Bab ∆23

1.5K 48 1
                                    

Selim ;

"KALAU BUKAN KARENA IDE BODOH KAMU MUNGKIN HAL INI GAK AKAN TERJADI!!!" Pekikan yang menyambar langsung dari mulut wanita paruh baya itu menyerang Malika secara telak.

Yang dapat dilakukan oleh Malika sekarang ini cuman memeluk jasad Papahnya yang terbaring kaku sambil menangis. Baik gue maupun semua orang yang berada di dalam ruangan ini ikut merasakan kesedihan yang dialami oleh keluarga Maribhuana.

Gue yakin Malika sebelumnya juga nggak bakal mengira kalau semua ini bakal terjadi, dan penyesalan tentunya datang belakangan.

"Semua gak sepenuhnya salah Ibu Malika. Saya yang mencetuskan ide ini, Nyonya Besar Maribhuana. Jadi saya juga ikut bertanggung jawab," ujar Desy sambil memeluk tubuh Malika, mencoba untuk menenangkannya.

"Saya juga bersalah, tanpa saya semua rencana ini gak bakal berjalan." Jamilah turut ikut menyemangati.

"Owe juga." Axian pun sama.

Dan gue juga terlibat dalam perkara ini, gue harus ikut bertanggung jawab.

Melihat kami semua bersama Malika putrinya, Nyonya besar PT Maribhuana Enterprise hanya bisa tertegun walau tangisnya masih terisak. Gue berharap bajingan dari perusahaan sebelah itu cepat ketangkap.

"Gimana dengan Arlando? Di mana sekarang dia?" Malika bertanya dengan manik mata berkilat murka.

"Kabarnya dia melarikan diri. Dari rekaman CCTV pihak kepolisian berhasil mendapatkan plat mobilnya. Sekarang dia lagi dalam pengejaran," jawab pemuda yang dipanggil om oleh Malika itu.

"Lihat balasan yang akan aku perbuat Arlando. Kubuat hukuman mati atas apa yang sudah dia perbuat. HUTANG NYAWA DIBAYAR NYAWA!!!" ucap Malika sambil mengepal kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih.

,*****

Seluruh kerabat, rekan kerja, bahkan seluruh orang-orang yang mengenal Ayah Malika berdatangan untuk ikut melangsungkan pemakaman. Semua orang menangis terisak tatkala jenazah beliau mulai diturunkan ke dalam liang lahad.

Malika yang tampak amat terpukul atas kepergian orang tercintanya, tubuhnya sekarang ini terkulai lemas dalam pelukan sang Mamah sambil menangis haru.

"Yang tabah, Nak. Kamu harus ikhlas."

"Jangan ditangisi berlama-lama Malika. Papahmu sekarang sudah tenang."

"Setidaknya beliau sudah tidak merasa sakit lagi, ikhlaskan kepergiannya Malika."

Kata orang-orang sekitar untuk mengembalikan ketegarannya, mencoba untuk menguatkan kembali dirinya agar tidak terpuruk terlalu lama.

"Hisk... Hisk... aku harus kuat, aku harus ikhlas," ucap Malika sambil menghapus air matanya.

"Harus, kuat, Bu," sahut gue sambil mengusap pundaknya. "Ibu harus kuat."

Setelah makam ditutup habis oleh timbunan tanah doa-doa mulai dipanjatkan. Seluruh pelayat yang ada menundukkan kepala seraya mengadahkan tangan sambil berharap yang terbaik bagi almarhum.

Sekarang tinggallah Malika beserta orang tua satu-satunya di pemakaman ini ditemani oleh kami berempat.

"Sekali lagi yang tabah ya, Bu. Ibu harus ikhlas, dan semoga amal ibadah  Tuan besar diterima, amin," ucap Jamilah.

"Amin."

"Kami pulang dulu, Bu," ujar gue memohon pamit.

Malika pun mengangguk. "Desy tolong sampaikan pengumuman ke seluruh karyawan di PT bahwa perusahaan kita libur sementara waktu sampai perkara Arlando ini selesai," katanya.

Desy pun cuman bisa mengangguk mengiyakan ucapan sang atasan.

,*****

"ANJING KAU, DASAR IBLIS PEMBUNUH!!!" Pekik Malika pada sosok Alrando yang kini sudah berhasil ditangkap.

Sekarang kami semua tengah berada dalam ruang sidang, berkali-kali Malika ingin menyerang pria yang sudah mencekik Ayahnya itu tapi berhasil ditahan.

Seperti tidak merasa bersalah atas semua perbuatannya. Arlando malah tersenyum seolah puas atas semua perbuatannya.

"Kita impas Malika," balas pria tersebut sambil berteriak.

"Binatang!" sekarang Nyonyah besar ikut murka, pihak kepolisian sebisa mungkin melerai keributan yang ada.

Kami berempat hanya bisa menyaksikan dari kursi penonton tanpa dapat ikut menenangkan keluarga Maribhuana. 

"Rasanya pengen gue tonjok muka tuh bapak-bapak," seru gue dengan geramnya.

"Sama lo... Owe pengen kasih jurus kung fu," sahut Koh Axian.

"Padahal perusahaan dia terbilang sama majunya dengan perusahaan kita. Masa iya dia masih mau merebut  perusahaan milik orang lain juga." Jamilah beropini.

"Bukan karena alasan lain. Dari yang aku tau Arlando itu dulunya sahabat baik Tuan besar Maribhuana, tapi karena suatu konflik mereka jadi bermusuhan dan mencoba untuk saling menjatuhkan dalam dunia bisnis ini," sahut Desy dari tempat duduknya.

"Mengingat perusahaan yang dijalankan Arlando sudah cukup dikenal, tentunya masalah yang menimpanya kali ini sangat menggemparkan dan mulai dibicarakan media masa. Nggak heran kalau dia marah dan tega membunuh Ayahnya Ibu Malika, kalau bukan karena ide konyol ini mungkin semuanya gak bakal kayak gini," ucap Desy sambil menangis, setiap kalimat yang terucap dari mulutnya seolah menunjukan rasa bersalah.

Sebisa mungkin kami semua meyakinkan Desy kalau bukan dia doang yang bersalah.

"Kami semua juga bersalah, Des. Tenang aja kamu gak sendiri," kata Jamilah.

"Para hadirin sekalian diharapkan untuk tenang agar sidang ini bisa berlangsung dengan tenang. Tolong semua harap duduk," ucap Hakim.

Kini ruang sidang kembali berlangsung dengan tenang, semua orang kembali duduk pada kursinya masing-masing.  Mengikuti keberlangsungan sidang sambil mengharap-harapkan hukuman yang setimpal untuk si pembunuh itu.

Setelah hampir dua jam keputusan dibuat, pada akhirnya semua sudah ditetapkan dengan adil. Hukuman mati bagi Arlando sesuai permohonan   dari keluarga Maribhuana, sepuluh pengacara yang keluarga ini sewa benar-benar bekerja dengan handal hingga Pria itu akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.

"Akhirnya Ibu Malika bisa bernapas lega setelah berjam-jam menanti keputusan hakim," ujar Jamilah, membuat kami semua mengangguk setuju.

"Syukur deh. Paling nggak semuanya selesai," sahut gue.

Segera kami semua menyusul Bos keluar ruang sidang. Mata Malika keliatan sembab, ketahuan kalau dia nangis semalaman.

Desy memberikan pelukan untuk menenangkan kembali perasaan Malika. Meyakinkan perempuan tersebut kalau semua baik-baik saja.

"Sudah, Bu. Everything is gonna be oke," ucap Desy.

"Makasih, Des. Makasih kalian semua," ujar Malika pada kami semua. Kami pun hanya bisa memberikan senyum terbaik untuk mengembalikan semangatnya.

Tak berselang lama sosok pemuda yang diketahui adik dari Nyonyah besar datang entah dari mana bersama dengan Pria paruh baya bersetelan rapi. Membuat kami semua jadi memandanginya dengan heran.

"Malika perkenalkan, ini Pak Antonius. Kuasa hukum Papah kamu yang diutus untuk membacakan surat wasiat."

Mata Malika sontak terbelalak lebar. "Bukannya ini terlalu cepat ya, Pak. Papah saya baru dikuburkan lima hari yang lalu."

"Lebih cepat lebih baik. Malah seharusnya saya membacakan wasiat ini sehari setelah pemakamannya sesuai permintaan Almarhum. Namun saat saya lihat-lihat kondisi keluarga yang sedang terpuruk bukaanlah saat yang tepat untuk membacakan wasiat ini," ujar Antonius.

Malika hanya bisa tertegun seolah tengah menyaksikan semua kejadian nestapa yang terjadi dengan begitu saja pada hidupnya.

"Lebih baik semua dibicarakan di kediaman anda saja Nona Malika," kata Antonius. Malika pun hanya dapat mengangguk pasrah.

"Baik," jawabnya secara datar dan tak bersemangat.

More Than Boss [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang