Bukan Perempuan Jalang

113 10 0
                                    

Malam mulai merayap. Dinginnya juga semakin menusuk. Suara-suara binatang malam berlomba bersahutan. Seperti dikomando, mereka mengagungkan Sang Pencipta. Penguasa semesta yang menggenggam ciptaan-Nya. Dengan bahasa yang mereka miliki, serasa damai dan tanpa beban hidup yang rumit dan menjerat.

Sesosok bayangan berjalan tergesa, langkahnya cepat tanpa menghiraukan dinginnya sang malam. Mata yang sedikit cekung mengamati di setiap jalan yang disusuri.

Sejatinya mata itu menanggung beban yang berat, beban hidup seorang Asri, perempuan berjiwa tangguh, bertanggung jawab, dan teramat menyayangi keluarganya. Sayang, langkahnya kini terjebak dalam permainan kejamnya  keserakahan manusia. Diantara sebuah tuntutan dan kebutuhan.

Adalah pak Aryo Dipo, seorang juragan peyek yang kondang di desa itu. Dengan kumis tebalnya, perawakan yang tidak proporsional lagi alias perut mulai buncit, menunggu kedatangan Asri. Laki-laki thukmis itu begitu mengerti akan kehidupan Asri.

   Dibalik keahlian Asri memijat, pak Aryo memahami akan hausnya bisikan lembut laki-laki. Dia hadir mengisi batin perempuan bertangan luwes itu.

Hardi, suami Asri menderita gagal ginjal. Sudah hampir dua tahun yang lalu bolak balik harus cuci darah. Tiga bulan terakhir kondisinya tidak membaik.

Sebagai perempuan normal yang lelah, terkadang Asri butuh tempat untuk menumpahkan beban hatinya. Jiwanya sudah bertahan sekian lama untuk diabdikan pada Hardi, yang uzur tanpa bisa memberinya nafkah lahir batin.

Dengan kemampuan memijat yang diwariskan dari neneknya, kebutuhan hidup keluarga sederhana itu terus bergulir. Roda kehidupan yang semakin lama semakin berat, ternyata menggoyahkan kesetiaan yang mereka bangun. Asri terjatuh!

Godaan nakal dari bibir pak Aryo membuat aliran darahnya panas, bagai sengatan yang membuat beban hidupnya terasa menguap. Kehangatan yang lama tidak pernah Asri rasakan. Lama kelamaan perempuan tamatan SMP itu merasa ketagihan dengan tangan kekar pak Aryo.

*

Lik Nunik, pembantu pak Aryo membuka pintu ruang tamu. Rumah gedong besar itu terlihat sepi. Lik Nunik sudah tahu jadwal kedatangan Asri. Pada saat memijat pak Aryo bertepatan dengan bu Aryo pergi keluar rumah.

   Asri langsung ngeloyor ke belakang, di kamar khusus milik pak Aryo. Laki-laki itu sudah bersiap dengan pertempuran di ranjang putih bersih miliknya. Lik Nunik memandang punggung Asri yang tergesa menuju kamar juragannya. Ada senyum di bibirnya yang sulit diterjemahkan. Senyum penuh arti.

“Malam Pak, maaf agak telat. Si ragil minta kelon dulu tadi,” kata Asri sambil membuka tas yang berisi minyak urut. Pak Aryo menoleh ke arah suara perempuan yang selalu dipanggilnya dengan sebutan Manis.

     Ya, Asri memang memiliki paras yang manis. Apalagi jika tersenyum dengan dekik di pipinya. Mata nakal Pak Aryo memandang tanpa berkedip ke arah Asri. Sudah dua pekan lebih Asri tidak memijat tubuhnya, mungkin lebih tepatnya menanti bonus yang diberikan Asri yang sangat memuaskan hasrat kelaki-lakiannya.

Ditariknya tangan Asri ke tubuh tambun berbalut singlet itu. Dia tepat berdiri di depan juragan yang sudah berkepala empat itu. Asri terlihat gugup.

“I-iya Pak, ada apa?”

“Aku kangen kamu Manisku, ayo langsung saja!” ucap pak Aryo sembari menyuruh Asri duduk di sampingnya.

“Ah, Bapak ini. Pijat dulu saja Pak, kaya biasanya. Biar mantep.”

“Kamu sudah pintar menggodaku sekarang,” Asri hanya tersenyum. Senyum manis yang sudah lama menghilang.

   “Ya sudah ayo! Pijat dulu, tapi dengan syarat, ya?”

Kumpulan FIKMIN, CERPEN Dinamika Kehidupan Tentang Cinta, Bahagia, Rindu. Marah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang