JODOH UNTUK SABRINA

187 17 0
                                    


Wajah sendu menghiasi pipi putih Sabrina. Netranya yang basah menatap gemericik air.  Rinainya menemani ikan di kolam taman rumah sakit. Wajah Brina begitu sedih, tidak mudah melaksanakan prinsip yang diyakini.

“Brin,” seseorang menyapa datar. Fais, laki-laki yang setia menunggunya

“Ya? apa bapak sudah siuman, Mas?”
“Belum, oksigen masih dipasang tadi.”

“Maafkan, Brina Mas. Brina nggak bisa.” Brina menunduk, tidak ingin air mata yang ditahannya luruh.

“Mas nggak papa Brin, kecewa tentu ada. Mas sungguh ingin membahagiakanmu. Tetapi, urusan hati memang nggak bisa dipaksa.”

“Terima kasih, Mas bisa memahami Brina. Hanya bapak dan keluarga besar yang belum bisa memahami. Sekali lagi Brina minta maaf, Mas Fais sudah seperti kakak yang baik buat Brina.”

Fais tersenyum getir, kesungguhan Brina selalu membuat hatinya semakin mendamba sosok mandiri yang pantang menyerah itu. Tidak ada yang bisa membujuk Brina, pun sampai bapak pingsan karena penolakan pinangan Fais.

“Berjanjilah, jika hatimu berubah Mas siap menunggu Brin.”

“Mas, banyak perempuan lain yang lebih baik dari Brina. Daripada Mas menanti yang tak pasti,” serak suara pemilik Sabrina Nurmala itu. Bias hangat yang menyusup terus dilawannya.

Ya Allah, kuatkan hamba agar takdir ini tidak menyakiti orang-orang yang hamba cintai. Bisik hatinya pilu.

“Ah, sudahlah jangan dipikirkan. Oh ya, kata bu Nurul kamu sempat pingsan di sekolah kemarin?”

“Iya, Mas mungkin kecapean. Maklum mau tutup tahun. Sibuk bikin raport.”

“Istirahat juga penting Brin. Badanmu juga tampak kurusan. Masa pingsan sampai beberapa kali. Benaran kamu nggak papa?”

Brina menggeleng sambil berusaha tersenyum Tidak mungkin semua yang dialami diceritakan Fais. Pria mapan yang menjadi dosen ini sudah dikenal Brina semenjak SMA. Selain kakak kelasnya, keduanya masih ada hubungan saudara jauh.

Fais yang pengertian dan tidak memiliki adik perempuan, suka dengan Brina. Pribadi yang mandiri tapi pintar. Berusaha menolong Brina setiap kali mendapat masalah. Bias rindu semakin menghantui ketika Brina lulus kuliah dan bekerja.

Sampai Brina memasuki usia tiga puluh lima tahun, Fais tetap setia menantinya. Entahlah, apa yang di benak Brina, sampai hari ini belum menjatuhkan pilihannya. Padahal banyak laki-laki mapan yang meminangnya.

“Brin,”

“Ya Mas, ada apa?”

“Boleh mas tanya, tapi jangan marah ya. Apa Brina sedang menunggu seseorang?” hati-hati Fais bertanya. Gelengan dan senyum tipis yang terukir di bibir Brina.

“Lalu? Kenapa Brin tidak seorangpun kamu beri kesempatan menemanimu.”

“Suatu saat Mas akan tahu jawabannya. Brina berharap Mas Fais segera menemukan bidadarinya, aamiin.” Ah, Fais mendesah mendengar kalimat Brina. Kamulah bidadari di hatiku, Brin. Batin Fais kelu.

***

Seisi rumah heboh dan panik. Brina pinsang dan belum sadar sampai beberapa jam yang lalu. Bapak dan ibu Brina ditemani Fais menunggu hasil pemeriksaan di IGD. Seorang dokter berkacamata menemui mereka.

“Bapak, Ibu, pasien harus di pindah ke ICU.”

“Dok, kenapa dengan anak kami?’

“Lho, Nona Brina tidak cerita ke Bapak, Ibu? Masya Allah,” desah dokter dengan tag Anwar Hakim itu.

“Kenapa dengan Brina, Dok?” Fais semakin cemas.

“Nona Brina mengidap tumor ganas, nampaknya sudah menjalar ke syaraf yang lain.” Bagai petir menyambar orang tua Brina pun Fais. Raungan tangis sang ibu membuat yang melihat merasa iba.

Semua terdiam memandangi tubuh Brina dengan berbagai alat medis yang menempel. Dibalik kaca ruang ICU bapak dan ibu memandang sedih. Tidak menyangka dengan musibah itu. Fais tidak bisa menahan air matanya. Laki-laki itu baru menyadari kenapa Brina keukeh dengan putusannya.

***

Untuk kedua kalinya keluarga Brina menerima ujian Allah. Brina yang koma diambil menghadap pemiliknya dengan senyum. Allah lebih mencintainya. Sakit yang mengerogoti telah hilang dan dukanya telah diangkat.

Rasa kehilangan begitu mendalam diantara orang-orang yang mencintainya. Sabrina yang disangka tidak berbakti ternyata menyimpan rasa sakit yang teramat. Sungguh sebuah keteguhan hati yang tidak mudah melaluinya. Sakit yang seharusnya butuh dukungan dari orang-orang terdekat.

Fais menyimpan tulisan Brina dengan rapi. Air mata kesedihan begitu kentara. Tenyata Sabrina memiliki perasaan yang didambanya.

“Maafkan Brina, sungguh Brina bahagia dengan pinangan Mas. Brina pernah bermimpi menjadi belahan jiwa yang setia. Tetapi kita memang bukan jodoh. Biarlah sakit ini Brina rasai sendiri. Akan lebih menyakitkan melihat orang yang kita cinta ikut menderita. Terima kasih Mas sudah mendukung Brina. “

Ada yang menyentak di dada Fais. Brina sanggup merasakan sakit dan mengabaikan perasaannya. Berkorban tanpa memperhatikan kebahagiaannya.

Hanya untaian doa untuk Brina di surga. Jodohnya sudah menunggu di tempat yang terindah di keabadian.

***

Oktober 2018.











Kumpulan FIKMIN, CERPEN Dinamika Kehidupan Tentang Cinta, Bahagia, Rindu. Marah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang