Asta - 01

22 1 0
                                    

Pulang di saat yang bersamaan dengan orang-orang pulang kerja, mau gak mau kamu harus berdesak-desakan dan berebut oksigen. Beruntung tadi ada ibu-ibu di depan kamu yang turun dan kasih tempat duduknya buat kamu, jadi kamu bisa tidur walaupun cuma sepuluh menit. Ketika terdengar pengumuman kalau kamu sudah sampai tujuan, kamu bangun dan duduk sebentar sebelum berjalan ke gerbong paling depan.

Berdiri dengan kedua tangan kamu di dalam kantong hoodie, kamu berdiri di depan pintu sambil mendengarkan lagu yang mengalun dari earphone kamu. Pengumuman kalau kereta kamu akan masuk di jalur tujuh dan pintu yang akan dibuka adalah pintu sebelah kiri dari arah datangnya kereta terdengar samar, tapi kamu bisa menebak dari pindahnya orang-orang yang menumpuk di pintu sebelah kanan ke sisi sebelah kiri kereta. Waktu kereta berhenti sepenuhnya dan pintu terbuka, kamu disambut dengan rintik hujan. Orang-orang yang tadinya siap mendorong keluar jadi terhenti sejenak, mundur sedikit dan menutupi kepala mereka dengan tas atau hanya sekedar telapak tangan yang lebih kecil dari kepala mereka, lalu berlari keluar gerbong untuk mencari tempat berteduh.

Kamu juga sama, kamu berlari sampai ada atap yang melindungi kamu dari hujan. Beruntung hujannya belum deras, jadi kamu gak sampai basah kuyup. Walaupun begitu, kamu tetap gak bisa pulang karena begitu kamu sampai di pintu keluar hujannya makin deras ditambah dengan kilat yang suaranya berkali-kali menembus earphone kamu.

Lama-lama tempat kamu berdiri penuh orang, ada yang duduk bersandar di tembok dan ada juga yang berdiri. Di samping kamu ada cowok yang bersandar di tiang penyangga, kamu sering lihat dia karena satu kereta sama kamu, kalian turun di stasiun yang sama, dan bahkan kalian makan di satu kantin yang sama. Awalnya kamu gak tahu dia siapa, tapi karena kamu penasaran, kamu coba cari tahu tentang dia.

Sekarang kamu tahu nama dia, Mikael Agusta. Dia selalu berangkat satu kereta sama kamu, tapi kalau pulang kamu gak pernah ketemu. Ini kali kedua kalian pulang satu kereta karena biasanya dia pulang lebih malam daripada ini.

Rasanya kamu mau mulai pembicaraan sama dia, sekedar tanya pulang naik apa kalau hujannya deras banget begini. Tapi bukannya kamu yang sempat bertanya, malah dia yang mendatangi kamu dan menanyakan kamu hal yang ingin kamu tanyakan kepada dia.

“Pulang naik apa?” tanya dia ke kamu tanpa melepas masker hitamnya.

Kamu diam. Kaget dan deg-degan ketika mendengar suaranya untuk pertama kalinya. Selama ini kamu pikir suaranya gak akan sedalam ini, sama sekali gak terbayang di otak kamu kalau dia akan ngobrol sama kamu. Emangnya dia kenal kamu?

“Gue kenal lo kok,” jawab dia, dan kamu lagi-lagi kaget karena dia bisa tahu apa yang kamu pikirkan.

“Hah?” kamu pura-pura gak ngerti aja, biar dikira gak kaget.

“Tadi lo tanya gue kenal lo atau enggak,” kata dia, dan kamu baru sadar kalau kamu gak cuma mikirin pertanyaan itu, tapi kamu beneran tanya.

Kamu cuma mengangguk dan terus mengangguk, gak tahu harus jawab apa.

“Jadi lo pulang naik apa?” tanya dia lagi.

“Ojol. Kalo lo?”

“Motor juga, tapi bukan ojol,” jawab dia sambil keluarin plastik dari tasnya.

Waktu kamu lihat, ternyata isinya sandal juga kayak kamu tadi. Dia ganti sepatunya lalu dia gulung celana jeansnya. Kamu sadar kalau hujannya sudah reda dan orang-orang mulai berjalan keluar stasiun, dan kamu siap-siap pamit sama cowok di sebelah kamu ini. Tapi lagi-lagi, kamu keduluan sama dia.

“Motor gue disana,” kata dia lalu nunjuk parkiran di sebelah kanan kalian.

“Oh, oke. Duluan,” jawab kamu nunjuk ke arah yang berlawanan dari parkiran motor.

“Lo gak mau bareng gue?” tanya dia tiba-tiba, dan kamu gak pernah lebih deg-degan daripada sekarang.

Kamu mau jawab ayo, tapi kamu takut dikira gampangan dan kamu juga takut diapa-apain. Kalau kamu bilang enggak, kamu takut dikira jual mahal dan kamu mungkin saja kehilangan kesempatan untuk melangkah lebih dekat ke arah dia.

“Kena tarif nggak?” tanya kamu berusaha diplomatis.

Saat itu dia lepas maskernya, senyum ke kamu sampai bikin jantung kamu siap loncat keluar, dan dia mengulurkan tangannya seakan-akan minta uang ke kamu.

“Bayarnya di kantin aja besok, biar lo gak curi-curi pandang ke gue lagi,” jawab dia sambil senyum sombong.

Muka kamu panas walaupun hujan dan angin bikin semua orang di sekitar kamu mengeratkan jaket mereka. Rasanya kamu mau sembunyi dan gak mau ketemu sama dia lagi. Akhirnya kamu ikut pulang sama dia, dan sekarang kamu tahu nama panggilannya, Asta.

NoctuaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang