Bab ∆2

2.8K 106 2
                                    

Malika ;

Rasanya payudaraku berkedut-kedut tak karuan. Dari tadi yang aku lakukan adalah meringis menahan sakit.

Gara-gara pria brengsek yang kutemui di lobi rumah sakit barusan semua kekesalan di dadaku jadi membeludak ingin keluar. Sudah lelah karena dirundung stres, menghadapi macet berjam-jam, disenggol pula, untung nggak kebacok itu laki-laki yang nggak punya adat.

Aku jamin, kamera CCTV di tempat kejadian pasti merekam segala pristiwa yang aku alami barusan, duh! Malunya. Dengan langkah kesal aku mempercepat jalanku menuju ruangan tempat Papah sekarang ini sedang dirawat inap.

Sengaja kuhentak-hentakkan kaki dengan sedikit lebih keras hingga menimbulkan dentuman nyaring saat sepatu high heels sepuluh senti yang kugunakan membentur lantai keramik. Membuat beberapa pasang mata orang-orang yang sedang duduk di kursi tunggu jadi menatapku penuh heran. Aku mendelik, mencoba untuk memberi peringatan bahwa aku tak peduli.

Dari kejauhan kupandangi sosok Papah yang kini sedang terbaring di atas kasurnya yang didominasi oleh warna putih. Tubuhnya semakin hari semakin kurus, penyakit kanker paru-paru stadium satu yang beliu idap membuatnya hanya bisa berbaring selama masa perawatan.

Sebagai anak tunggal, hanya Papah yang begitu dekat denganku, perannya sebagai kepala keluarga membuatku merasa bangga bisa memilikinya. Bekerja seorang diri untuk menghidupi istri dan anaknya, merupakan panutan terbaik selama hidupku. Menjadikanku pribadi yang tegas, mandiri, disiplin, dan keras jika sudah menyangkut kedisiplinan dan tatakrama.

Namun semenjak dua tahun terakhir Papah mengutusku untuk menggantikan posisinya sebagai pemimpin perusahaan yang sudah beliau kelola puluhan tahun. Awalnya aku tak yakin, namun ketika dipikirkan lagi nasib keluargaku bergantung pada perusahaan itu. Jelas aku harus menggantikan posisi Papah sementara waktu, meski banyak yang harus kupelajari.

Pertamakali mendengar kabar penyakit yang dideritanya, jelas membuatku terpukul. Bayangan-bayangan akan kehancuran juga tangisan keluarga seolah menghantui malam-malamku. Aku takut, aku takut tak mampu menghadapi pesaing bisnis Papah yang kejam dan menghalalkan segala cara demi bisa menghancurkan bisnis kami.

Sama seperti hari-hari sebelumnya yang bisa kulakukan adalah menggenggam tangan Papah yang terasa dingin. Punggung tangannya yang sudah dipenuhi kerutan kuciumi penuh sayang. Seketika air membendung dipelupuk mataku, membuat pandangan sekitar jadi memburam.

"Lika... Malika...." Panggil Papah yang sepertinya sudah tersadar dari istirahatnya.

Sontak, dengan segera aku mengusap mataku secara kasar untuk menghapus air mata yang hampir jatuh mengalir. Kupandangi wajah Papah yang menatapku dengan intens, aku tersenyum simpul.

"Gimana keadaan Papah? Ngerasa ada perbuhan nggak?" tanyaku, berharap ia memberikan jawaban terbaiknya. Aku rindu suasana rumah bersama beliau, aku lemah jika sudah berurusan dengan masalah bisnis dan Papah.

"Nggak ada perubahan sayang. Semua kesakitan yang Papah rasa masih sama seperti pertama kali datang ke sini." Mendengar jawaban itu, dadaku rasanya mencelus, sekuat mungkin kutahan air mataku agar tak jatuh. Di hadapan Papah aku harus kuat, aku harus menunjukan ketegaranku.

"Cepet sembuh Pah. Lika rindu kebersamaan kita dulu," kataku dengan penuh emosional.

Papah memandangku dengan iba, ujung matanya tampak berair namun tertahan hingga menetap di sana.

"Doa kan Papah supaya cepat sembuh. Doa anak kepada orang tuanya itu cepat terkabul," ucap Papah seraya mengusap puncak kepalaku.

"Selalu, Pah. Selalu aku doa' kan," sahutku sambil melingkur di lengannya.

"Papah masih ingat, nggak lama lagi ulang tahun kamu yang kedua puluh delapan. Di usia yang sudah lebih dari kata matang untuk menikah ini apa kamu sudah punya calon suami?" Sontak pertanyaan Papah berhasil mencuri perhatianku, aku menatap ke arahnya dengan pandangan penuh tanya.

"Maksud Papah?"

Dia tersenyum ke arahku sebelum akhirnya membuka mulut lagi. "Papah cuman mau tahu apa kamu sudah punya kekasih atau belum. Papah cuman khawatir, kalau-kalau Papah nggak bisa lihat pernikahan kamu," ucapnya sambil terisak. Entah bagaimana bisa setelah melihatnya menanggis aku jadi melakukan hal yang sama.

"Maksud Papah apa? Kenapa jadi ngomong kayak gitu, sih? Jangan sampai, Pah." Sekarang, aku sudah seperti anak durhaka yang berani memarahi orang tua.

"Ini cuman kehawatiran Papah, sayang."

"Tapi nggak seharusnya Papah ngomong kayak gitu, kalau beneran terjadi gimana?"

"Maafin, Papah. Tapi, apa kamu memang masih sendiri?"

Mendapat pertanyaan semacam itu rasanya duniaku bagai diputar balikkan. Aku selalu bingung ingin menjawab apa jika sudah diberipertanyaan soal pacar atau calon suami oleh teman-teman dan keluarga.

"Sudah punya, kok. Papah tenang aja, nggak usah khawatir." Bohongku, sebisa mungkin aku mempermainkan ekspresi wajah agar tak ketahuan sedang mengelabuinya. Maaf, Pah, aku terpaksa berbohong.

Senyum manis Papah merekah seketika, seolah menunjukan kebahagiaan dan kelegaan atas pertanyaan yang selama ini ia pendam.

"Syukurlah kalau begitu, Papah bisa jadi lebih tenang karena ada orang lain yang bisa jagain kamu," katanya, seraya bangun dari baringannya untuk memelukku.

Dalam pelukan hangat Papah yang begitu menggetarkan hati, aku berdoa pada tuhan ... berharap atas kesembuhan Papah serta harapan kecil yang selama ini juga kupendam untuk bisa jatuh cinta lagi. Setidaknya agar aku bisa menaiki altar pernikahan didampingi Papah.

,*****

Dari balik dinding sebuah kafe yang terbuat dari kaca aku memperhatikan keadaan sekitar. Mengamati setiap pengguna jalan yang saling berlalu-lalang dipukul tujuh malam.

Gelapnya langit Ibu Kota yang dihamburi oleh bintang-bintang membuat hidupku jadi terasa sedikit lebih tenang untuk sementara waktu. Aku memijit pelipis yang agak berkedut, untuk yang kesekian kalinya mendesah akibat lelah.

Sepertinya pikniku ke puncak bersama dua sahabat karibku weekend kemaren nggak ada gunanya. Nyatanya, untuk bisa menyelesaikan hari senin ini aku harus banyak-banyak bersabar akibat ditimbun oleh segunung masalah dan kekesalan. Lelah, sudah pasti, rugi, apalagi. Rasanya aku seperti membuang uang cuman buat piknik tak berguna itu, sialan.

Apa mungkin piknikku yang kurang jauh? Kalau kalian ada rekomendasi tempat berlibur yang seru tolong beri tahu aku.

Cukup untuk hari yang melelahkan ini, setidaknya aku harus mengistirahatkan diri sebelum menghadapi hari-hari selanjutnya.

More Than Boss [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang