RAHASIA SUAMIKU

185 14 0
                                    

Mas Eko genap 39 tahun saat mengucap sumpah sucinya untukku. Rambut peraknya mulai bertaburan. Sedang usiaku 30 tahun. Di kampung cukup dikatakan terlambat menikah . Apalagi dua orang adikku sudah lebih dulu menikah bahkan sudah punya anak.

Tidak ada pilihan lain selain menerima perjodohan ini. Kami satu RW beda RT. Laki-laki tamatan STM itu tidak pernah masuk daftar kriteria calon suami idamanku.

Badannya kurus cenderung kerempeng. Matanya sipit dan jarang bicara. Ah, aku tidak tahu dari sisi apa yang bisa membuatku tertarik padanya. Sepertinya aku menikahi patung hidup.

Dulu kami hanya saling melihat bila bertemu. Tanpa ada getar atau perasaan sejenisnya. Beda usia sembilan tahun cukup membuatku kikuk  juga. Mas Eko seorang pekerja keras.  Selain mengolah sawah milik orang tuanya, dia sering ikut proyek alias kuli bangunan.

Di rumah,  mas Eko  hanya tinggal berdua dengan ibunya yang sudah delapan tahun menjanda. Adik bungsunya sudah menikah dan ikut suaminya. Aku sempat heran, kenapa kita bisa menikah. Orang tua bilang itulah jodoh, karena menikah  tidak harus ada rasa cinta dulu  Misteri yang membuat nalarku tidak bisa menerjemahkannya.

"Ini, pakailah dik! " kata mas Eko datar.

"Apa ini mas?"

"Baju tidur, biar nggak kegerahan."

"Ibu yang beli, ya?"

"Ya," jawabnya pelan terus berlalu. Malam pertama kami tidak seperti dalam film atau sinetron yang romantis.

     ***

Aku bangun kesiangan. Pekerjaan di dapur sudah selesai. Sarapan di meja membuat cacing di perut melonjak ingin melahap nasi pecel tempe dan ayam goreng. Ibu hanya tersenyum melihat selera makanku.

"Mas Eko pergi jam berapa , bu?"

"Bakda subuh. Proyeknya jauh, eh piyamamu bagus nduk."

Aku menggangguk, ah ibu sudah pikun rupanya.Bukannya beliau yang membelikan?
Hari itu dan hari-hari berikutnya aku seperti tuan putri saja.Hanya makan, tidur, belanja, kadang ke rumah ibu atau sekedar ke rumah teman sekolah. Rasanya bosan!

Mas Eko benar-benar patung hidup. Bisa dihitung dengan jari bicara padaku. Itupun pertanyaan yang tidak butuh jawaban. Sudah makan? Bisa tidur semalam? Masakannya enak nggak? Huh, dikiranya perut ini  tempat pembungan makanan.Batinku gemas.

Malam itu ibu tidak enak badan. Badannya demam, batuk kering yang berat. Sepertinya radang tenggorokan. Aku cuma bisa membantu membuatkan teh panas. Itupun tidak jadi di minum ibu. Gondok rasanya.

Mas Eko memilih menemani ibu. Jam sembilan malam mataku sudah  ingin merem saja.

"Tidurlah dik! Kalau sudah ngantuk. Biar ibu aku yang temani. " sontak aku senang. Biarlah aku dinggap tidak berbakti. Bodo!

Jam dua dini hari aku ingin ke kamar mandi. Kursi yang biasanya untuk  tidur mas Eko kosong. Berarti dia tidak masih menunggui ibu. Sebuah pikiran terlintas dibenakku.

Jangan-jangan dia mau menikah hanya formalitas biar tidak diangga bujang lapuk.. Perhatian dan sayangnya pada ibu terlihat berlebih. Ibu selalu di dahulukan. Dia memilih ibunya dari pada aku. Bahkan Sampai kesekian bulan ini aku masih perawan ting ting.  Padahal wajahku juga tidak jelek. Kenapa dia tidak berminat ya? Atau jangan-jangan? Oh, tidak!

"Eko, tidurlah. Temani istrimu, kasihan dia sendiri." Suara ibu lirih, tapi masih terdengar di balik pintu yang terbuka sedikit.

"Ibu tidur dulu, baru Eko pergi. Badan Ibu masih demam gitu."

"Eko, sampai kapan kamu berbuat seperti pada  Lasmi? Bagaimana kalau dia malah lari dan bosan?" Ibu terbatuk.

"Ibu tidak usah khawatir, Eko tidak mau memaksa dia untuk menjadi istri yang selayaknya kalau dia belum menyadarinya. Eko terus berdoa suatu saat dik Lasmi dipahamkan Allah akan tugasnya Bu. Eko yakin cinta yang tulus bisa menguatkan niat suci ini."

Deg ... aku seperti tersengat listrik. Ternyata Mas Eko?

"Ibu khawatir kamu sakit. Jam 3 bangun, nyuci, masak,urusan rumah kamu selesaikan. Belum lagi kau kerja keras untuk jatah belanja Lasmi setiap hari. Eko, ibu takut saja, nak."

"Ibu, dik Lasmi anak yang baik. Biar dia merasa nyaman tinggal di sini, seperti di rumahnya sendiri. Suatu saat dia akan mengerti kalau Eko benar-benar mencintainya. Ibu tahu kan, Eko nggak bisa romantis merayu, memuji pakai kata-kata," ucapan terakhir mas Eko membuat tubuhku lemas. Kali ini benar-banar terkulai sampai badan terhuyung dan terjatuh di depan pintu.

"Dik Lasmi! Kenapa? Kamu sakit juga?" wajah mas Eko cemas. Tiba-tiba aku senang mendengar suara dan memandang wajah tegang itu.

"Gendong Mas!"

"Apa? Gendong? Ta, tapi kenapa?"mimiknya lucu.

"Aku kan istri Mas, kakiku sakit."

"Eko, tolonglah istrimu dulu, nak!" seru ibu yang diiyakan mas Eko.

Dalam sekejab tubuhku sudah di bawa ke kamar. Dia memandang aneh perubahan sikapku. Tak kulepas rangkulan tangan yang mengunci lehernya. Jantungku mendadak berlari kencang.

"Dik Lasmi?" Mata sipitnya  keheranan membuat hatiku berdesir, ternyata mas Eko manis juga.

"Mas, kata hadist Nabi istri boleh meminta," aku semakin genit, mas Eko kewalahan menghadapi gerakan nakal tangan ini. Rahasia mas Eko membuatku sadar kalau dia laki-laki yang tepat, yang bisa menenangkan jiwa perempuanku.

Malam itu menjadi malam kami. Mas Eko sungguh luar biasa. Peluh kami menyatu manjadi saksi. Semua hanya mengharap ridlo illahi

Benarlah jika menilai kebaikan bukan dari penampilan luarnya. Hati tulus mas Eko telah meluluhkan perasaanku. Aku kini yang tergila-gila dengan suamiku.

   ***
  8 Sep 2018

Kumpulan FIKMIN, CERPEN Dinamika Kehidupan Tentang Cinta, Bahagia, Rindu. Marah.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang