Bab ∆9

1.5K 56 6
                                    

Selim ;

Capek bukan main. Pikir aja, bikin minum buat para kariawan yang jumlahnya kelewat banyak. Sampai yang nggak mau dibikinin minum pun tetap disuruh bikin, dan kesannya malah gue yang kayak orang maksa.

Di hari pertama kerja yang gue bayangkan adalah mengerjakan tugas kantor di depan komputer, bukannya nugas kayak OB. Cantik-cantik tapi galak, pantasan banyak yang nggak berani natap matanya, kebanyakan pada nundukin kepala tiap kali berselisihan atau ngobrol sama itu Bos bernama Malika. Emang, sih segan sama takut itu beda tipis.

Kalau dipikir-pikir pun kayaknya dia emang mau bikin gue sujud di hadapan dia secara perlahan-lahan. Mengigat kejadian waktu itu gue kesenggol buah dadanya tanpa sengaja. Sebagai seseorang yang menjaga kehormatan orang lain jelas dong gue diemin, masa blak-blakan bilang "maaf mbak, saya nggak sengaja nabrak dadanya mbak, sakit ya?" Ewww...

Pada kursi yang tersedia dekat kulkas gue pun mengambil posisi duduk. Es kopi yang gue buat barusan langsung gue nikmati sebelum rasanya berubah jadi hambar. Biasanya, kalau tiap kali ngehadapin hari pertama kerja sampe rumah pasti badan rasanya bakal pegel semua, gatau deh kenapa gitu mulu.

Tiba-tiba ada sebuah tangan yang memijit pundak gue, bikin merinding rasahya, pasti dedemit nih.

"Kamu capek banget, ya? Udah rileks aja biar aku pijitin," kata Desy sambil tersenyum.

Gue pun langsung menjauhkan diri dari sosoknya. "Nggak usah, Des."

"Alah nggak apa-apa, pijat plus-plus geratis," ujarnya, astaga!

"Nggak usah, beneran," tolak gue sekali lagi, entah kenapa kebanyakan orang tiap kali dilarang pasti malah maksa.

"Udahlah, Des. Lo tuh terlalu maksa, kalau orang nggak mau ya nggak mau. Heran gue sama siluman sejenis lo ini." Jamilah tiba-tiba datang dan dia main rangkul tangan gue.

"Idih si mak lampir, kek benalu aja nempel-nempel sama orang. Mending lo minggir deh dari dia." Desy coba memisahkan Jamilah dari gue, si Jamilah malah makin mengeraskan pegangan di lengan gue. Sumpah gue yang kesiksa di sini.

"Ihh... lepasin nggak?! Ini si dedemit, lo nggak liat ekspresi muka si Selim aja udah jijik sama lo?" Jamilah berseru sambil mendorong-dorong muka Desy, sedangkan si Desy mulai menjabak balik rambut jamilah.

"Aduh mbak-mbak udah dong sakit saya," ujar gue.

"Sakit anjing! Gila lo gue habis smoothing dua hari yang lalu." Jamila meronta, sekarang gue udah terlepas dari jeratan para wanita liar ini.

Keduanya kini gelut kayak pegulat MMA. Si Desy gitu-gitu tenaga laki-lakinya masih ada, Jamilah pun kewalahan ngehadapin itu orang.

"Ampun nggak?!" Pekik Desy.

"Nggak bakal, setan lo!" sahut Jamilah.

"Mulai sekarang lo jauhin gebetan gue kalau mau selamat," kata Desy sambil menjepitkan kepala Jamilah diketiaknya.

Jamilah ronta-ronta. "Waria halu! Selim aja jijik sama lo. Sadar," ketus Jamilah.

"Udah dong mbak-mbak, kok malah ribut gini sih." Gue mencoba untuk melerai mereka berdua. Rasanya posisi gue saat ini kayak suami yang lagi misahin pertengkaran antara istri sah sama pelakor.

Mereka berdua pun akhirnya berhasil dipisahkan, si Jamilah bersembunyi di belakang punggung Selim, sedangkan Desy kayaknya masih kesal. Terlihat jelas dari caranya menghirup napas secara kasar kayak anjing liar.

"Sekarang kalian baikan yak? Ayo salaman," perintah gue, meminta mereka berdua untuk bermaafan.

Jamilah menggeleng, Desy pun tampak ogah-ogahan.

"Nggak boleh gitu, ayo dong maafan." Gue menarik paksa lengan mereka berdua agar bersaliman.

Awalnya sempat ada penolakan, tapi pada akhirnya mau setelah gue paksa lagi.

"Nah gitu dong." Gue tertawa kecil ngeliat tingkah mereka. Sumpah kocak, kayak anak kecil.

"Eh, udah masuk jam makan siang. Yuk kita makan siang," ajak gue, dan Desy main tarik tangan gue sambil berjalan meninggalkan Jamilah di dapur seorang diri.

Ampun deh si Desy, possessive banget padahal nggak ada hubungan apa-apa. Gimana kalau pacaran coba? Amit-amit juga sih.

"Sini Mbak!" Panggil gue agar si Jamilah mengikuti kami untuk istirahat makan siang.

,*****

Awalnya gue sih pengennya makan bekal yang udah disiapin Mamah. Tapi karena dipaksa untuk ikut makan di warung ayam geprek gue terpaksa ikut. Duit seratus ribu yang gue sayang-sayang sampai besok terpaksa melayang berapa puluh ribu deh, duh! Mudahan nanti ada yang mau bayarin gue.

"Ngomong-ngomong bos kita itu orangnya gimana sih?" Gue iseng-seng bertanya, kebetulan penasaran juga sama sifat asli orangya.

"Olangnya, o? Dia itu, o. Baik lee...." sahut koh Axian, ekspresinya itu loh ngeyakinin gue banget.

"Mana ada, sok tahu ih si kokoh! Nih ya, Lim. Aku kasih tahu ke kamu, ibu malika itu orang yang paling nyebelin. Kadang sok pinter, mana suka ngubah-ngubah jadwal sesukanya lagi." Eluh Desy, dia kayaknya beneran kesel sama mahluk bernama Malika itu.

"Alah! Kadang juga kita berdua yang bantuin lo nyusun jadwal," sahut Jamilah dari tempat duduknya, mencibir si Desy.

"Itu kan gara-gara gue kecapean doang makanya minta tolong lo berdua," tukas Desy tak mau kalah.

"Lo nya aja yang nggak becus." Jamilah menimpali, membuat Desy jadi naik pitam lagi.

"Sudah, o, sudah-sudah, jangan beltengkal lee...." koh Axian melerai.

"Tau, ah. Berantem mulu," sahut gue.

"Meleka ini, o, memang tidak akul. Setiap hali itu, o, belkelahi saja lee...." seru koh Axian.

"Bacot, koh!" Desy menanggapi, membuat koh Axian jadi diam tak bergeming.

"Btw, Lim. Aku belum punya kontak kamu, minta dong." Desy menyerahkan handpone-nya untuk meminta nomor gue.

Gue pun langsung memberikan kontak hp gue ke dia, setelahnya gue kembaliin lagi itu barang kepunyaanya.

"Nanti pap, ya," kata Desy sambil tersenyum nakal ke arah gue. Gue pun jadi bergidik ngeri dibuatnya.

"Baru kenal udah ngajak, pap. Hati-hati, Lim. Takutnya lama kelamaan dia ngajak skidipapap," sahut Jamilah sambil mengangkat sudut bibirnya sebab jijik. "Dasar homo permanen," lanjutnya.

"Syirik aja lo." Desy menyahuti dengan santai sambil mengedikkan sebelah bahu. "Mending lo lanjut makan sana, lo bikin rese kalau lagi laper."

More Than Boss [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang