Bagian 1 : Hal yang Yogas Benci

17.3K 1.4K 31
                                    

Tes! Tes! Tes!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tes! Tes! Tes!

Suara hujan yang mulai menjatuhi kap-kap mobil di balik garis penyebrangan membuat Yogas nyaris mengumpat. Padahal dia pikir sore ini hujan tidak akan mengguyur lagi setelah pagi tadi sempat membuatnya gagal membolos, tapi sekarang malah mencegahnya untuk sampai di rumah lebih cepat.

Perlukah Yogas mengatakan bahwa dia membenci musim hujan?

Sebenarnya bukan tanpa alasan, paling tidak setelah dia mendengar sendiri bahwa manusia bernama Jimi menyukai musim itu.

Klise memang, tapi seandainya kalian tahu siapa Jimi, Yogas yakin bukan hanya dia yang akan berpikir untuk menjauhi semua hal yang disukai anak itu.

Begitu traffic lights berubah warna, Yogas buru-buru menancap gas dan menyalip semua kendaraan di depannya. Jalanan sedikit becek, tapi Yogas tidak pernah merasa kesulitan menghadapi apapun dengan segala kebolehannya bertempur di jalanan.

Dia bahkan sudah terbiasa ngebut di atas jam 12 malam.

Tapi sepertinya dewi keberuntungan sedang ingin memberinya pelajaran hari itu. Sebab dari arah kanan, tiba-tiba saja sebuah motor melaju kencang nyaris menghantamnya dan memaksa Yogas membelokkan stangnya ke arah lain.

Seharusnya dia tidak akan jatuh kalau saja jalanan sedang tidak licin. Tapi sepertinya dia memang sedang sial.

Perlahan kendaraan yang melintas mulai menghentikan lajunya untuk membantu Yogas. Anak itu tertimpa motornya dan jelas kesulitan menyingkirkannya sendiri. Tidak ada yang membiarkan anak itu begitu saja meski hujan perlahan mengguyur semakin deras.

"Lain kali hati-hati ya, Nak, bisa pulang sendiri gak?" tanya bapak-bapak yang membantunya berdiri tadi.

"Bisa, Pak, saya gak kenapa-napa kok."

"Syukurlah kalau gitu. Tapi baiknya neduh dulu ya? Jalan makin licin, nanti kamu jatuh lagi."

Yogas hanya menanggapi seadanya. Namun tidak sedikitpun niat untuk mengindahkan saran dari bapak itu. Sebab dia bergerak cepat menaiki motornya lagi tanpa repot-repot mengatakan bahwa dia lebih suka menerobos hujan ketimbang menunggu sampai hujannya reda, yang entah kapan akan redanya.

Lagipula rumahnya hanya beberapa ratus meter lagi. Saat berbelok di persimpangan jalan berikutnya, Yogas sedikit memelankan laju motornya karena pagar rumahnya sudah terlihat. Pintu rumahnya tertutup. Tapi lampu-lampunya sudah dinyalakan.

Begitu motornya sudah terparkir di depan garasi, ponselnya berdering tidak sabaran. Yogas merogoh saku celananya dan melihat nama yang tertera.

Bocah freak.

Seharusnya dia sudah tahu. Orang tuanya tidak mungkin serajin itu mengiriminya pesan sampai belasan kali. Apalagi Jose. Lagipula bocah itu lebih suka menelpon ketimbang mengirim pesan.

MY IDIOT BROTHER Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang