Part 3

21 8 0
                                    

Terkadang, garis kehidupan tak sesuai pengharapan. Entah siapa yang bersalah. Mungkin saya yang tidak tahu diri dan kurang bersyukur, atau semesta sedang berperan jahat?

_____________________
__________________

Rumah selalu jadi tempat pelabuhan terakhir. Sejauh mana kaki mengembara, tetap akan pulang jua. Tak sedikitpun rasa bosan menghampiri tiap kali ingin pulang. Tapi ini semua berbeda bagi Reza.

Rumahnya bukan lagi tempat ternyaman. Bukan lagi satu satunya yang ia harapkan.

Suasana, waktu, atau bahkan fungsinya sudah tak sama. Semua beda. Ini yang Reza rasa.

Sepulang sekolah, Reza melangkah gontai memasuki rumahnya. Rasa malas menyelimutinya tiap kali sampai depan rumah.

Beberapa langkah setelah membuka pintu, suara keras, kasar, umpatan-umpatan, berdengung di telinganya.

"Dasar wanita bodoh! Di mana otakmu huh? Cuma buat kopi saja tidak bisa. Lihat ini!"

Dengan sekali hentakan, Wisnu, papa Reza, menarik keras rambut Hanna, mama Reza, mendorong keras kepala istrinya agar menyentuh lantai yang penuh dengan tumpahan kopi.

Rasa panas dan nyeri bercampur menjadi satu. Panas akibat kopi itu, dan nyeri akibat rambut yang ditarik kuat oleh suaminya. Berkali-kali itu dilakukannya. Tapi tidak ada perlawanan sedikitpun yang dilakukan oleh Hanna. Dia hanya diam dan pasrah atas perlakuan suaminya.

"Jangan menjadi wanita yang tidak berguna, karena aku tidak akan segan-segan menceraikanmu jika itu terjadi," ucap Wisnu tenang, namun penuh penekanan disetiap perkataannya tepat di depan wajah istrinya.

Mengerti, Hanna menganggukan kepala. Sedetik kemudian, Wisnu sudah pergi entah ke mana. Menghilang dibalik tembok rumah mewah itu, bersama dengan suara tangis yang kian menjadi di raut wajah Hanna.

Reza. Dia melihat semua itu, bahkan mendengar jelas setiap kata yang keluar dari mulut papanya.

Sedih, bahkan kecewa terus saja menyelimuti dirinya. Hidup di tengah-tengah keluarga yang jauh dari kata bahagia. Banyak pertanyaan yang kerap menghampiri hati Reza. Mungkin dari sekian itu, apakah hidup yang dialaminya sama dengan orang lain diluar sana, atau bahkan teman-temannya sendiri? Entahlah, hanya Tuhan yang tahu.

Reza berlalu keluar rumah. Hatinya tersayat kala mendengar isak tangis seseorang yang ia sayangi. Untuk saat ini, ia tak bisa menghapus air mata ibundanya. Dia pergi, meninggalkan Hanna yang masih menahan sesak tangis.

Umpatan kasar, makian, suara keras penuh ancaman, berdengung ditelinga Reza. Ingin sekali dia berteriak. Mengungkap bahwa ia lemah di posisi ini. Lagi dan lagi, dewi batinnya mendorong untuk tetap berdiri.

Reza itu cowok. Kemungkinan menangis itu hanya sekian persen saja. Ia harus terlihat baik-baik saja jika tidak ingin dicap lemah.

Reza harus bebal dengan semua yang ia alami.

"Gue gak boleh lemah!"

Dia menarik napas dalam. Mengembuskan dengan pelan. Tenang. Badai akan segera berlalu. Reza yakin itu.

Saat ini Reza berada di sebuah taman. Pakaian yang ia kenakan masih sama seperti di sekolah. Ia tak sempat untuk sekadar mengganti baju, pikirannya terlalu kalut. Harusnya semua yang terjadi pada hari ini sudah biasa, tapi tetap saja meninggalkan luka.

Pandangan Reza menangkap ke seorang bocah kecil yang tengah menangis di sebelah ibunya. Sedangkan orang tua tersebut tengah berargumen panas dengan suaminya, mungkin.

Bayang bayang kejadian yang selalu ia lihat terngiang. Ia berlari ke bocah tersebut, menggendongnya untuk menenangkan. Jangan sampai anak itu bernasib sama dengannya.

"Adik ikut Kakak ya! Kita beli es krim, biar Mama sama Papah adik ngobrol dulu ya!" Reza berbisik lirih, tak menginginkan si ibu dari bocah ini menyadarinya, biarkan saja mereka berdebat. Menyelesaikan masalah yang mungkin akan lebih memperkeruh bukan selesai.

"Bodoh," umpat Reza lirih.

Ia tak habis pikir dengan jalan pikiran kedua orang tua bocah kecil ini. Tak pernahkah mereka berpikir bahwa anaknya ketakutan dan semacamnya? Lagipula ini tempat umum, tidak tahu malu sekali. Miris.

"Tapi Kak, Mamah sama Papah bicaranya keras-keras, Rama takut," cicit bocah kecil itu.

"Iya, makanya, tadi siapa namanya Rama? Rama ikut Kakak yuk! Nanti kalau Mamah sama Papah Rama udah gak bicara Rama boleh pulang sama mereka."

Reza tersenyum tipis setelah mendapat anggukan kepala dari Rama. Huh. Ingin sekali Reza memaki mereka yang bahkan tak menyadari anaknya sedang ia bawa. Bagaimana jika Rama diculik orang jahat?

Manusia, terlalu larut dalam dunianya sendiri hingga tak menyadari sekitarnya.

°°°

Hujan baru saja reda. Genting-genting masih basah. Ujung-ujung dedaunan masih meneteskan air sisa hujan. Rasa dingin akibat hujan pun semakin terasa saat angin mendesau menyelinap masuk ke dalam rumah Anindhita.

Rumah yang terlihat biasa-biasa saja, bahkan terlihat sangat sederhana. Rumah yang mungkin hanya seluas 23 saja, dengan sedikit pekarangan yang dihuni oleh dua manusia. Anindhita dan neneknya.

Gadis itu, Ditha, baru saja selesai melaksanakan shalat Ashar. Suatu kewajiban yang tidak pernah ia tinggalkan, sekalipun sesuatu mendesaknya.

Perlahan Ditha berjalan masuk ke dalam kamar neneknya. Dilihatnya wanita itu penuh sayang sekaligus sedih. Tangan kecil Ditha kini sudah memegang erat tangan neneknya. Tangan yang sudah mulai berkeriput dan semakin kecil itu, sebab umur yang terus bertambah disetiap tahunnya.

"Nek! Maafin Ditha ya. Maafin cucu nenek ini kerena belum bisa buat nenek bahagia," jeda sebentar.

"Dhita tahu, selama ini nenek selalu ngerasain sakit, sakit yang teramat luar biasa. Tapi apa? Ditha gak bisa lakuin apa-apa buat nenek selain berdoa dan terus menangis karena keadaan. Keadaan yang terus menerus menyiksa kita."

Ditha tidak bisa membendung air matanya lagi. Rasa sesak menghempit dadanya, tidak memberi oksigen masuk ke dalam paru-paru barang sedikitpun. Sempat pula ia beberapa kali memukuli dadanya, berniat menghilangkan rasa sakit yang kian menjadi.

"Sayang...."

Suara parau itu menghentikan aksi Ditha.

"Kok dadanya dipukul-pukul?" tanya sang nenek. Hanya senyuman sebagai jawaban dari pertanyaan itu.

"Sekarang nenek makan ya, kan dari tadi siang belum makan, nanti sakitnya kambuh lagi loh," ajak Ditha sekaligus ia pun berusaha menghindari pertanyaan yang mungkin saja akan dilontarkan oleh neneknya.

"Nenek sudah sehat sayang. Lihat!"

Dengan susah paya, kini nenek Ros, nenek Ditha, sudah berdiri. Digerak-gerakannya tangan, kaki, dan juga kepalanya. Tapi, walau seperti itu, dia juga sedang berusaha keras menahan sakit akibat pergerakannya barusan. Itu dia lakukan, supaya cucu satu-satunya, Ditha, tidak perlu lagi merasa khawatir tentangnya. Berharap bisa mengurangi beban pada gadis kecilnya.

Nenek Ros tahu, selama ini bukan hanya dia yang menderita, bahkan terus berjuang kuat untuk hidup. Tapi juga cucunya. Dia paham, sangat paham. Gadis seumuran Ditha seharusnya tidak merasakan hidup seperti sekarang ini, yang penuh dengan tangisan.

Andai, dulu tak ada yang egois. Mungkin cucunya tidak akan seperti sekarang. Namun, itu hanyalah andai saja.

Kembali lagi, waktu tak akan terulang, dan  penyesalan pun pasti akan terus di belakang.
.
.
.
.
.
Tbc

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 08, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Fake HappinessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang