"Saya tidak mabuk, hanya sedang melampiaskan rasa sakit"
♡♡♡
Ujian hidup memang berat adanya. Tak ayal banyak yang mengeluh, merintih, menangis pilu, bahkan menyalahkan takdir.
Seperti halnya remaja berpostur tinggi dan kurus yang sedang menggenggam sebotol minuman keras, dia berusaha mengalihkan rasa sakit atas ujian hidup yang menimpanya.
"Takdir sialan! Kenapa gue harus hidup kalo kehidupan gue ajah gak berarah? Cabut nyawa gue ya Tuhan!"
Mengeluh, menyalahkan takdir, mencoba menentang takdir, dia lakukan hanya karena rasa putus asa. Tak pernah kah dia berpikir atas apa yang ia perbuat justru akan semakin mempersulit jalan hidupnya sendiri?
Menyerah terlebih dahulu sebelum berusaha. Pecundang. Bukankah sudah jadi hukum alam bahwa optimis, ikhtiar dan tawakal adalah fase kehidupan?
Jika memang kita sudah berusaha semaksimal mungkin, namun masih belum memberikan hasil, langkah selanjutnya ya hanya berserah diri, bukan menentang atau menyalahkan takdir.
Syahreza. Remaja itu berjalan dengan sempoyongan. Efek dari minuman keras yang ia minum begitu menyulitkan jalannya. Ini salahnya sendiri.
"Gue iri sama mereka yang masih bisa merasakan kehangatan dalam rumah. Sialan, sialan, sialan."
Segala sumpah serapah Syahreza keluarkan. Tak peduli banyak orang yang melihat atau mendengarnya saat ini. Ia hanya ingin melampiaskan seluruh curahan hatinya.
Katanya, orang mabuk kalau ngomong sesuai yang dihati.
"Astaghfirullah ... hey anak muda, kenapa kau bisa mabuk seperti ini?" tanya pak tua yang melintas di depan Reza.
"Hallo pak Ustadz! Saya tidak mabuk, hanya sedang melampiaskan rasa sakit. Hati saya sakit pak Ustadz. Saya sendirian, ha-ha-ha." Reza cukup setengah menyadari sosok di depannya. Matanya terbuka menutup seolah otomatis. Pikirannya berkelana jauh. Hatinya ngilu tiap kali mengingat kehidupannya yang menurutnya... menyedihkan ini.
"Ingat ini baik-baik! Allah selalu memberikan jalan bagi orang-orang yang mau berusaha untuk mencari kebahagiaan melalui berbagai cara."
"Benarkah? Tapi saya tidak percaya itu. Semua hanya omong kosong!" Dengan sempoyongan Reza mendekati pak tua itu."Sebaiknya Bapak tidak mengurusi hidup saya. Sebab, orang tua saya sendiri saja tidak pernah mengurusi saya," lanjutnya.
Reza merasakan kelopak matanya basah. Entah sejak kapan ia menangis!
"Nak! Aku kasihan melihatmu seperti ini. Biar ku antar saja kau pulang," ucapnya.
"Tidak, tidak, tidak! Saya bisa sendiri. Lebih baik bapak pergi saja!" tolak Reza yang sudah melangkah pergi menjauh meninggalkan pak tua itu.
BRUKH ...
Baru saja pak tua itu ingin pergi bersama dengan Reza yang juga pergi entah kemana, dengan cepat dia kembali berlari mendekati Reza yang sudah terkapar lemah di atas rerumputan.
"Tolong... tolong!!" teriaknya.
Dengan tubuh yang kecil, kurus, dan umur yang sudah tidak mudah lagi tidak memungkinkan bapak itu mengangkat Reza sendiri. Dia butuh orang lain untuk membantunya. Tetapi, melihat kondisi sekarang ini tidak bisa jika dia hanya berharap ada orang lain yang akan menolong mereka.
Sesegera mungkin bapak itu menelfon pihak rumah sakit, agar bisa menangani Reza secepatnya.
***
Aroma obat-obatan khas rumah sakit merebak di dalam ruang IGD. Membuat siapa saja akan terganggu.
Di ruangan itu, Reza terbaring lemah, dengan selang infus yang sudah terpasang cantik dipergelangan tangannya. Di samping itu pula, bapak tua yang mengantar Reza, entah kemana dia sekarang. Sebab, saat ini, tidak ada satupun keluarga yang mendampingi Reza. Sekali pun pihak Rumah sakit sudah beberapa kali munghubunginya.
Menurut hasil pemeriksaan dokter, tidak terjadi apa-apa dalam diri Reza. Ini hanya efek alkohol yang menyebabkan Reza tak sadarkan diri. Namun, di sisi lain ada sesuatu yang mengganjal yang masih belum bisa dipastikan. Entahlah, dokter tersebut juga bingung.
Ditambah keluarga pasien tak ada satu pun yang menemani Reza, membuatnya merasa iba.
"Ngapain coba gue ada di sini? Lebay, pake segala di infus, dikiranya gue penyakitan kali ya," gerutu Reza.
Reza mencoba melepas selang infus yang ia pakai. Sip, berhasil. Meski sedikit nyeri. Tak apa. Itu tidak sebanding dengan rasa sakit dihatinya.
Dengan kepala yang masih sedikit berdenyut, Reza segera keluar dari ruangan bernuansa putih itu. Membosankan.
Didera rasa pusing membuat Reza memejamkan mata beberapa kali. Masa bodoh. Dia harus tetap pergi dari sini. Terus melangkah sesekali menyenggol seseorang tanpa sengaja mengharuskan dia menerima serapahan lirih dari orang-orang yang berlalu lalang.
Reza semakin yakin bahwa tak ada satu pun orang yang peduli dengannya. Ah, mengingat itu Reza jadi semakin benci hidupnya sendiri.
"Maaf!" ucap seorang perempuan. Dia segera membantu Reza untuk berdiri setelah tidak sengaja menabraknya di koridor rumah sakit.
Reza yang masih jatuh terduduk menerima bantuan dari sosok di hadapannya. Dengan lekat ia menatap wajah perempuan di depannya. "Terima kasih," ucapnya.
Meski sedikit berandal, setidaknya Reza tahu berterima kasih ke seseorang yang membantunya. Itulah yang selalu ibunya ajarkan dulu. Perihal dia memperlakukan pak tua yang ia temui, sungguh dia merasa tak enak hati. Pasalnya kondisinya saat itu kan sedang mabuk, jadi dia lupa apa yang ia perbuat.
Anindita, perempuan itu, tersenyum manis ke arah Reza. "Sama-sama," ujarnya.
Reza segera berjalan kembali tanpa sepatah kata. Sesangkan Anindita masih setia dipijakannya.
"Sorot matanya menunjukan kalau dia penuh ... kegelapan? Ah semoga saja tidak." Anindita menerawang setelah bertemu sosok yang baru saja ia jumpai.
Dia menggelengkan kepala beberapa kali dan segera berjalan kembali untuk segera menemui sang neneknya yang sedang dirawat. Bagi Anindita, neneknya adalah seseorang yang amat penting dalam hidupnya. Dia yang selalu mengajarkan sebuah ketulusan juga ke lapangan dada.
Orang tuanya? Mereka hanya bisa mengekang Anindita dengan berbagai aturan hidup yang mereka inginkan. Kadang, Anindita merasa jenuh jika hidupnya selalu diatur, namun berkat sang nenek Anindita mampu melawannya dan berusaha untuk tetap sabar.
"Mereka melakukan ini semua demi kebaikan kamu, Nak!" Itulah kata yang sering nenek Anindita ucapkan.
***
Reza memasuki pekarang rumahnya. Sepi. Selalu seperti ini. Keadaan seperti ini memang sudah lama terjadi, bukan berarti Reza tak bosan. Jelas dia sering bosan. Hey, siapa pun tahu, jika sendirian itu membosankan. Kesepian itu menyedihkan.
Terkadang hal yang Reza lakukan untuk menetralisir rasa bosannya yaitu dengan bermain bersama anak-anak panti atau bahkan bermain di jalanan dengan teman jalananya. Sebelumnya, ada seseorang yang selalu menemani saat ia sendirian dan bosan.
Orang itu selalu menyemangatinya dalam menjalankan hidup. Dia pula mengerti tentang kesendirian Reza selama ini. Dia yang selalu menjaga Reza. Dia juga memberikan asupan kasih sayang. Sungguh, Reza mencintainya, mungkin sampai detik ini.
Sekarang, dia sudah bersama orang lain. Dia menjadi milik orang lain. Reza harus sadar itu.
Mawar. Dia bernama Mawar. Bukan Mawar bunga, bukan pula Mawar pedagang borak. Dia Mawar si pengisi hati Reza selama ini. "Mawar, aku rindu kamu," ujar Reza lirih.
Mawar sudah bahagia dengan kekasihnya sekarang. Hubungan antara Reza dan Mawar sudah kandas karena sebuah perjodohan.
Malang. Hanya itu yang mendeskripsikan tentang Reza.
.
.
.
.
.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
Fake Happiness
Teen Fiction"Tak selamanya tirta amarta itu jernih" Syahreza. Laki-laki yang penuh kasih sayang, yang selalu bisa membawa kehangatan bagi semua orang. Tetapi tidak untuk dirinya. Menurut pandangannya, dunia itu keruh dengan segala derita yang tercipta. Tak ada...