Halaman depan Rumah Tinggal Absarina yang biasanya rutin dijadikan tempat untuk senam, pagi itu nampak lengang setelah kabar duka meninggalnya Mifta merebak. Pengurus dan beberapa penghuni Rumah Tinggal tengah bersiap-siap untuk pergi ke kediaman Mifta untuk mengantarkan teman seperjuangan mereka itu ke tempat peristirahatan terakhir.
Tepat pukul sepuluh, jenazah Mifta di bawa ke pemakaman. Rintik-rintik kecil mengiringi selama proses pemakaman. Selain keluarga, pengurus dan Sahabat Absarina, beberapa tetangga juga hadir. Aily dan beberapa pengurus Absarina berada di barisan belakang, sementara sisanya ada di barisan depan untuk membantu proses pemakaman.
Dalam masa berduka itu, Aily masih saja mendengar ada pembicaraan tidak mengenakan seputar kepergian Mifta dan soal perselingkuhan suaminya. Aily ingin sekali menginterupsi pembicaraan itu, tapi demi menjaga hati keluarga Mifta, Aily menahan diri.
Di sampingnya, Aily melihat Ambar juga merasakan hal yang sama. Serupa dengan alasan Aily menahan diri, karena alasan itu pula, saat ini Ambar tetap diam di tepatnya. Padahal di antara semua volunteer, Ambar-lah yang paling ekspresif menyuarakan pikirannya.
Ketika pemakaman selesai, berangsur-angsur pelayat meninggalkan tempat itu, menyisakan beberapa gelintir orang yang masih bertahan untuk mengirimkan doa khusus di samping gundukan tanah yang menyatukan Mifta dengan bumi.
Usai membacakan doa, Aily berpamitan pada keluarga Mifta. Kemudian bersama Luca, Aily meninggalkan area pemakaman. Aily mengikuti Luca menuju motornya.
"Mas, gue nebeng sampai shelter terdekat aja," kata Aily seraya meraih helm yang disodorkan Luca padanya. "Mau lanjut bus aja."
"Lo mau ke mana?"
"Gue masih ada urusan, jadi nggak langsung balik ke Absarina."
"Bareng aja, gue antar."
"Nggak usah, Mas Luca mau ke distro, kan?
Lagian beda arah sama tujuan gue.""Yakin?"
Seraya mengenakan helm Aily mengangguk. Dia sempat memperhatikan Luca yang tak memaksanya lagi sedang menstarter motornya, kemudian naik ke boncengan. Apa yang mau dia kerjakan ini, kalau bisa tidak perlu diketahui siapa-siapa. Lagipula selama ini, Aily sudah terlalu banyak merepotkan Luca. Akhir-akhir ini, Aily juga melihat Luca cukup sibuk dengan bisnis clothing miliknya.
"Nanti kalau pulangnya mau minta jemput, kabarin aja," ujar cowok itu sebelum meninggalkan Aily di shelter.
Aily hanya tersenyum dan mengangguk,
walaupun, dia yakin kali ini tidak akan menggunakan tawaran itu. Beberapa waktu ini, Aily sudah cukup nyaman bepergian ke mana-mana dengan bus.Kondisi bus ramai, tapi tidak terlalu padat. Para penumpang yang ada di dalam bus juga mendapat tempat duduk, malah ada beberapa buah kursi yang masih kosong, termasuk kursi di sebelah Aily. Hanya kondektur bus yang berdiri di sisi pintu bus. Tapi kondisi ini mungkin tidak akan bertahan lama, di shelter berikutnya, kursi-kursi kosong itu akan segera terisi oleh penumpang yang baru masuk. Selagi kondisi bus belum terlalu padat, Aily mencoba menikmati perjalanan untuk mengusir keresahan yang sejak tadi mengiringi langkahnya.
Alih-alih menikmati perjalanan seperti yang dia harapkan, berada sendirian, tanpa orang-orang yang mengenalnya, bayang-bayang kondisi terakhir Mifta, sebelum berpulang, memenuhi benak Aily.
Dia tidak bisa berpura-pura tidak peduli, sementara sebenarnya di belakang benak, kenyataan itu membelenggunya dalam keresahan. Seperti parasit. Bukan hanya tentang satu atau dua pemikiran, tapi tentang banyak hal. Satu di antaranya adalah keresahan yang sudah bersemayam cukup lama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Interval
RomanceVichord Kalidas mendedikasikan hidupnya untuk musik setelah mengalami kekecewaan yang begitu mendalam pada sang ayah. Sementara Ailyra Renata adalah dunianya. Musik dan Aily, keduanya jika disatukan akan menjadi harmoni yang menggenapkan hidup Vic...