🔑pilihanku

920 131 10
                                    

Itu adalah keputusan yang berat, namun aku tidak mau menggantungnya lebih lama lagi.

Aku minta untuk datang sendiri karena aku tidak mau membuatnya terpaksa semobil denganku nanti kalau kata-kataku tidak berkenan dihatinya.

Aku datang mengenakan terusan terbaikku, yang rasanya ironis dengan apa yang akan kulakukan.

Ia duduk dihadapanku, rapi jali, mengenakan tuksedo yang terlihat begitu serasi dengan wajahnya yang tampan dan tubuhnya yang atletis. Ia tampak begitu menawan. Aku akan menyesal melewatkannya begini, tapi aku sudah memilih, dan aku tidak akan mundur lagi.

"Makasih buat semuanya, Niel," kataku usai makan malam.

"Nggak perlu, Sani, ini semua emang buat kamu."

"Aku mau minta maaf sebelumnya," kataku, dan kurasa ia mengerti kemana malam ini akan bermuara.

Aku berdehem. "Makasih udah baik banget sama aku selama ini, sumpah, mungkin aku nggak akan nemuin seseorang kayak kamu lagi di dalam hidup aku."

Ia mengangguk dengan segores senyum.

"Tapi aku rasa aku belum siap buat hubungan yang lebih jauh, masih berat juga buat aku, dan aku...aku pengen ngehabisin waktu bareng anak-anak aku."

"Tapi kamu nggak akan pergi kan?"

"Hm?" Tanyaku.

"Ini bukan berarti kita nggak akan ketemu lagi?"

Aku tersenyum, "Aku resign."

"Jangan!"

Aku mengangkat kedua alisku.

"Aku bakal nunggu, kita masih bisa temenan ya kan? Plis..."

Aku tersenyum kecil, kami sama-sama tahu berteman akan sulit dalam situasi ini.

¤•¤•¤•¤

Kudengar Cynthia membatalkan pernikahannya dengan Keenan, sedang Keenan nampak tidak terlalu peduli. Aku kesal lagi padanya karena lagi-lagi memilih keputusan yang benar-benar bego.

Sumpah, aku bahkan masih sedikit kesal waktu mengantarnya ke Bandara bersama anak-anak hari itu.

Ia menggendong Zoya dan Wylla, membiarkan mereka memeluknya sebelum ia mengejar pesawatnya ke Tibet.

"Papa cepet pulang ya, jangan lama-lama di luar negeri," kata Zoya.

"Iya, Papa, Wylla nanti kangen Papa."

Ia memejamkan matanya saat anak-anak mengeratkan pelukan mereka padanya, lalu mencium puncak kepala mereka satu-satu.

Kami tidak kembali bersama, aku dan Keenan, tapi kami juga tidak berpisah. Kami berjanji untuk berjalan menemukan kebahagiaan kami sendiri sebelum apapun, dan aku paham betapa ia memerlukan hal itu dalam hidupnya.

Aku tersenyum ke arahnya dan ia melihat ke arahku.

"You don't want a hug?" tanyanya.

"No," kataku sambil tertawa kecil.

Zoya melompat turun dan menarik tanganku, lalu Keenan meraih bahuku, memelukku dengan tangannya yang kosong. "Jaga diri baik-baik, Sani" bisiknya.

Aku tersenyum, sadar harus melepaskan diri dari pelukannya cepat-cepat.

"Ati-ati, kalau udah sampe kasih kabar," ujarku sambil menepuk bahunya.

"Makasih udah nganter hari ini," katanya.

"Anak-anak emang pengen ketemu kamu, nggak usah terimakasih."

"Mama juga kok," ujar Wylla ember. Aku langsung menutup mulutnya dengan tanganku, lalu tawa Keenan dan Zoya pecah.

Ia kemudian melirik ke arah jadwal penerbangan dan menarik napas, waktunya pergi. Ia mengecup kening Wylla dan menurunkannya dari pelukannya.

"Papa berangkat dulu ya," katanya sambil berjongkok dan bergantian menatap Zoya dan Wylla.

"Kakak belajar yang rajin, adek jangan main hape terus, main keluar tuh, sepedaan, main tanah sama Kakak." Katanya sambil tersenyum dan mengacak-acak rambut Wylla. "Ah, jangan lupa jagain Mama juga." Ia lalu melihat ke arahku.

"Papa berangkat dulu ya, Papa sayang kalian."

"Papa!!!"

Zoya dan Wylla kembali memeluknya, dan Wylla mulai menangis. Zoya menahan tangisnya, lalu waktu Wylla digendong Keenan, Zoya memelukku dan menyembunyikan isaknya di belakang punggungku.

"Sama Mama dulu ya," kata Keenan lalu menyerahkan Wylla ke dalam dekapanku.

Keenan tersenyum padaku dan mengusap kepalaku. "Sampe ketemu lagi, San," katanya.

Aku menelan ludah dan mengangguk.

"Jangan sakit, jaga diri baik-baik, jangan lupa bahagia," ujarnya. Matanya memerah, aku menggigit bibirku. Aku tidak boleh menangis, aku tidak boleh menangis, aku sudah merelakannya pergi kok.

"Kamu juga," ujarku.

Keenan melambaikan tangannya dan berjalan mundur dengan tas carrier di punggung, serta koper di tangan kirinya.

Bersama tangisan Wylla yang semakin deras dan ingus Zoya yang belepotan di kemejaku, aku melambaikan tanganku padanya, menarik napas lega, melepasnya pergi agar ia mampu berdiri di atas kakinya sendiri, menjadi Keenan yang utuh, menjadi Keenan yang berani.

Dan aku, aku akan baik-baik saja, lagipula aku tidak akan benar-benar sendiri, aku selalu memiliki dua bidadari kecilku di sampingku.


fin

a vlive inspired mini-series

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

a vlive inspired mini-series

dibuat di kereta dalam perjalanan Malang-Yogyakarta
21 Oktober 2018

[✔] MamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang