Bab ∆11

1.4K 41 0
                                    

Malika ;

Akan segala hal yang ada di dunia ini, aku paling benci dengan yang namanya kebetulan. Sama seperti yang terjadi padaku saat ini, entah bagaimana bisa aku bertemu dengan dia sosok yang paling kuhindari dalam hidupku. Abram.

Semua jadi kacau saat aku mengetahui kalau dia manager tempatku ingin memasang papan iklan. Gila! Bisa-bisanya dia tersenyum dengan bangsatnya di hadapanku seperti itu, berani pegang-pegang lagi.

"Kurang ajar kamu, jangan sok akrab," pekik ku, dia pun langsung merasa tak enak.

"Kamu kenapa, Lika? Kita kan udah kenalan." Dia bertanya sambil mengerutkan kening, orang-orang disekitar pun mengamati kami dengan heran, sedangkan Asistenku si Desy entah lari ke mana. "Atau kamu mau kita berjabat tangan lagi untuk berkenalan? Siapa tahu kamu lupa namaku," ujarnya, sambil menjulurkan tangan.

Aku pun menepis lengannya dengan kasar, sudut bibir kuangkat. "Aku paling benci kalau harus bertemu apalagi berkenalan dengan orang yang merusak hidupku seperti kamu." Bentakku senyaring mungkin, masa bodo dengan sekitar, masa bodo dengan harga diriku sendiri, intinya kepalaku saat ini sakit sampai ke ubun-ubun rasanya.

"Maksud kamu apa?" tanyanya dengan heran.

"Iya, aku paling nggak suka kalau ada laki-laki yang tak kukenal di dalam hidupku. Ditambah kehadiranmu itu bikin aku muak, gimana bisa seorang pengecut kaya kamu bisa dijodohkan dengan saya?! Heran." Aku mencibirnya, orang-orang di sekitar yang mendengar perdebatan kami pun perlahan mulai pergi, kacau sudah! Kacau!

"Tenangkan diri dulu Malika, semua bisa diomongin baik-baik, lebih baik dinginkan kepala dan hati kamu dulu." Dengan mudah dia berkata demikian, seandainya dia jadi aku pasti laki-laki brengsek serupa dia bisa merasakan penderitaanku.

"Tch! Sampah dasar," desisku sambil menahan rasa sesak di dada. Jujur sebenarnya air mataku hampir tumpah saat mengingat kejadian hari itu, ini pun aku sudah tak kuat lagi rasanya.

"Ini semua demi kabaikan antara keluargaku dan keluarga kamu Malika, jangan anggap aku orang asing, tolong. Sekalipun kita baru saling mengenal tapi aku sudah bisa mengira bahwa kita itu memang jodoh," serunya sambil memegang kedua pundakku, aku tertegun sesaat dalam buaiannya.

"Sudah kubilang jangan sentuh aku!" Aku memekiknya senyaring mungkin, membuatnya jadi mundur ke belaka beberapa saat. Tanpa kusadari mata ku mulai meneteskan air, dada sesakku mencelus seketika tanpa ampun. Se-nestapa ini kah hidupku? Tuhan bantu aku.

"Eh! Kamu nanggis? Maaf-maaf, aku gak bermaksud begitu sama kamu." Abram mencoba untuk menghentikanku namu aku menolak sentuhannya.

Kini giliranku yang mundur beberapa langkah, aku mencoba untuk menghentikan pergerakannya yang ingin mendekatiku. Oh Tuhan kenapa cobaan hidupku semakin bertambah semenjak aku menginjak usia dua puluh sembilan tahun. Air mataku kini membanjiri pipi, bahkan maskara yang kukenakan menjadi luntur, membuatku terlihat seperti seorang hantu gelandangan tanpa jodoh.

Padahal sejak kemarin aku sudah mencoba untuk menenangkan diri dengan belanja pakaian-pakaian serba diskonan agar kesedihanku bisa hilang, bahkan selera yang kupilih melenceng dari mode fashion-ku biasanya. Tapi kenapa aku harus menanggis lagi hari ini? Apa salahku selama hidup dua puluh sembilan tahun lamanya Tuhan? Ampuni aku dari segala kesalahan, tolong jauhkan aku dari segala kesedihan dan cobaan yang mengguncang batinku seperti ini, aku mohon.

"Cukup, Bram. Mendekat satu langkah kubunuh kamu!" Ancamku, namun entah bagaimana bisa ia tetap mendekatiku.

"Kamu butuh istirahatkan pikiranmu Malika, mari kubantu." Dia menjulurkan tangannya padaku, membuatku bimbang antara menerima pegangannya atau menolak.

Terima Malika, mungkin benar dia orang baik yang benar-benar ingin membantumu bangkit dari keterpurukan.

Tapi Malika, tidak semua orang memiliki niat baik seutuhnya, mungkin dia punya siasat yang lain untuk menyakitimu.

Semua kata-kata di dalam kepalaku saling beradu argumen, aku dibingungkan oleh pilihan tersulit, shit.

Di saat semua pilihan saling bertempur, Abram mencoba untuk mendekatiku. Baru selangkah, dengan sigap aku langsung mendorongnya hingga terpental kebelakang dan jatuh tersungkur ke lantai.

Astaga Tuhan, apa yang kulakukan?

"Maaf," ucapku lirih, masih dengan isakkan yang sama.

Segera aku berlari meninggalkan dirinya tanpa ada niat untuk balik menjulurkan tangan. Sekencang mungkin aku berlari, aku harus pergi jauh dari semua kenyataan menyakitkan ini, tuhan tolong bantu aku.

Dengan tergesa-gesa aku memasuki mobil, supir pribadi kantor kusuruh lebih cepat dari biasanya. Tak ada niat bagiku untuk menatap ke belakang dan menyaksikan gedung yang sempat kusambangi itu. Yang kupikirkan kali ini adalah teman.

,*****

Tok... Tok... Tok....

Pintu yang didominasi warna cokelat itu kuketuk beberapa kali, di baliknya sesosok wanita seusiaku muncul dari dalam sana.

"Astaga setan!" pekik Asih hingga terlonjak ke belakang, aku menatapnya sinis, bisa-biasanya dia berkata demikian padaku yang sedang bersedih ini.

"Kejam lo berdua," sungutku.

"Lah, ini orang kenapa?" Asih bertanya-tanya.

"Habisnya pas gue ke rumah lo Nis, lo nya nggak ada di rumah." Aku membentak Ganis, membuat wanita yang satu itu jadi mengerutkan kening

"Lo lupa kalau setiap kamis kita pada kumpul-kumpul arisan bulanan?" sahut Ganis. "Tunggu dulu, lo habis nanggis ya?" Ganis kini menyentuh kedua wajahku, bermaksud untuk menenangkan.

"Huaaaa...." Kini aku menanggis lebih kencang dari sebelumnya, mereka berdua pun jadi kelimpungan menenangkanku.

"Eh, lo kenapa nanggis?"

"Duduk dulu, duduk dulu. Gue ambilin minum oke." Asih menuju dapurnya dengan segera, membawakan minum dan menyerahkannya padaku.

"Lo kenapa? Cerita, deh." Asih bertanya dengan nada suaranya yang khas ketika ingin tahu sesuatu.

Sementara aku masih menanggis dengan kencangnya saking malasnya bicara.

"Biarin, deh. Lo tenangging diri dulu baru cerita." Ganis mencoba untuk mengerti keadaanku.

Aku butuh bernapas dengan lega paling tidak selama sepuluh menit.

More Than Boss [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang