Gio - 01

21 1 2
                                    

Gionino Sahasya, bukan artis cilik tapi dari kecil banyak yang minta foto bareng, bukan artis tapi banyak tawaran main FTV, dan yang paling baru, bukan selebgram tapi banyak yang minta endorse.

Gio atau Nino, cowok yang ketampanannya memang pantasnya ada di layar televisi, adalah pacar kamu dari SMA. Kamu sendiri heran kenapa kamu bisa jadi pacar Gio yang nafas aja bisa bikin cewek-cewek baris buat jadi pacarnya. Banyak yang lebih ramping dan lebih cantik dari kamu, tapi bukan mereka yang Gio pilih.

Mungkin dulu kamu dan teman-teman kamu selalu mau punya pacar yang ganteng kayak Josh Duhamel, tinggi kayak pemain basket, dan yang romantis kayak di film A Walk to Remember, tapi saat itu kamu belum sadar kalau kamu berdiri di samping mereka jadinya gak cocok.

Waktu kamu masih baru pacaran sama Gio, kamu juga masih senang karena punya cowok yang ganteng, pintar, dan baik. Kalian juga masih gak peduli apa kata orang tentang perbedaan tinggi kalian, atau omongan kalau kalian sama sekali gak cocok. Masih dengan mindset kamu yang cuek, kamu jalanin semuanya sama Gio bareng-bareng, dari awal Gio ditawarin jadi model, waktu Gio mulai serius dalam dunia modelling, sampai akhirnya nama Gio dikenal dalam industri fashion dan seputarnya.

Setiap kamu berdiri di samping Gio setelah acara selesai, kamu selalu sadar tatapan dari orang-orang yang kadang diikuti dengan bisikan dan tawaan. Berusaha tetap positif, kamu meyakinkan diri kalau bukan kamu bahan pembicaraan mereka. Berbulan-bulan kemudian kamu tetap optimis, sampai kamu dengar dengan telinga kamu sendiri waktu model-model yang lagi touch up membicarakan kamu.

She's pretty kalo kurus,” kata satu cewek.

Agree, her hip terlalu besar kan?” timpal cewek lainnya.

“Gio nolak kamu karena si fatty itu?” tanya suara cewek lain.

“Iya, aku kira ceweknya itu bakal secantik Cindy Crawford, ternyata average aja,” kata cewek yang bilang kamu cantik kalau kurus.

“Gio seleranya cuma segitu?” tanya cewek yang bilang pinggang kamu terlalu besar.

Apa yang mereka katakan tentang kamu menjadi tamparan keras yang membuat kamu berpikir lagi. Apa cara pikir kamu selama ini salah? Apa Gio jadi dipandang miring karena kamu?

Sejak kejadian itu kamu memutuskan untuk mengurangi porsi makan kamu, menekan cravings kamu untuk nyemil, dan sampai mengubah total menu makanan kamu sehari-hari. Semua kamu lakukan–tanpa sepengetahuan Gio–biar kamu gak malu-maluin Gio lagi.

Ketika kamu timbang berat badan kamu, ada penurunan yang membuat kamu lega, tapi kamu merasa ini masih belum cukup. Buat kamu, diet drastis seperti ini bukan masalah. Tapi waktu Gio jemput kamu setelah berbulan-bulan kalian cuma sempat komunikasi lewat telepon, reaksi yang kamu terima tidak sesuai dengan apa yang kamu harapkan.

“Kamu sakit?” tanya Gio sambil megang tangan kamu.

“Enggak, emang kenapa?” tanya kamu bingung.

“Aku gak ketemu kamu paling sebulan, tapi kamu kurusan banget?” balas Gio dan kamu bisa lihat jelas kekhawatiran di wajahnya.

Bukan reaksi ini yang kamu mau dari Gio. Kamu mau Gio bilang kamu lebih cantik seperti ini dibandingkan dulu waktu pipi kamu masih seperti bakpao. Semua kamu lakukan buat Gio, tapi kamu gak mendapatkan pujian yang kamu inginkan dari orang yang paling kamu harapkan.

Karena itu kamu marah ke Gio, dan marahnya kamu pasti diikuti dengan tangis.

“Aku diet mati-matian, terus kamu gak ada niatan mau bilang aku cantik gitu?” tanya kamu.

“Kamu gak perlu diet juga udah cantik,” jawab Gio yang menghapus air mata kamu.

Bukan makin tenang karena mendengar Gio memuji kamu, tapi kamu makin marah karena lagi-lagi semua gak berjalan seperti yang kamu pikirkan kalau kamu berhasil diet nanti.

“Gak usah bullshit deh, No!” teriak kamu menepis tangan Gio yang masih memegang pipi kamu.

Gio memang orang yang tenang dan suka bercanda, tapi Gio juga orang dengan sumbu pendek. Ada percikan api sedikit, Gio akan tersulut amarahnya.

“Apa-apaan sih?” teriak Gio ke kamu.

“Mana ada cewek gendut yang cantik, hah?” balas kamu masih marah dan berderai air mata.

“Aku tanya kamu sakit atau enggak, kenapa jadi masalahin badan?” tanya Gio masih teriak.

Kamu capek dengan tekanan yang datang dari dalam diri kamu sendiri. Belum lagi Gio yang sama sekali gak paham kalau kamu takut berdiri di samping dia karena kamu merasa tidak pantas.

“Kenapa sih, kamu?” tanya Gio lagi.

“Aku gak pantes sama kamu, No. Aku gak secantik dan badan aku gak sebagus temen-temen model kamu,” jawab kamu akhirnya melepas semua beban yang memenuhi kepala kamu selama ini.

“Terus kamu pikir kamu pantes buat aku sekarang?” balas Gio yang belum reda amarahnya.

Gak ada suara lain selain suara kamu yang menangis, Gio diam menunggu jawaban dari pertanyaannya, dan kamu diam tidak menjawab. Pertanyaan Gio berputar-putar di kepala kamu, pantas gak kamu untuk Gio sekarang?

“Selama ini pernah gak aku komentar tentang fisik kamu? Kamu mau rambut pendek atau panjang, bare-faced kemana-mana, ukuran baju kamu lebih besar daripada aku, aku ga komentar kan?” ucap Gio kesal.

Kamu tetap diam sambil menangis, mendengarkan apa yang Gio katakan.

“Gimana aku mau percaya sama kamu kalo kamu aja gak bisa percaya sama diri kamu sendiri?” tanya Gio sinis.

Satu pertanyaan dari Gio menampar kamu lebih keras daripada semua kata-kata yang menyatakan kalau kamu tidak pantas atau tidak cocok berada di samping Gio. Baru saat itu kamu sadar kalau kamu bukan saja kehilangan berat badan kamu, tapi juga percaya diri dan kepercayaan Gio kepada kamu.

Malam itu, di samping Gio, kamu menangis dalam pelukan laki-laki yang selama ini menyayangi kamu apa adanya sambil mendengarkan kalimat-kalimat yang menyadarkan arti diri kamu di matanya.

“Jangan pernah berubah untuk orang lain, kamu lebih berharga saat kamu menghargai diri kamu sendiri. Aku sayang kamu karena kamu adalah kamu,” ucap Gio yang akhirnya luluh.

Malam itu kamu belajar arti diri kamu untuk kamu dan orang lain, dan kamu sadar kalau tidak ada yang bisa menilai kamu selain diri kamu sendiri.

NoctuaryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang