"Pernah berjanji untuk mengembalikan kepercayaanku?"
__________________________Satu hal yang membuat hati Rae mendadak merasakan sesuatu yang janggal mengenai perasaannya. Terasa aneh sekali. Amplop berwarna coklat tua itu seakan mengundang tanda tanya besar, untuk apa meninggalkan surat? Lagi pula itu jelas tidak akan mengubah apa pun, bukan? Jadi setelah puas menatap dan menahan satu keinginan besar untuk membuka surat itu, perlahan tangannya meraih, membuka dan membaca setiap bait dengan pandangan jengah. Irisnya dapat menemukan tulisan tangan Kim Taehyung di sana. Oh tidak. Tunggu. Ada yang salah pada suratnya, bercak darah yang mengering membentuk bagian bulat abstrak pada sisi kanan bawah itu membuat irisnya membola sebelum membaca lebih dalam.
Aku pernah berjanji untuk mengembalikan hatimu, Rae.
Jadi mari selesaikan ini, aku akan selalu menunggu kau datang ke Eastside.
Menghembuskan napas lelah, akhirnya gadis itu mengerti dalam satu detik di mana Kim Taehyung berharap dirinya kembali. Iris coklatnya kembali menyapa sebuah kotak musik pada sisi lain ranjangnya dengan perasaan membuncah hebat, presensi seorang pemuda dengan wajah menawan yang menghancurkan kehidupannya tergambar jelas. Kim Taehyung seharusnya mengatakan itu tepat saat mengetahui gadisnya pergi bukan? Terlambat sekali jika memintanya kembali seperti ini. Gadis itu jelas tidak ingin mengambil resiko besar mengenai Taehyung, jadi saat melihat bagaimana rasa bersalah tergambar dengan jelas, ada satu kesempatan baru yang lain. Rae memaafkannya, tetapi tidak melupakan lukanya.
Luka itu jelas membekas dan meninggalkan sekelumit getir untuk dikenang. Sakit sekali hingga membuatnya harus menenggak pil penenang setiap hari akibat depresi, bukankah ini semua akan menyiksanya? Dengan kembali menemui Taehyung pada Kota tua Eastside. Gadis itu akan menyelesaikan ini semua. Keputusannya sudah bulat untuk kembali tanpa sepengetahuan Seokjin. Tungkainya melangkah lambat meniti tangga dengan hati-hati, tangannya menyambar sebuah hoodie berwarna biru laut saat sampai pada bingkai pintu. Perasaan hancur ini tidak akan lagi menyiksanya, jadi menarik napas, perlahan satu titik dalam hatinya tenggelam dalam kegelapan saat mobil yang dikendarainya melaju dengan kecepatan tinggi, melewati Danau Winterwich yang selalu tertutupi kabut juga pohon-pohon pinus yang berdiri kokoh di pinggir jalanan.
Perjalanan ini akan memakan waktu lama, waktu telah menunjukan pukul sepuluh malam, Eastside dapat di tempuh dengan waktu lima jam penuh. Itu pun jika jalanan lenggang dan tak bersalju, tetapi keadaannya berubah saat salju membentuk titik-titik beku pada kaca mobilnya. Ah, musim dingin datang terlambat lagi. Mata membulat menatap jalanan, kepul asap menguap seiring tarikan napas yang di ambil, kenapa mendadak semuanya terasa salah saat dirinya telah melewati setengah jalan menuju ke rumah? Ini tidak seburuk dengan apa yang kini terbayang dalam otaknya di mana Kim Taehyung akan memintanya kembali dengan sebuah sihir yang menjeratnya. Tidak lagi, satu tarikan napas jengah terlepas, irisnya menemukan rumah bergaya klasik dengan rerumputan tertutupi salju di ujung jalan. Eastside tertangkap mata, dan gadis itu jelas tau dirinya telah datang ke tempat di mana dirinya dapat menemukan presensi Taehyung dengan senyuman cerah menanti di suatu tempat.
Mobilnya terhenti, meninggalkan sekelumit getir yang tertinggal di dalam hatinya. Sesak rasanya, dan pil di dalam kantung hoodie-nya akan sangat membantu. Jadi menelan satu pil dengan bibir bergetar hebat, melewati pagar setinggi pinggang orang dewasa itu dengan tenang, irisnya berkilat di terpa lampu bohlam yang menerangi pelataran dan menyisakan sisi lain ditelan kegelapan. Menekan bel sebanyak dua kali, entah perasaan apa ini saat dadanya sesak luar biasa menunggu sosok pemuda yang masih tak membuka pintu. Dadanya kembang kempis, udara seolah mencekik kerongkongannya saat presensi seorang pemuda yang masih sama seperti dulu---menawan sekali. Dengan setelan sweater dan repead jeans tersenyum ramah.
Matanya membengkak, memerah, menghantarkan afeksi tersendiri saat melihat bagaimana Kim Taehyung sama-sama tersiksa seperti dirinya. Jadi menelan mati-matian segala pertanyaan di dalam kepala yang siap meledak, gadis itu mengulum senyuman tipis sekali sebagai balasan.
Setitik air jatuh ke lantai, irisnya menangkap presensi Taehyung yang hampir saja menangis dengan satu tarikan napas lega, "H-hai," sapa si pemuda berusaha seramah mungkin, membuka celah pintunya lebih besar saat mendapat sebuah balasan anggukan hangat dengan senyum cerah yang tersemat pada bibir ranum sang lawan bicara.
"Kita akhiri saja," ujar si gadis menghantarkan sebuah rasa takut tersendiri, tubuhnya stagnan dengan bibir pucat yang bergetar menahan isak. Bukan ini yang dirinya harapkan saat menemukan kehadiran sang gadis yang tampak terluka dengan hidung memerah. Seharusnya ini semua tak terjadi, seharusnya pemuda itu menahan gadisnya saat pergi, tetapi kenapa sekarang seolah semua berhenti berputar? Waktunya terhenti dalam satu hembusan napas khawatir. Dahi berkerut tak percaya dengan mata membulat lebar itu kini kembali mengundang getir.
Taehyung lantas membiarkan celah pintunya terbuka lebih lebar, menginstrupsikan bahwa dirinya akan menerima kehadiran Rae dengan ramah, "Ya, kita akan mengakhiri semuanya jika kau mau masuk dan menerima satu cangkir teh kamomil. Di luar dingin, Rae," ujar Taehyung setengah khawatir.
Untuk pernyataan terakhir itu perasaannya menghangat, pemuda itu masih semanis dulu. Menawan sekali dengan iris berkilat gelisah. "Mengenai kita---"
"Aku benci harus mengatakan ini, Tae. Tetapi bisakah kita melakukannya dengan cepat? Aku akan pergi meninggalkan Eastside, ini yang terakhir kali---"
Irisnya membola tatkala melihat bagaimana sang lawan bicara meraih bibirnya, melumat dengan lembut. Tidak menuntut apa pun lagi, waktu terhenti begitu matanya menangkap sosok si pemuda yang memejamkan mata, menyalurkan segala perasaan dengan lembut. Yang gadis itu tidak sadari adalah betapa hancurnya Taehyung. Tetapi sisi lain dari dirinya juga ikut hancur, ada kecap rasa besi berkarat saat matanya kembali terbuka, menatap bagaimana si pemuda telah menghapus jejak pada bibirnya, setitik cairan pekat berwarna merah itu jatuh ke lantai. Dan Rae jelas tahu jika darah itu bukan berasal dari dirinya. Kim Taehyung menghapus jejak darah yang mengalir dari hidungnya secepat kilat. Tidak lagi, jangan seperti ini. Bibir pucatnya kembali mengucapkan sesuatu, sepasang iris kelam itu menatap lemah, menyahut dengan suara parau,
"Maafkan aku, Rae."
"Terima kasih, setidaknya aku bisa mengembalikan hatimu tanpa menyakitimu lagi, Kim Rae Bin." []
KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy
FanfictionKim Taehyung itu sempurna, seperti matahari. Terkadang juga menjelma menjadi bulan, tetapi di balik senyuman yang terpatri pada bibir semanis gula itu, pemuda itu menyimpan luka menganga yang sulit menghilang dan membekas. Book 2 from Five Feet Apar...