Di dalam studio musik di rumahnya, Vic masih berkutat pada chord-chord yang sama sejak sejam lalu. Saat ini dia tengah menggarap lagu baru. Tidak ada alasan khusus tujuan lagu itu dibuat. Memang seperti inilah yang dia lakukan ketika berada di dalam studio, jika tidak sedang latihan rutin. Beberapa waktu ini band mereka jarang latihan bersama karena kesibukan masing-masing.
Vic melepas headphone dari telinga, lalu memutar kursi berodanya menghadap meja keyboard. Sejenak memusatkan perhatian pada alat musik itu demi menyempurnakan lagu yang baru saja digarapnya.
Sebenarnya Vic lebih suka mengerjakan lagu di HMC karena peralatannya lebih lengkap, tapi karena dia membutuhkan waktu yang lebih panjang untuk menyelesaikan pekerjaannya itu, studio mininya di rumahlah pilihannya. Berbeda dengan studio HMC, di ruangan itu hanya terdapat seperangkat komputer, audio interface, speaker, dan instrumen keyboard serta sebuah gitar elektrik.
Selain peralatan tersebut, di sisi ruangan yang berbeda, ada sofa panjang berwarna coklat. Jika sudah kelewat enggan beranjak kembali ke kamarnya, di sofa itulah Vic kerap menggunakan benda tersebut sebagai tempat tidurnya.
Vic melirik ponselnya di samping meja komputer ketika benda itu kembali bergetar untuk kesekian kali. Karena sudah terlalu lama mengabaikan benda itu, akhirnya Vic memutuskan untuk meraihnya. Headphone yang semula menggantung di leher, dia tanggalkan dan letakkan di atas keyboard, sebelum kemudian bangkit dari kursi.
Ada beberapa panggilan tak terjawab dan pesan, berasal dari satu nomor yang sama. Vic membuka aplikasi chat dan langsung menemukan nama Lyric di sana.
Satu dari beberapa pesan yang masuk, berisi pantun lucu, sehingga tanpa sadar Vic tersenyum. Setelah membalas singkat pesan gadis itu, dia meletakkan ponsel ke tempat di mana dia mengambilnya sebelumnya.
"Cieeee.... Udah bisa senyum sekarang," suara Qouri yang bernada sindiran tiba-tiba mengisi ruang studio.
Vic menoleh sebentar dan kembali duduk di depan keyboard.
"Chat dari siapa, Lyric, ya?" tanya Qouri yang kini sudah berdiri di dekat keyboard.
Jari-jarinya yang bercat kuku menekan tuts-tuts piano sembarangan, Vic membiarkan saja tingkah adiknya itu.
"Duh, senang banget deh lihatnya. Apakah itu pertanda sebentar lagi Kak Vic bakal balik seperti dulu?"
Qouri berhenti menekan-nekan tuts, dan menatap sepenuhnya ke arah Vic, seperti sengaja menunggu reaksi Vic.
"Ambil kursi, duduk di sini, gue ajarkan cari menekan tuts yang benar," Vic menunjuk ruang kosong di sisinya.
Qouri menelang seraya mengibas tangan, isyarat bahwa dia tidak tertarik melakukan perintah Vic.
"Apa pun asal jangan suruh gue duduk bersama benda mati yang ada di sini."
Vic tersenyum. Lega karena topik yang baru dilontarkannya bisa mengecoh Qouri membahas apa yang sebelumnya gadis itu pertanyakan.
"Kalau dipikir-pikir, aneh banget nggak sih," Qouri menggeser tubuhnya bersandar ke meja komputer lalu bersidekap dengan wajah serius. "Kak Vic jago musik. Dulu waktu muda, Papa juga anak band. Mama juga, meskipun nggak mahir kayak Kak Vic, tapi Mama bisa main gitar. Terus ada apa sama gue? Kenapa gue sama sekali nggak pernah tertarik sama musik, ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Interval
RomanceVichord Kalidas mendedikasikan hidupnya untuk musik setelah mengalami kekecewaan yang begitu mendalam pada sang ayah. Sementara Ailyra Renata adalah dunianya. Musik dan Aily, keduanya jika disatukan akan menjadi harmoni yang menggenapkan hidup Vic...