Harum Dari Baliyohuto

97 8 0
                                    


“Mas, bener terima tugas ke Gorontalo?” tanyaku datar.

Lelaki di hadapanku itu menatap sayang. “Oh itu, iya Dik. Mas belum sempat cerita.”

“Tumben betah  nyimpan cerita sendiri. Memang nggak ada orang lain di kantor? Bukannya Mas nggak di bagian dakwah lagi?” Mas Hakim, suamiku pun menghentikan aktivitas membacanya.

“Anak-anak baru belum pengalaman, Dik.”

“Oh, teman Mas yang lulusan Adab itu ikut tugas juga?” Aku terus menyelidik.

“Mansyur? Dia dapat jatah cuti. Rencananya pulang kampung.”

“Terus kapan Mas dapat cuti? Bukannya belum lama Mas ke pedalaman juga?” Kali ini mas Hakim lebih serius menjawab.

“Apakah berjalan di jalan Allah mengikuti jadwal kita? Setahuku, istri salihat ini sangat paham.” Mas Hakim menggodaku dengan mencubit pipiku yang memerah. Aku merengut dan menunduk.

“Iya tahu, masalahnya hplku dua bulan lagi. Masa Mas nggak nungguin lahiran.”

“Rencana di sana dua bulan, selebihnya dilanjutkan yang lain. Tahu kan, gunung Baliyohuto?”

“Nggak tahu.” Aku berdiri dan berbalik ke kamar dan ceklik pintu terkunci. Kesal.

“Dik buka pintunya! Hei apa-apaan ini?” seru mas Hakim sambil mengetuk pintu. Aku bergeming dengan air mata tak terbendung.

Sejak awal aku baca surat tugas itu rasa penasaran pada gunung Baliyohuto memenuhi kepala. Bulu kuduk bergidik saat membaca beberapa referansi. Baliyohuto bagai menyimpan kisah mistis. Suku yang disebut Palohi itu memiliki kesaktian bisa menghilang dari pandangan orang.

Mereka dipercaya bisa berjalan dengan sangat cepat dan mampu hidup di tengah hutan belantara. Keyakinan leluhurnya menyatu dengan alam sulit untuk dibantah.

Mereka bahkan menawar agar pemerintah membangun rumah di hutan jika tidak ingin suku itu berpindah-pindah. Belum lagi lokasi menuju hutan sulit untuk dijangkau.

Aku membayangkan mas Hakim akan mengalami banyak kendala. Kepiawaiannya berkomunikasi memang tidak diragukan. Mungkin itu salah satu alasan pihak Yayasan menempatkannya sebagai ujung tombak. Hati ini belum siap jika terjadi sesuatu padanya. Mas Hakim aku belum siap menjadi janda, batinku sedih.

“Dik, mas minta maaf kalau nggak ngajak diskusi dulu. Ayo lah, beri kesempatan untukku mengemban amanah ini. Dik Nad, kamu pasti sangat khawatir. Mas nggak sendiri di sana.”

“Mas, aku mau tidur. Jangan ketok-ketok lagi pintunya!” Samar terdengar sandal diseret menjauh dari kamar. Maafkan, mas. Aku ingin merenung sendiri malam ini.

*

Selepas magrib mas Hakim mulai mendaftar barang yang akan dibawa. Tanpa meminta bantuanku tangan cekatan itu memasukkan beberapa baju dalam tas.

Aku yang termangu menahan butiran bening ini luruh lagi. Mata yang sembap karena hampir semalam menangis dan kurang tidur, membuat laki-laki tegas itu menghentikan aktivitasnya. Mas Hakim mendekat dan meraih tanganku dengan lembut. Ah, kenapa serasa berat melepasnya. Tidak seperti hari-hari yang lalu.

“Dik, apakah hatimu lebih baik?” Aku hanya mengangguk.

“Alhamdulillah, ini baru istri dunia akherat. Emm ... mau, kah kamu berjanji, Dik?”

“Apa?”

“Lepaskan mas dengan ikhlas, karena semua dari Allah dan akan kembali ke Allah. Kematian itu sedekat urat leher kita. Tidak peduli di mana kita berada. Ridamu adalah amal salehmu juga. Allah tidak membiarkan hambanya yang bersungguh-sungguh di jalan-Nya.”

“Iya Mas, Sungguh bodoh kalau aku tidak mengikhlaskan Mas pergi, padahal jelas untuk kemaslahatan. Maafkan, ya! Semoga Allah mengabulkan doaku, agar jundi kita mendengar kalimah tahlil pertama dari abinya.” Mas Hakim menarik bibirnya membentuk senyuman hangat. Tubuhku pun berada dalam rengkuhnya yang nyaman.

Tangan kokah itu berganti mengusap perutku yang  semakin buncit.

“Aamiin, insyaallah. Jundi baik-baik sama Ummi, ya! Doain Abi bisa menemani kamu saat lahir nanti.” Hatiku bergetar mendengar ucap tulus itu.

Waktu terus merayap cepat. Besok pagi dia bertolak ke Gorontalo. Tidak akan kusia-siakan malam ini menemaninya. Menjadi istri yang mendukung girahnya menuju kalimah thoyibah.

*

Ibu terus memintaku membuka mata. Wajahnya tampak sangat khawatir. Aku berusaha menikmati sakit kontraksi ini dengan berdzikir.  Kata suster yang memeriksa menunjukkan pembukaan yang hampir sempurna. Bidan senior memberiku semangat sambil menunggu dokternya datang.

“Ibu, apa mas Hakim sudah kasih kabar? Apa dia jadi balik?”

“Belum, Nak. Sabar ya, kita doakan yang terbaik untuk suamimu. Fokuslah pada bayimu yang hampir lahir Nadia. Hakim pasti bahagia melihat kalian nanti.” Ibu menghiburku dengan mata berkaca. Perasaanku mulai buruk.

Dokter Maryam datang membimbing persalinanku dengan sabar. Aku berdoa dalam hati. Tetiba seseorang  hadir mengejutkanku dengan senyum khasnya.

“Ayo Mi, jundi kita sudah kelihatan rambutnya. Dia kuat dan tabah seperti ummi dan abinya. Genggam tangan abi! Tarik napas satu kali embusan, bayi kita akan bersyukur dengan tangisnya yang merdu!”

Aku menggengam tangan itu dengan rasa  yang membuncah. Mas Hakim benar-benar menemani. Laki-laki yang kurindu itu terlihat bersih dan sangat harum. Minyak wangi yang harumnya masih asing di hidungku.

Ucap syukur terdengar bersamaan dengan tangis bayiku yang kencang. Tubuh ini terasa lemah. Suara dokter dan  suster bersahutan tidak jelas. Sedikit yang terekam, katanya aku mengalami perdarahan.

Tiba-tiba suasana begitu hening dan gelap. Sepintas masih terasa mas Hakim berusaha menggengam tanganku kembali. Dia berbisik lembut, “Mas mencintaimu, kamu harus bangun, Dik!”

*

Air mata ibu masih menghiasi pipi tuanya. Tangannya mengusap lembut keningku dan memberi isyarat agar aku jangan banyak bergerak. Dari sudut mata terlihat ada adikku yang duduk di kursi dekat ranjang. Ibu mendekat di wajahku ketia bibir ini bergerak.

“Iya Nak? Alhamdulillah bayimu sehat. Dia gagah dan kuat seperti abinya."

“Iya Ibu, alhamdulillah. Di mana mas Hakim? Apa dia di ruang bayi, Ibu?”

“Nadia?” Ibu malah menggemgam tanganku dan menciumnya. Butiran itu semakin deras.

“Irvan, kamu dah ketemu kakakmu, belum?”

“Maaf Mbak, yang tadi itu mungkin hanya mimpi atau perasaan Mbak aja. Apalagi sampai tak sadarkan diri. Dokter aja sempat panik.”

“Benar, kah? Mas Hakim jelas-jelas menggenggam tangan mbak dan memberi semagat, Van. Nggak mungkin mbak mimpi. Ayo lah! cari kakakmu. Suruh dia ke mari. Mas Hakim sudah janji kalau mau nemani mbak. Ivan kenapa diam?”

“Mbak, maafkan Mas Hakim. Dia berusaha memenuhi janjinya. Ta-tapi cinta Allah tidak mengizinkan mas Hakim ke sini.”

“Ibu, apa maksud Ivan?” Tubuhku gemetar mengingat sosok penyayang yang memberiku semangat. Harum wangi itu juga masih bisa kurasakan.


Pelukan ibu dan suara lirih Ivan membuatku tersadar. Bukan hanya bangun dari mimpi tetapi merasakan kehadiran mas Hakim di ruangan itu. Janji Allah memang benar. Orang yang berada di jalan Allah itu tidak mati, tetapi dia hidup di sisi Rabbnya.

“Tunggu ya, Mas. Bau harum dari Baliyohuto menemaniku. Jundi akan bangga dengan perjuangan abinya.”

***

Agustus 2020








Kumpulan FIKMIN, CERPEN Dinamika Kehidupan Tentang Cinta, Bahagia, Rindu. Marah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang