PROLOG

8.1K 233 10
                                    

"Punya anak tiga, berharapnya pas udah gede bisa bahagiain orang tua. Eh! ini malah jauh dari angan-angan, umur udah kelewat bujang semua padahal ... tapi makan masih berharap dari mamah. Kapan kalian bisa bahagiain mamah? Seengaknya kalian berdua ini kek." Ceramah Mamah sambil melipat tumpukan pakaian di hadapannya.

Gue dan abang sedari tadi cuman bisa diam tanpa berkutik sambil menyaksikan acara televisi. Enggan buat nyahutin, nggak berani.

"Selim, tuh... pengangguran, kerjaanya cuman makan tidur, makan tidur main hp. Gitu aja mulu," pekik bang Rizki sambil menendang betis gue, sakit, bahkan sampai bikin meringis sesaat sebelum akhirnya gue tendang balas di tempat yang sama.

"Nyadar dong, abang juga sama," tukas gue gak mau kalah.

"Yee... sorry layau, gini-gini gue kerja. Gajih juga tiap bulan nyetor ke mamah, lah elo? Pengangguran ...." cibir Rizki dengan nada yang menghujam.

"Sudah Rizki, mungkin emang belum rezekinya aja," ujar Mamah, seolah menghibur gue  yang pantas dihina ini.

"Rezekinya, jodohnya, ngadet semua. Orang dianya nggak mau usaha, hayalannya doang yang tinggi. Usaha buat cari kerja nggak ada. Ibarat pepatah mana ada pisang yang nyamperin monyet, yang ada monyet nyamperin pisang. Tunggu aja terus kerjaan tuh datang. " Rizki berujar secara sarkas, sedangkan gue cuman bisa menahan kesal.

"Gue itu maunya nyari kerja yang santai tapi gajihnya tinggi, itu aja sih," sahut gue seenteng mungkin sambil angkat bahu dengan tenang.

Dari tempat Mamah berada beliau menghela napas panjang sampai gue bisa denger suaranya. Mamah pun mandang ke arah gue dengan tatapan jengah. "Mana ada kerjaan kayak gitu, nak-nak. Kalau ada juga pasti mamah ikut kerja, bukannya malah ngandalin hidup dari gajih pensiunnya papah. Ngeaneh aja kamu," sahut Mamah.

"Tuh dengerin, Lim."

"Hmmm..." Gue cuman bisa menanggapi dengan bergumam.

Lagi dan lagi, si Mamah selalu ceramah soal pekerjaan, sedangkan si Abang mencibir soal jodoh dan kerjan. Ininih nasib jadi bujang lepek pengangguran kayak gue, luntang-lantung ke sana ke mari cari hiburan, tapi ujung-ujungnya curhat soal nasib yang belum punya kerjaan.

Resiko lulusan SMA ya gini, paling mewah kerja di Mini market atau Super market. Menjajalkan dagangan ke para pengunjung sambil promosi, nawarin pulsa dan lain-lain, gajih juga paling tinggi dua juta setengah. Beda sama yang sarjana S1 terus kerja di perusahaan, dapat gajih tujuh juta ke atas.

Kedengerannya sih emang menggiurkan, tapi pas minta ijin sama Mama buat kuliah, katanya nggak punya uang. Terus hasutannya "Lulus S1 juga nggak menjamin kamu kerja enak, buktinya anak ibu Tuti, anak si ini, anak si itu. Lulus S1 tapi nggak kerja di perusahaan" Setidaknya itu yang diucapkan oleh mamah sampai melucuti segala niat gue.

Padahal Mbak gue, si anak sulung keluarga ini kuliah. Dan Bang Rizki juga kuliah, buktinya mereka bisa tuh dapet kerja diperusahaan. Kenapa gue doang yang nggak kuliah? Katanya anak bungsu yang paling disayang, kok nasib gue jauh berbeda sama apa yang orang-orang bilang. Damn!

"Coba, Dek. Liat kakak-kakak kamu, semuanya punya pekerjaan tetap. Walau gajih nggak seberapa tapi yang pasti mencukupi kebutuhan kita pas tanggal tua," kata Mama, memberi kritik dan saran layaknya penulis pro kebanyakan pada penulis amatir. "Lagian kamu nggak bosan apa ngerjain pekerjaan rumah mulu? Cuci piring, nyapu rumah, ngepel? Nggak bosan, Dek?" Lanjutnya.

"Iya, Mama, iya. Nanti Selim cari kerja, tanya-tanya sama Mas Bejo," sahut gue secara pasrah, bingung mau bersikap kayak gimana lagi di depan Mama, mana perasaan mulai gundah-gulana lagi.

"Cocok aja sih, mah, kalau dia ngerjain pekerjaan rumah. Jadi pembantu, terus kerja di tempat pak Danu si duda kaya itu," sahut bang Rizki sambil tertawa lepas.

"Hus! Kamu, Riz."

"Lagian kan emang cocok Mah sama si Selim yang jomblo menahun ini. Hahahaa."

"Mungkin emang belum jodohnya." Lagi-lagi si Mama membela, apa sepantas itu ya gue ini untuk dikasihani? Huft....

"Atau jangan-jangan, dia ini emang nggak normal? Belok gitu? Hiiii," ujar bang Rizki sambil menggeser posisi duduknya agar menjauh dari gue, ini si kutil zebra bikin muak sumpah.

"Kalau emang gue itu belok, yang ada elo udah jadi korban gue." Gue mencibir sebab tak suka. Risih aja gitu diolok-olok mulu, lupa apa gue ini adeknya dia? Arrgghhhh....

"Hus! Rizki, nyumpahin adekmu kamu ya?" sahut Mama sambil melempar baju kaos ke arah si abang yang bajingan itu. Dasar upil naga, jadi buaya darat aja bangga.

"Udah ah, panas kuping kalau dengerin omongan kek gini mulu. Gue mau makan," ujar gue dengan kesalnya sambil berdiri dari tempat duduk semula lalu menuju dapur.

"Mau makan lagi kamu? Keseringan! Makan mulu, kerja nggak. Bikin rugi tau nggak." Teriak Mamah dengan nada suara yang terdengar geram.

"Ingat, Lim. Sore nanti datangin Mbak kamu di rumah sakit. Katanya mau cek kandungan, nanti bilangin ke Mama apa gendernya," suruh Mama sambil setengah berteriak.

Gue pun ikut menyahuti dengan nada suara yang cukup tinggi. "Iya Mamaaa..."

,*****

Dan beginilah awal kisah dari si cungpret bernama Selim. Kalau penasaran, lanjut aja ke chapter selanjutnya. Minta masukan ya guys, vote dan komen juga wkwk

Cerita ini cuman fiktif belaka yup, kalau ada kesamaan nama dan tempat juga kejadian. Berarti tidak disengaja, harap maklum karena ini cuman cerita buat hiburan hihihi.

So, see you next time^^

More Than Boss [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang