aktif di yayasan, Aily tidak pernah tertarik bergabung dalam komunitas tertentu. Jadi dia merasa pengalamannya tidak sebanyak volunteer lain, terlebih dia baru tujuh bulan aktif di yayasan.
Guncangan halus di bahu menyentak kesadaran Aily.
"Nah, kan lo melamun lagi," Anggun menegurnya.Aily membalas tatapan perempuan berusia tiga puluh tujuh tahun itu dalam keresahan yang tak kunjung berkurang. Sore ini dia memang menjadwalkan konsultasi dengan perempuan itu untuk persiapan acara. Tadinya dia datang bersama Lulu, salah seorang volunteer Yayasan Absarina, tapi karena gadis yang baru menginjak semester satu di sebuah universitas negeri itu ada keperluan lain, Lulu pamit lebih dulu.
"Mikir apa sih?" Anggun bertanya seraya menatap intens pada Aily. "Kalau ada yang masih mengganjal, bilang aja."
Aily mengembuskan napas pelan tapi kuat. "Tanggung jawabnya berat. Gue takut nggak bisa mencapai standar yang Mbak Anggun dan teman-teman harapkan."
"Kebiasaan lo, menyerah sebelum berjuang," ujar Anggun kalem. "Lo kan punya tim, nggak kerja dan berpikir sendirian."
"Besok jadwal rapat pertama, tapi kan sebelumnya, gue harus punya amunisi dulu, Mbak."
Anggun tertawa kecil. "Lo kan udah punya gambaran dari acara sebelumnya." Anggun mendorong pelan cangkir di depan Aily. "Nih, biar relaks diminum dulu teh herbalnya."
Aily menyesap isi cangkirnya. Saat kehangatan mulai mengaliri tenggorokannya, Aily mendapati kegusarannya sedikit berkurang. Ditatapnya teh herbalnya yang sudah hampir berkurang tiga perempat cangkir dengan senyum simpul.
"Mbak Anggun tahu banget ya kesukaan kami, gimana cara hafalinnya sih?" Aily menunjuk cangkir teh herbalnya dan cangkir berisi cappucino yang sudah ditinggalkan oleh Lulu.
Anggun balas tersenyum. "Tamu adalah raja," sahut perempuan yang punya kebiasaan menyajikan minuman sesuai dengan kesukaan tamunya, termasuk hapal semua kesukaan pengurus di Yayasan Absarina.
"Begini ya, Aily," wajah Anggun kembali serius dan matanya menatap Aily lurus-lurus. "Yang perlu lo ingat adalah bukan seberapa besar hasil yang didapatkan, tapi gimana lo bisa jadikan ini sebagai proses untuk belajar. Itu hal utama yang sebenarnya gue mau kalian bisa dapatkan dari setiap kegiatan di yayasan. Jadi bukan cuma peserta aja yang dapat manfaatnya, tapi kalian orang-orang dibalik layar juga merasakan hal yang sama."
Aily mengangguk pelan, menyerapi setiap kalimat yang diucapkan perempuan itu. Sejak aktif di yayasan, kata-kata Anggun punya pengaruh besar dalam hidupnya. Padahal sebelum hari ini, dia tidak pernah menyadari keahlian kakak sepupunya itu dalam hal memberikan afirmasi positif.
"Gue tahu ini pengalaman baru buat lo, pelan-pelan aja. Take your time," Anggun tersenyum.
Aily menarik napas panjang.
Anggun beranjak dari kursi. "Sebentar ya," pamitnya dari teras lalu masuk ke dalam rumah.
Sepeninggal Anggun, perhatian Aily kembali teralih pada suara piano yang terdengar berasal dari suatu tempat di dalam rumah. Sejak tiba di rumah itu, Aily memang sudah mendengar lantunan piano, dan di teras belakang tempat dia berada sekarang, suara alat musik itu terdengar semakin jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interval
RomanceVichord Kalidas mendedikasikan hidupnya untuk musik setelah mengalami kekecewaan yang begitu mendalam pada sang ayah. Sementara Ailyra Renata adalah dunianya. Musik dan Aily, keduanya jika disatukan akan menjadi harmoni yang menggenapkan hidup Vic...