Terkadang, kau harus menyimpan kepercayaanmu. Ibu sering mengatakannya, dan kurasa semua itu memang benar. Beliau mengatakan yang sebenarnya, mungkin dari pengalaman hidupnya yang telah di wariskan padaku. Dan ya, aku menjalani kehidupan terkutuk menanggung dosa-dosa masa lalu Ibu dan Ayah.
Kim Taehyung, orang mengatakan jika dia pria yang manis, sangat sopan dan juga baik hati. Deskripsi yang membuatku bisa muak dan tuli mendengarnya, dia selalu mendapatkan semuanya. Segalanya, bahkan termasuk aku yang menjadi list teratas dalam kategori orang terpenting dalam mendominasi kehidupannya.
Aku memberikan segalanya, yang aku punya di dunia setelah minggu kedua di mana Ayah dan Ibu pergi, adalah Kim Taehyung. Pemuda yang menikahiku karena alasan yang sederhana, aku pandai memasak sup rumput laut.
Oh ayolah, jika dia mencari sebuah argumen untuk di perdebatkan sebelumnya, ini semua tidak akan terjadi, dia bisa saja menikahi koki handal. Tetapi bukan itu yang membuat dia tetap bertahan padaku, dia hanya menginginkan sebuah kepercayaan dariku dan aku memberikannya.
Tetapi, kesalahanku. Aku terlalu sering mendapatkan reaksi semacam ribuan kupu-kupu yang menggelitik di dalam perut hanya dengan melihat irisnya dari jarak dua meter. Dia hanya bereaksi dengan tersenyum lembut tanpa paksaan dan, aku mencintainya.
Taehyung juga, tetapi bukan hanya itu alasan kenapa dia memilihku, alasan terbaiknya adalah dia tidak mencintaiku, dia hanya mencintai seberapa banyak kepercayaan yang bisa aku berikan padanya. Mungkin terdengar tidak adil, aku terus mempercayainya sementara hari-hariku selalu berakhir sangat buruk.
Tetapi siapa yang peduli? Pernah suatu ketika, saat kami setengah terlelap dengan tangannya yang berakhir menjadi bantalan kepalaku, dia tiba-tiba berujar, "Rae, bagaimana jika suatu hari nanti terjadi sesuatu di antara kau dan aku. Aku pergi dan tak akan kembali, apa kau masih memiliki kepercayaan itu?" aku masih diam saat dia menghembuskan napas lembut dari mulutnya.
Tentu saja bodoh! aku sangat mempercayai Taehyung, "tergantung." balasku, sedikit menengadah untuk menatap iris kelamnya di bawah lampu temaram, suasana hangat dengan aroma mint menyeruak di indra penciuman. Aku benci saat Taehyung mulai bertanya perihal kepercayaanku, mungkin dia meragukannya.
Aku membenarkan posisi kepala, tersenyum lembut, nyaris terkekeh karena dia tampak berfikir keras dengan ucapanku. "Tergantung? apa suatu hari nanti jika aku melakukan suatu dosa besar, mungkin kau tidak akan memaafkanku, bahkan Tuhan tidak sudi memaafkanku. Bagaimana dengan itu?" ujarnya, nadanya merendah di akhir kata. Kendati demikian dia tetap tampak lucu dengan wajah bak malaikat.
Mendengar Taehyung tampak gelisah, pun aku mengusap surainya lembut, menangkup pipinya pada tangan yang bahkan tidak sanggup menenggelamkan sebagian wajahnya pada jariku. "Tae, kau tau aku percaya padamu bukan? jangan buat aku kecewa," aku menghela nafas panjang, pun menatap iris Taehyung yang sedalam samudra.
Sejujurnya, aku benar-benar takut. Mengingat kesendirian di balik tembok beton dan juga ruangan lembab, hanya berukuran tiga kali tiga meter. Terkurung di sana selama dua hari tanpa makan, semacam trauma. Kesendirian masih menjadi hal paling menyiksa yang pernah aku alami di dunia, semacam luka yang membekas dan tak akan pernah kembali seperti semula.
Ayah dan Ibu bukan orang yang baik, aku tau itu saat berumur tujuh tahun. Orang-orang tidak akan percaya apa yang aku alami saat berumur sekecil itu. Saat seharusnya anak seumuranku pergi ke taman bermain dan memakan permen kapas dari penjual permen di ujung jalan Kota Eastside. Aku menghabiskannya dengan melihat bagaimana Ayah dan Ibu selalu pulang dengan setumpuk uang dollar kucal dan juga aroma alkohol di mana setiap jengkal rumah terasa seperti bar setiap harinya.
Tidak, aku tidak memiliki keberanian untuk bertanya darimana Ibu dan Ayah mendapatkannya. Karena pasti akan berakhir buruk, terkurung dalam ruangan itu tanpa makan dan minum selama dua hari. Tetapi menginjak umur dua puluh satu tahun, mereka mengalami kecelakaan mobil. Mayatnya tidak pernah di temukan dan saat itu juga, Kim Taehyung menemukanku. Membawaku pergi tanpa berkata apa pun, menggenggam erat tanganku saat semuanya berakhir tragis, dia orang pertama yang mengusap punggungku tanpa ragu saat semua orang pergi, dia mengulurkan tangannya tanpa aku minta.
Katakan jika aku tidak hanya mempercayainya, lebih dari itu. Taehyung lantas mengecup pipiku singkat sebelum berujar, "Rae, kau melamun lagi. Berhenti memutar memori itu, aku benci saat kau menangis." katanya, pun aku kembali mengusap wajah frustasi menatap langit kamar. Tiga tahun sudah kami lewati dengan baik, tetapi tidak untukku.
"Maaf," balasku, seakan kehilangan suara hanya dengan membalas singkat. Terdengar aneh karena parau, menahan kepala yang sudah benar-benar di penuhi kubangan perasaan penuh penyesalan. Seperti di hantamkan pada benda tumpul berkali-kali.
Dan ya, Taehyung bereaksi seakan aku akan menyesal jika mengatakan 'maaf' berulang kali dalam sehari. Seakan aku si pendosa, "Well, ku kira aku meninggalkanmu terlalu lama hingga kau lupa peraturan rumah." ujarnya, menyelipkan rambutku ke telinga. Mengubah posisinya agar leluasa menatapku, aku merasa sangat beruntung bisa memilikinya. Banyak gadis yang menginginiannya tetapi Taehyung tetap berada di sampingku.
Aku ingat sebelum upacara pemberkatan, dia melompati jendela kamar hanya untuk menemuiku. "Aku mencintai Rae, bahkan hingga suatu hari nanti rambutnya memutih, pelupa, dan juga emosinya yang semakin tua meledak-ledak. Bahkan saat perutmu buncit dan kehabisan stock gigi, Aku Kim Taehyung berjanji untuk selalu berada di sampingmu." seingatku, kami tertawa puas seperti sebelumnya. Taehyung adalah alasan aku tetap bernafas, tetap tersenyum dan mempercayainya. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy
FanfictionKim Taehyung itu sempurna, seperti matahari. Terkadang juga menjelma menjadi bulan, tetapi di balik senyuman yang terpatri pada bibir semanis gula itu, pemuda itu menyimpan luka menganga yang sulit menghilang dan membekas. Book 2 from Five Feet Apar...