Kalaupun ada orang yang bertanya, apa yang membuatku tetap bertahan di kota tua Eastside dan juga pemuda bernama Kim Taehyung, tidak ada yang spesial, jika di katakan semua tentang cinta itu jelas salah kaprah. Terlebih jika mengatakan atas dasar belas kasihan, tidak ada opsi untuk bertahan untukku sebenarnya.
Tetapi di sisi lain, Taehyung memberi sebuah kesempatan. Alasan kenapa aku harus selalu di sampingnya, karena aku meletakan kepercayaanku kepadanya. Jika tidak, mungkin aku sudah pergi meninggalkan Eastside beberapa tahun yang lalu. Namun sepersekon sebelum aku beranjak menuju ke pantry, sesuatu menahan. Hangat dan menenangkan, itu Taehyung yang melingkarkan tangan pada pinggang, tersenyum tipis seolah semesta adalah miliknya. Tidak salah sih, Taehyung meletakan semestanya padaku dan aku mulai menyukainya.
Dia menghela nafas panjang, menghirup aroma vanilla, dari punggung. Oh, bagaimana seseorang bisa terlihat manis saat matanya terpejam! "Rae, katakan padaku. Mana yang kau pilih saat seseorang bertanya, 'mati dengan satu harapan atau hidup dengan jutaan pesakitan?" katanya, bola mata bergerak gelisah seakan esok tidak akan pernah datang. Aneh, Taehyung tidak pernah seperti ini sebelumnya.
Tetapi sebelum mengajukan kembali pertanyaan, dia pergi tanpa mengucapkan apapun setelah melihat benda pipih di nakas. Berdering sesaat sebelum aku bisa melihat nama yang tertera di sana, sesuatu terjadi dan aku yakin semuanya sedang berjalan tidak normal di sini. Pun aku mengekor di balik tubuh yang terdiam, hanya di balkon rumah dan benda pipih menempel pada telinganya. Dia tampak terganggu dalam beberapa sekon, semakin menjauh menuju ke tangga rumah.
Aku tau Taehyung aneh, tetapi satu hal yang membuatku bertanya-tanya selama beberapa hari terakhir. Apa alasan aku untuk bertahan jika Taehyung melukai kepercayaanku? aku hanya butuh satu, tetapi tidak menemukanya pada otak kecil yang menyimpan semua informasi. Tidak, tidak, bukan seperti ini yang aku inginkan. Persepsi buruk tentang Taehyung tercipta sempurna dan tidak mampu di elak.
Namun, belum sempat memutar lutut untuk pergi meninggalkan Taehyung, dia kembali, "Itu Jimin." katanya, tertawa singkat. Menatap iris bergantian, "---aku harus pergi sore ini, mungkin dua hari ke depan aku tidak akan pulang." Taehyung mendengus singkat, tangan semakin erat mengungkung tubuh dalam dekapan hangat, membuat lubang besar dalam hati karena aku tau, Taehyung mencintai kebohongannya.
Jadi untuk sepersekon setelah dia mengatakan sesuatu tentang, Jimin akan menemaniku di rumah selama dua hari kepergiannya, aku mengangguk singkat tampak kesal dengan apa yang di lakukan Taehyung.
"Kau pernah menjanjikan sesuatu padaku, Taengie." kataku, aku bisa merasakan sesuatu mendadak merosot sampai ke ulu hati. Sesak, merasakan sesuatu merembes keluar dari mata lantas menahannya, "kau sama seperti yang lainnya, pergi dan tidak pernah kembali."
Lingkar tangannya merenggang, membalikkan tubuhku yang hampir jatuh hanya dengan satu hentakan, dia kembali membawaku dalam dekapan hangatnya. "Tidak, bukan itu yang pernah aku janjikan. Kau ingat? kita menjalani kehidupan bersama-sama, tinggal dan kau ada bersamaku. Itu yang aku janjikan, Rae." katanya, terlampau tenang bagi seseorang yang sudah terpojok. Pikiran kacau, di sisi lain afeksi muncul perlahan seiring usapan lembut pada punggung. Hangat dan menenangkan.
Satu hal yang aku tau, Kim Taehyung tidak pernah memohon, sekalipun itu kepada Ibunya, jangankan kepada beliau. Dia tidak pernah memohon kepada Tuhan, terakhir aku melihat dia pergi ke tempat di mana orang-orang mengajukan permohonan adalah saat kami menikah, setelah itu---irisku tidak pernah menangkap sosoknya, bayangannya pun seakan tidak sudi datang ke sana.
Puas memberikan jawaban, dia pergi. Tidak kembali tepat seperti apa yang dia katakan. Menepati janjinya untuk tidak pulang selama dua hari, tidak memberi kabar apa pun, selain setiap pagi aku selalu menemukan setangkai bunga mawar berwarna merah darah di depan pintu rumah. Hanya bunga tanpa pengirim yang jelas, Jimin juga datang, hanya menemani hingga batas waktu yang telah di berikan Taehyung kepadanya. Tidak lewat dari jam sepuluh malam.
Jimin tampak senang, karena dia mendapatkan apa yang selalu di inginkannya. "Hei, bung, apa kau ingin mendengar cerita tentang pemuda yang pergi tanpa mengucapkan selamat tinggal, tidak kembali." Jimin bergumam, kedua irisnya menatapku. Tidak, tidak. Kim Rae, semuanya akan berjalan dengan baik selama dua hari, yeah hanya dua hari.
Buruk, sangat buruk berada dalam satu tempat yang sama bersama pemuda se-brengsek Park Jimin. Berwajah malaikat, hati seperti iblis yang siap menyeretmu ke dalam neraka dan membusuk bersama denganya jika terpancing dalam kubangan emosi yang di buatnya. Jadi untuk sesaat aku terdiam, berhenti memotong sayuran di pantry. Menatapnya sinis dari jarak dua meter, dia hanya duduk di dekat perapian. Kakinya mengangkang tak nyaman di kursi seakan aku babu bayaran.
"Jim, hentikan. Ini masih pukul tujuh pagi, jangan membuatku berubah pikiran untuk menyeretmu keluar dari rumah." kataku, lantas kembali memutar kepala untuk memotong sayuran sebelum Jimin kembali melemparkan beberapa pertanyaan menyebalkan.
Jimin itu sinting! Menyebalkan! juga hikporit! ingin rasanya berteriak di wajahnya, menodongkan pisau tepat di leher atau urat nadinya. Tetapi aku masih memiliki sebagian akal sehat, ini masih pagi dan bukan hal yang bagus jika polisi datang dan menangkapku dengan tuduhan pembunuhan.
Tetapi, otak kembali di buat kacau saat mendengar kekehan singkat, seakan teror selalu menghantui. Suara tawanya menggema, aku tidak tertarik dengan menerka-nerka apa yang terselip dalam pikiran Jimin, oh! sepertinya julukan otak udang benar-benar pantas untuknya.
Pun aku menoleh singkat, mengusap sebagian peluh pada dahi sebelum menatap kasihan kepada Jimin si otak udang, tetapi yang di tatap seakan tidak memiliki dosa. "Apa kau tau kemana Taehyung pergi, Rae?" Jimin mendengus, irisnya bergerak gelisah. Alisnya bertaut seakan hanya dia yang mengetahui semua informasi dan data pribadi Taehyung, tetapi benar, Taehyung tidak mengatakan apapun sebelum pergi---terbangun dalam kesendirian absolut yang mencekam, tirai tertutup dan menyisakan seberkas cahaya dari ventilasi kamar.
Dan benar, dia tidak berada di sampingku. Hanya meninggalkan stiky notes yang sengaja di letakannya pada nakas, aku akan kembali dua hari lagi, aku cinta kau. Taehyung tahu bagaimana cara membuat hati seseorang jatuh, meninggalkan luka yang sama sekali belum mengering. Tetapi dengan kata terakhir di dalam pesan yang terlampau singkat, seakan luka itu menghilang ke Atlantis.
Tetapi Jimin benar, dulu dia pernah mengatakan sesuatu tentangku. Kau hanya terlalu mencintainya, mempercayainya. Mungkin untuk opsi kedua dari apa yang di katakan Jimin, aku tidak terlalu yakin. Menyadari air jatuh ke lantai, lantas aku menunduk untuk mengusap sesuatu yang mendesak keluar begitu saja. Aku benci.
"Hentikan, Jim. Berhentilah bersikap seakan kau yang mengetahui di mana dia berada, berhenti memanipulasi keadaan. Segalanya menjadi rumit sekarang." kataku, terlewat pelan karena sesak memenuhi rongga dada. Jimin perlahan mendekat, tersenyum kecut. Park Jimin, aku membencinya. Pemuda sok tahu yang mengatakan hal-hal buruk tentang Taehyung.
Aku benci kebohongan, benci sekali. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy
FanficKim Taehyung itu sempurna, seperti matahari. Terkadang juga menjelma menjadi bulan, tetapi di balik senyuman yang terpatri pada bibir semanis gula itu, pemuda itu menyimpan luka menganga yang sulit menghilang dan membekas. Book 2 from Five Feet Apar...