Dimi - 01

11 1 0
                                    

Kala seragam putih abu-abu masih menjadi saksi bisu dari kisah kamu selama lagu-lagu tentang cinta membuat sosok seseorang muncul dalam benakmu, ada yang pernah mengucap janji kepadamu, dengan harapan ia akan menepatinya suatu hari nanti. Kala itu kamu percaya manisnya janji kosong, percaya dengan orang yang mengucap janji itu. Kemudian hari itu datang bersama orang yang membuatmu tersenyum, ia membawa tinta yang membuatmu mencoreng kata janji dari buku berisi kisah-kisahmu yang akan datang.

“Janji itu bisa ditepati kalau aku punya kekuatan untuk memenuhinya,” ucapnya dengan kepala tertunduk.

“Lalu apa gunanya mengucap janji kalau kamu tidak yakin bisa menepatinya?” tanyamu dengan dahi berkerut bingung.

Tapi ia hanya diam dan berlalu pergi, meninggalkanmu sendiri bersama capung yang bebas beterbangan. Kala itu kamu mengajarkan dirimu sendiri untuk tidak menjanjikan apapun kepada siapapun, juga untuk tidak mengharapkan seseorang memenuhi janjinya.

Lalu kamu bertemu dengan Dimiero Maitreya, seseorang yang dikenal karena sifatnya yang ramah dan bersahabat dengan seluruh makhluk yang bernafas di muka bumi ini.

“Nanti gue jemput,” ucap Dimi sebelum kamu turun dari mobilnya.

“Gausah lah, nggak tau selesai jam berapa,” jawab kamu sambil melepas sabuk pengaman.

“Kabarin pokoknya,” balasnya berdecak jengkel.

Setelah dua tahun melepas putih abu-abu, kamu akhirnya kembali bertemu dengan teman-teman terbaikmu. Tidak ada perasaan yang lebih baik selain bersama dengan orang-orang yang selalu menjadi alasan dibalik tawa dan senyumanmu.

Sebelum mobil Dimi melaju pergi dari restoran tempat kamu bertemu dengan para sahabatmu, ia membuka jendela mobilnya sekali lagi dan memanggilmu yang sudah berjalan masuk.

“Gue suka baju yang lo pake,” puji Dimi membuat kamu mengacungkan ibu jarimu kemudian ia lanjutkan dengan, “sama yang pake apalagi.”

Sudah terbiasa mendengar Dimi tiba-tiba melemparkan kalimat-kalimat seperti itu, kamu menghiraukan Dimi dan terus berjalan masuk menemui teman-temanmu. Walaupun kamu tidak melihat wajah Dimi sekarang, kamu bisa membayangkan ujung bibir Dimi yang terangkat karena lagi-lagi tidak mendapatkan reaksi yang diharapkan.

Tanpa sadar, kamu pun ikut tersenyum.

Waktu berjalan terlalu cepat ketika kamu bersama teman-temanmu. Gelas-gelas yang berisi minuman mulai dari kopi hingga lemonade sudah kosong, terlupakan diantara upaya mengingat-ingat yang hampir terlupakan. Gelak tawa dan sentimen nostalgia menggantung di udara, langit biru yang telah berganti warna menyadarkan kamu akan waktu yang sudah berlalu.

“Bubaran yuk,” ajak salah satu temanmu yang kemudian disetujui oleh yang lain.

Ada tugas yang belum selesai, ada yang harus kembali ke kampus untuk rapat dan ada yang harus melanjutkan pekerjaan. Ada kehidupan yang harus dilanjutkan.

Kamu dan teman-temanmu berpelukan, mengingatkan satu sama lain untuk terus berhubungan dan harus menyisihkan sedikit waktu agar bisa kembali bertemu. Perpisahan untuk pertemuan yang lebih baik kata mereka, kamu hanya tersenyum lembut kepada mereka.

Sambil berbicara dengan teman-temanmu yang masih menunggu, kamu mengambil handphone-mu dari dalam tas dan mengirimkan pesan kepada Dimi untuk mengabarinya kalau kamu sudah selesai dan akan langsung pulang. Sendiri. Namun belum sempat kamu memesan ojek online, wajah Dimi memenuhi layar handphone-mu tanda ia menelepon.

“Gue otw ke sana, jangan pulang sendiri,” ucap Dimi ketika kamu menggeser lingkaran hijau di layar.

“Oh? Ya udah, oke,” jawab kamu sebelum memutus panggilan telepon.

Perlahan, teman-temanmu beranjak pergi, meninggalkan kamu sendiri di beranda restoran. Kamu memutar kembali cerita-cerita teman-temanmu dalam kepala, tersenyum ketika mereka sudah menemukan cara untuk sembuh, untuk kembali berlari menuju apa yang mereka inginkan. Lagi-lagi hanya kamu, tinggal kamu, yang masih takut melupakan dan melanjutkan perjalananmu. Enggan untuk mengikuti mereka karena takut tersakiti untuk yang kesekian kalinya. Untuk sekarang, kamu hanya bisa menghela nafas.

Suara klakson mobil menarik kamu keluar dari labirin pikiranmu, membuat kamu berdiri karena mobil Dimi sudah berjalan ke arah kamu. Ketika kamu membuka pintu mobil Dimi, kamu disambut dengan wajah Dimi yang tersenyum.

“Udah? Gak ada yang ketinggalan?” tanya Dimi sebelum melajukan mobilnya.

“Gak ada sih, kayaknya,” jawab kamu pasrah jika memang ada yang tertinggal kemudian Dimi melajukan mobilnya.

Di perjalanan menuju indekos kamu, Dimi meminta kamu untuk menceritakan reuni kecil kamu tadi. Tanpa ragu kamu menceritakan semuanya, dari teman kamu yang seumur hidupnya belum pernah berpacaran kini sudah memiliki pacar hingga rencana teman kamu untuk melanjutkan pendidikan S2 ke luar negeri. Dimi mendengarkan semuanya, ikut tertawa ketika kamu tertawa dan ikut bersimpati ketika ceritanya kurang membahagiakan.

“Terus lo gimana? Jadi mau lanjut S2 di Belanda?” tanya Dimi serius.

“Rencananya begitu, tapi kita liat aja nanti,” balas kamu mengangkat bahumu.

Kemudian kalian diam, ceritamu sudah habis dan Dimi pun terlihat kesal karena jalanan mulai padat. Perlahan tapi pasti, mobil Dimi berhenti terjebak macet.

“Terus?” tanya Dimi lagi.

“Terus apa? Udah abis ceritanya,” balas kamu menatap Dimi yang juga menatap kamu.

“Terus lo gak mau ikutan punya pacar kayak temen lo?” tanya Dimi.

“Emang harus?” balas kamu enggan menjawab dengan jelas.

“Gue sih gak capek mengutarakan perasaan gue, lo nya gak capek pura-pura gak tau perasaan gue?”

Dimi memang benar. Kamu hanya berpura-pura tidak mengetahui perasaan Dimi padahal kamu tahu jelas dan kamu mengerti apa yang Dimi maksud.

Hari ini, di tengah kemacetan Jakarta, di dalam mobil Dimi yang selalu tercium seperti padang bunga dan kulit jeruk, kamu mengucap sesuatu yang menumbuhkan ruang untuk harapan bagi Dimi.

“Terus mau lo apa?” tanya kamu.

“Lo berhenti pura-pura.”

NoctuaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang