Book two: graze (woojin/sohye)

59 12 3
                                    

I was never the one from the startI was just a good friendI'm just a comfortable personit's just a love that grazed by- 샤이니

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

I was never the one from the start
I was just a good friend
I'm just a comfortable person
it's just a love that grazed by
- 샤이니


Senandung ceria terdengar mengiringi langkah Woojin yang terlihat bahagia menyusuri taman di samping kampusnya yang menghubungkan gedung perkuliahan dengan tempat parkir motor sekian meter dari tempat ia baru saja membeli makanan ringan kini. Woojin sudah membayangkan duduk di kamar kostnya sambil main PUBG sampai malam; surga dunia yang tidak akan pernah ia tolak.

Hingga Sohye muncul dengan mata bengkak dan air mata yang masih berlinang-linang di pipinya.

Woojin yang sedang makan rumput laut bumbu pedas batal menjejalkan lembar ketiga ke dalam mulutnya ketika langkahnya dihentikan oleh pemandangan di depannya. Sohye, tanpa penjelasan apa-apa langsung menangis tersedu-tersedu dengan posisi puncak kepala menempel pada Woojin. Yang merasa terserang tentu saja semakin bingung karena salah satu teman dekatnya tiba-tiba jadi aneh seperti ini.

"Peng? Peng? Woi, Peng, diliatin nih gue."

Woojin bingung. Semua yang lewat juga bingung, tapi tidak ada yang berbaik hati untuk membantunya memecahkan misteri ini. Sohye yang sibuk menangis tidak pula memberikan kode atau petunjuk kepada Woojin yang terancam menjadi tertuduh karena beberapa orang yang lewat mulai melemparkan tatapan tidak suka padanya.

Tolong. Saya cowok baik-baik.

"Jin, peluk." Jihoon, sahabatnya yang baru saja datang memberinya kode dengan berbicara tanpa suara. Woojin, yang disuruh begitu langsung geleng-geleng kepala. "Kaga boleh peluk-peluk cewe sembarangan kata bunda." Ia membalas saran dari Jihoon tanpa suara juga. Yang memberi pesan akhirnya hanya mengangkat jempol lalu lari dengan panic karena sudah terlambat masuk kelas.

Rumput laut di kemasannya tinggal tiga lembar dan ia ambil semua lalu menyuapnya dengan posisi Sohye masih terisak-isak di depannya. Setelah habis, ia jilati sisa-sisa bumbu di jari dan mengelapnya di celana jeans gelapnya sebelum akhirnya menepuk canggung punggung Sohye.

"Peng? Duduk dulu, yuk? Bingung gue kalau lu begini." Ucap Woojin sambil pelan-pelan membawa Sohye ke undakan yang ada di dekat mereka. Karena Sohye tidak menunjukkan tanda-tanda akan berhenti menangis dalam waktu dekat, jadilah Woojin dengan susah payah berjalan seperti kepiting—berusaha menahan keduanya agar tidak jatuh dengan memegangi kedua lengan Sohye.

Ketika mereka akhirnya duduk, barulah Sohye mengangkat kepalanya.

Isak-isak kecil masih ada, namun Sohye sudah tidak sehisteris tadi. Gadis yang sudah menjadi temannya sejak masa sekolah menengah itu menghapus air matanya dengan punggung tangannya lalu menatap kosong ke dada Woojin.

"Ngapain ngeliatin dada gue, Peng?" Woojin menyilangkan tangannya di depan dadanya dengan canggung. Agak ngeri kalau tiba-tiba ia kena pelecehan seksual dari sahabatnya sendiri.

Sohye, yang dipanggil 'Peng' oleh Woojin menaikkan pandangannya dan menghela napas ketika pandangan mereka bertemu. Ia tahu betul sahabatnya ini bukan tipe 'manis' yang bisa menaklukan hati perempuan. Lelaki lain jika melihat keadaan Sohye tadi sudah pasti akan bertanya-tanya, menenangkan, dan tidak sempat-sempatnya menghabiskan jajanan (jangan kira Sohye tidak tahu) ketika ia sedang histeris di pelukan yang bersangkutan.

"Kenapa sih?"

"Cham, kamu tuh—" Perkataan Sohye terputus ketika suara getaran ponsel yang tergantung di leher Sohye terdengar oleh keduanya. Kontak mata mereka terputus karena kini atensi mereka sepenuhnya beralih pada ponsel yang bergetar tanpa henti itu.

"Gue kenaphhhh—"

Mulutnya dibekap oleh tangan kecil Sohye. Baru saja ia ingin berontak, ia tersadar bahwa si penelpon adalah seseorang yang sangat tidak ia sukai. Woojin terdiam. Diamatinya Sohye yang bangkit lalu menjauh untuk menerima telepon. Awalnya pelan-pelan namun lama-lama ia bisa mendengar nada suara Sohye yang meninggi.

Woojin masih terdiam di tempatnya duduk kini.

Ia baru beranjak ketika Sohye tiba-tiba berjongkok dan menyembunyikan kepalanya ke kedua lututnya. Lekas Ia berlari mendekat—memaksa sahabatnya untuk bangkit namun gagal karena Sohye tetap bertahan pada posisinya.

"Mau sampai kapan lo gini, Peng." Woojin menghela napas berat. Ia berjongkok di depan sang gadis lalu mengacak rambutnya frustasi. Tangannya kemudian mengusap kepala Sohye yang kini menangis semakin kencang karena perlakuan Woojin.

"Kok dia jahat banget ama Sohye ya, Cham? Sohye salah apa?"

Lo gak salah. Dia aja yang brengsek.

Kalau saja ia bisa jujur, ingin rasanya ia menyuruh sahabatnya itu putus dengan kekasih yang sudah sekian tahun ia pacari itu. Namun Woojin tahu posisinya. Seberat apa pun ia melihat sahabatnya, tidak, perempuan yang amat ia sayangi diperlakukan seperti ini, Woojin tahu ia hanyalah seorang sahabat.

"Peng, peluk tas gue." Ucapnya sambil mengedepankan tasnya. "Gue gak bisa meluk lo. Jadi lo peluk tas gue aja ya? Lo peperin ingus juga gak apa-apa yang penting lo lega.."

Sohye mengangguk lalu memeluk ransel hitam yang isinya lumayan padat itu.

"Jangan keseringan nangis, Peng. Gak lucu banget nangisnya pasti ama gue kalau yang enak-enak ama dia."

Sohye mengangakat wajahnya; menunjukkan mata sembap dan hidung yang memerah karena menangis keras.

"Karena Sohye enggak mau dia lihat Sohye begini, Cham," gadis itu terisak sekali dan Woojin menyeka air matanya dengan ibu jarinya. "Sohye enggak bakal pernah ngeliatin sisi rapuh ini ke dia. Karena dia bakal bangga."

"Tapi, Peng—"

"Cukup kamu aja," ia tersenyum lemah. "Cuma sama Chamsae, Sohye bisa nangis dan ketawa sepuasnya."

Percaya tidak kalau bahagia dan kehancuran bedanya letaknya sangat tipis?

"Karena Chamsae sahabat Sohye yang paling Sohye percaya."

Nah.

A Book of Ninety-nineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang