1. Ellthan ? Elleric Thanujaya

1.3K 136 8
                                    

Naffa menginjakkan kaki di kota Bandung ini dengan sedikit harap. Dia tahu jika harapannya kini telah menipis setelah dia kehilangan beasiswa di kampusnya. Bukan. Lebih tepatnya dia melepas beasiswa itu karena keadaannya.

Dia tidak sekuat itu tetap kuliah di sana dan melihat wajah lelaki itu. Rasanya pasti sangat sakit. Apalagi jika suatu saat dia melihatnya bahagia bersama gadis lain. Pasti hatinya akan berontak berusaha mencakar wajah itu.

Sekarang yang ada dipikirkannya adalah bagaimana dia bisa bertahan hidup di kota ini. Berbekal ijazah SMA yang dia bawa dari kamar kosnya berserta dengan beberapa barang-barangnya dia akan memulai hidup di kota ini. Sementara buku-buku kuliahnya dia berikan pada seorang tetangga kosnya yang akan kuliah di jurusan yang sama dengannya.

Saat dia lelah berjalan mencari tempat tinggal dan pekerjaan, Naffa duduk di sebuah halte yang nampak sepi. Fisiknya yang masih lemah karena keadaannya yang belum pulih paska operasi dari rumah sakit membuatnya lambat. Lamat-lamat dia memperhatikan punggung tangannya yang kini nampak kurus. Bahkan mungkin dia bisa langsung melihat tulangnya jika kulit yang membungkus jarinya dikelupas. Mendesah perlahan dia berpikir lagi.

Entah benar atau salah keputusannya namun dia tidak bisa lagi menatap wajah orang tuanya setelah aib yang dia torehkan. Bagaimana mungkin dia bisa melihat mereka dengan keadaan penuh luka dan cacat ini? Selama ini, kedua orang tuanya dan juga adiknya selalu bangga padanya karena kecerdasannya hingga bisa mendapatkan beasiswa. Tapi kini? Hanya lumpur yang bisa dia berikan pada mereka. Lumpur penuh noda dan kebusukan.

Julukan sebagai anak yang baik saja dia tidak layak, apalagi harus menjadi anak kebanggaan? Ini sungguh konyol.
Semoga saja nasibnya bisa lebih baik lagi.

Karena rasa lapar yang menderanya, Naffa memutuskan bangkit mencari makan. Dia tidak bisa keras kepala karena nyatanya fisiknya masih butuh perhatian.

Perempuan itu berjalan dengan terhuyung melewati sebuah butik yang besar. Pasti hanya orang- orang kaya yang bisa berbelanja di sana. Atau mungkin butik itu malah tidak mengenal kata rupiah, pikirnya.

Saat dia berjalan kembali untuk melanjutkan langkahnya, tiba- tiba ada tiga wanita dengan penampilan modis yang terlihat menawan sedang bercakap- cakap penuh tawa, namun salah satu dari mereka tidak memperhatikan jalannya dan berlengak- lenggok seakan sedang melakukan peragaan busana hingga dia tidak sadar menabrak Naffa dengan keras. Wanita itu terpekik dan terduduk di halaman butik. Beberapa gaun yang ada di tangannya berhamburan di sekeliling wanita itu. Untung saja gaun- gaun itu masih terbungkus Cover dress hingga tak perlu khawatir kotor atau rusak.

"Maaf, kak. Hati- hati." Ucap Naffa perlahan mencoba membantu wanita itu berdiri. Sementara kedua temannya yang ada disana masih terkejut dengan kejadian tiba- tiba itu. Namun ukuran tangan Naffa segera ditepis wanita itu dengan kasar. Wajahnya yang tertutup make-up nampak memerah menahan marah.

"Lo punya mata nggak?!!" Sembur wanita itu begitu dia berdiri. Dia membersihkan gaun sepahanya dengan berlebihan dan mengeluh. "Astaga. Sakit sekali pantatku."

"Maaf mbak. Kan tadi mbak yang jalannya nggak pakai mata." Jawab Naffa polos.

Kedua wanita yang mungkin adalah teman wanita galak itu menahan tawa mendengar celetukan Naffa.

"Apa?! Sialan. Lo tahu berapa perawatan yang gue habiskan buat sekali perawatan? Lo seenaknya aja."

"Tapi kan yang salah bukan saya."

Salah satu wanita bergaun bunga- bunga pink menatap wajah Naffa yang nampak pucat.

"Mbak baik- baik saja? Wajah mbak pucat banget." Tanyanya pada Naffa.

Naffa mengangguk dan mencoba tersenyum. Tapi baru saja dia hendak menjawab, sebuah jambakan mendarat di rambut kepalanya disusul tarikan kuat yang membuat dia limbung dan terjatuh.

"Dasar orang miskin. Gue nggak terima. Lo harus terima kemarahan gue."

"Octa, stop!" Pekik kedua wanita yang lain.

Tapi terlambat. Wanita bernama Okta itu menampar pipi Naffa keras. Kedua temannya memekik melihat kelakuan Okta.

Naffa merasa pandangannya berkubang- kunang dengan kepala yang luar biasa pusing.

Tak lama dia tidak tahu lagi apa yang terjadi di sekitarnya.

***

Ketiga wanita itu terkejut melihat gadis kecil di depan mereka ambruk dan tidak sadarkan diri. Usia gadis itu mungkin belum sampai dua puluh tahun.

"Kamu keterlaluan banget, Ta. Kamu yang salah tadi." Seru wanita dengan gaun pink.

"Udahlah mbak Letta. Biarin aja tu anak miskin. Biar di bawa preman sekalian aja siapa tahu dia nanti diperkosa."

"Octa. Lo jahat banget sih." Timpal seorang lagi.

Ck. Octa berdecak. "Lo lagi Desta. Udah lah kalian nggak usah ngurusin bocah ini. Dan mbak Letha kita kan bakal ada pemotretan sebentar lagi." Ingat Octa pada Letha. Wanita itu menatap tajam pada Octa tapi Octa acuh dan tetap menyombongkan diri .

"Kamu tahu kan siapa aku di sini? Aku bisa saja membatalkan kontrak kerja kira secara sepihak. Jadi sebaiknya kamu mulai belajar sopan santun. Atau apakah tidak sebaiknya kamu juga ikut ke rumah sakit untuk memeriksa apakah silikon di pantatmu itu pecah atau tidak." Desis wanita bernama Alletha itu. Dia menatap tubuh gadis belia yang luruh tak sadarkan diri itu kemudian menghampiri dan berusaha mendudukkannya.
Saat tangannya menyentuh wajah gadis itu, kulitnya terasa terbakar. Sekali lagi dia menempelkan tangannya dan terkejut dengan panas tubuh gadis itu.

Gadis ini demam tinggi. Batinnya.

"Kalian ke kantor saya lebih dulu. Saya akan membawa gadis ini ke rumah sakit."

Octa tampak tidak terima, tapi dia tidak membantah karena ingat tentang pembatalan kontrak kerjanya. Wanita di depannya ini adalah orang yang berpengaruh di Ellthan Style. Dia baru siang ini menandatangani kontrak dengan Ellthan Style, mana mungkin dia menghancurkan mimpinya. Bersabar sedikit tak apalah. Batinnya.

Sementara wanita yang di panggil Alletha meminta bantuan satpam untuk mengangkat tubuh gadis itu ke dalam mobilnya.

***
Tbc

Ini Hidup NaffaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang