2. Tamu Tak Diundang

4.4K 448 30
                                    

“Pinjem mobil Mama aja deh,” keluh Qouri untuk kesekian kali saat Vic mencoba menyalakan kembali mesin motornya. Sore ini sepulang sekolah, Vic punya jadwal rutin mengantar Qouri pemotretan.

Vic menggeleng.

“Kalau gitu gue pergi sendiri aja.”

“Gue antar,” tegas Vic.

Mendengar jawabannya, wajah Qouri kian cemberut.

Sejak adiknya aktif di dunia modeling, Vic lah yang bertanggung jawab, mengantar dan menjemput. Karena alasan itu juga Papa mengizinkan Qouri menjadi model. 

“Kenapa sih, motor butut yang hobi mogok kayak gini masih aja dipertahanin? Heran deh,” lagi-lagi Qouri mengeluh. “Ini motor udah nggak tertolong lagi, Kak Vic. Ngapain coba barang rongsokan begini dipelihara? Bikin repot tahu nggak sih.”

Berdiri dengan satu tangan di pinggang, wajah Qouri tampak tidak sabaran.

“Gue tahu, buat Kak Vic motor ini benda bersejarah. Tapi gimana pun juga, barang yang udah expired itu, biarpun penuh kenangan harusnya disingkirkan.”

Vic terpaku sejenak. Adiknya itu suka sekali mengumbar masa lalu, seolah tidak peduli masa lalu itu masih mempengaruhinya begitu besar.
Lagi-lagi tanpa bisa dia cegah, satu per satu pantulan kenangan muncul dari balik kaca spidometer, mengait kedua maniknya menetap di sana. Kilasan itu serupa montase yang kemudian hilir mudik dalam pikirannya.

Memang benar motor ini adalah benda bersejarah yang menghubungkannya dengan orang-orang di masa lalu. Tidak mudah melepasnya karena orang-orang yang pernah membersamai langkahnya selama ini adalah bagian terpenting di hidup Vic. Dan wajar jika Qouri sampai melontarkan kata-kata seperti itu karena Qouri tidak mengetahui seluruh cerita hidupnya,  jauh sebelum Vic masuk menjadi bagian dari keluarga gadis itu.

Tidak ingin terlibat lama dalam kilas masa lalu, Vic kembali berkonsentrasi menginjak pedal gas. Butuh waktu lama sampai akhirnya Vic berhasil menghidupkan mesin motor. Dan ketika Vic menyuruh Qouri naik ke boncengan motornya, gadis itu kembali mengajak berdebat dengan membahas soal kendaraan baru.

“Papa pasti nggak bakal nolak kalau Kak Vic minta dibeliin kendaraan baru. Bukannya Papa juga udah sering nawarin, ya?”

Qouri bersungut ketika Vic tak menanggapi ucapan gadis itu. Vic tahu adiknya kesal.

“Tahu nggak sih, otak Kak Vic itu butuh direfresh, diinstal ulang kalau perlu.”

Vic tahu, pilihan untuk mengabaikan Qouri agar adiknya itu berhenti memojokkannya adalah keliru karena ketika diabaikan Qouri justru akan semakin gencar, lalu akan merembet ke hal-hal lain.

“Kenapa sih Kak Vic nggak pernah ngerespons kalau Lyric kirim chat? Ditelepon juga nggak pernah mau jawab."

Benar, kan?

“Gue butuh jawaban Kak Vic?” desak Qouri tak sabaran ketika yang Vic lakukan hanya menatap Qouri.

“Gue sibuk.”

“Sesibuk-sibuknya, sebelum Lyric, Kak Vic ngerespons semua cewek yang gue kenalin.”

"Ayo cepat naik. Nanti lo telat,” Vic mengerdik ke arah jok motor.

“Gue tahu, alasan sebenarnya karena Lyric terlalu mirip sama tu cewek kan? Sampai bikin Kak Vic khawatir bisa berpindah ke lain hati. Begitu, kan? Gue benar, kan?”

***

Vic baru saja menyelesaikan kelas terakhirnya malam itu, ketika Office Boy memberitahu kalau seseorang tengah menunggunya di lobi utama.

Kelasnya ada di lantai dua gedung. Memang tidak terlalu tinggi, tapi dari jendela besar yang menghadap jalan raya, lampu-lampu berasal dari jalan dan kendaraan yang hilir mudik, membentuk irama yang berpendar di kejauhan. Selalu menjadi pemandangan yang Vic suka. Itulah mengapa dia jauh lebih menyukai tempat ini daripada studio pribadinya di rumah.

Biasanya dia betah berlama-lama berada di ruangan itu meski kelasnya telah lewat berjam-jam hanya untuk menyerapi pemandangan itu. Berharap apa yang terlihat, setidaknya mampu sedikit mengisi kegelapan yang ada di dunianya. Namun malam ini, rutinitas itu sepertinya tidak bisa dilakukannya karena seseorang--entah siapa--sedang menunggunya.

Setelah merapikan semua peralatan dan mengemasi tas ranselnya yang berisi kertas-kertas partitur, barulah Vic menuju lobi di lantai satu.

Tidak ada seseorang yang dia kenal sedang menunggunya di sofa tunggu. Vic lantas menghampiri meja resepsionis. Baru saja hendak bertanya, matanya menangkap seseorang yang baru saja keluar dari toilet perempuan.

Seketika tubuh Vic menegang. Ada keinginan untuk menyingkir saat itu juga, tapi sebelum niat itu sempat terlaksana, kehadirannya terlihat oleh sepasang mata itu.

Tidak ada yang bisa Vic lakukan selain memaku diri di tempat, sambil menunggu si pemilik sorot berbinar itu mendekat.

Vic menarik napas panjang. Bersiap pada satu kemungkinan, yang pasti akan mengantarkannya pada kesuraman yang semakin dalam.

***

IntervalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang