"Aku pergi." katanya, lantas aku mengangguk, menatap senyumannya dari radius tiga meter. Hanya duduk dan menatap senyuman semanis permen kapas bahkan lebih! Taehyung selalu berangkat pukul setengah tujuh pagi tepat, sebagai manager perusahaan.
Tidak masalah, karena dia akan selalu menepati janjinya untuk pulang sebelum makan malam. Cuaca hari ini tidak begitu cerah, aku dapat melihat sekoloni burung camar dan awan yang menggulung hitam. Kurasa, di barat Kota Eastside sudah merasakan rintikan hujan. Terlihat dari bagaimana awan itu bergerak menuju ke timur sebelum beberapa menit setelahnya hujan benar-benar menyelimuti sebagian besar kota ini.
Kecupan manis yang Taehyung berikan tepat di pucuk kepala lalu turun ke kelopak mata dan berakhir di pipi masih terekam jelas, saat di mana aku dapat merasakan hembusan nafas lembutnya. Sedang tangan masih sibuk memutar sendok dalam cangkir kecil yang berisi kopi kesukaannya sebelum berangkat bekerja.
Taehyung terlalu manis untuk menjadi seorang manusia, terlalu sempurna untuk di miliki oleh makhluk hina sepertiku, orang-orang selalu mengatakan apa yang mereka inginkan tanpa memikirkan perasaan. Mereka hanya membutuhkan alasan untuk membenciku, hanya karena aku beruntung.
Saat di mana Taehyung menemukanku di tempat pembuangan dan membawaku pulang sebagai hadiah kecil natal untuknya sendiri, dia menemukanku. Setidaknya itu yang di katakan Park Jimin---sahabat Taehyung.
Pemuda Park itu terlalu lembut untuk mengatakan aku ini hanya sampah, terlalu sopan untuk mengataiku jalang, dan terlalu malu-malu untuk mengungkap kenyataan bahwa aku hanya pemuas nafsu dari sahabat baiknya. Secara spesifik dia memang---membenciku, brengsek namun masih menggunakan bahasa yang sopan untuk mencari kesalahan orang lain.
Lantas, atas dasar apa Taehyung memungut sampah sepertiku dari tempat sampah? Hidup sebatang kara dan tidak memiliki sandaran hidup semenjak Ayah dan Ibu menghilang dari dunia hingga kelak kami akan bertemu lagi di tempat yang berbeda tentu saja. Taehyung memang hikporit, tidak mau mengatakan apa-apa saat aku bertanya demikian.
Aku memutar lutut saat rungu mendengar suara bel beberapa kali dari luar, pun menggeser kursi untuk memberi jarak dari meja makan, membuka pintu. Hanya beberapa langkah dengan tangan yang sibuk merapikan pakaian agar orang di balik pintu tidak melihatku layaknya seorang wanita yang baru saja melakukan yang iya-iya dengan suaminya sebelum berangkat bekerja.
Senyuman merekah dengan tangan terulur memutar knop pintu. Hanya setengah, dan orang di balik pintu tergesa-gesa mendesak untuk masuk. Perlahan rasa menyesal memenuhi kepala karena telah membuka pintu untuk pemuda brengsek seperti Park Jimin. Pakaian setengah basah dengan suara gemertak gigi menggema dalam ruangan tengah dekat perapian.
Dahinya mengernyit kesal dan aku dapat melihat dia mulai melepaskan jaketnya, mendaratkan bokongnya pada kursi tanpa permisi, lihat! Siapa pemilik rumahnya? "Kenapa lama sekali membuka pintu?" mulutnya mengeluarkan kata-kata di luar dugaanku, orang-orang menanyakan kabar saat sudah lama tidak bertemu, aku sudah tidak melihatnya sejak Bulan Juli dan sekarang Oktober. Oh! aku baru ingat jika dia masih se-brengsek saat kami terakhir bertemu.
Lantas menghembuskan nafas, iris menatap tak suka kepada pemuda dengan setelah hoodie dan repead jeans yang tengah bersandar pada punggung kursi. "Orang-orang menanyakan kabar saat sudah lama tidak berjumpa, Jim. Tapi kau tidak," menghembuskan nafas sepersekon kemudian, lalu memijat pelipis yang sedikit pusing memikirkan Taehyung yang mulai sangat sibuk akhir-akhir ini sebelum melanjutkan. "Kau masih terlihat sama." kataku terlewat jenuh.
Dia terkekeh pelan, seakan tanpa dosa. "Sama? maksudmu brengsek? ya, aku masih sama saat terakhir kita bertemu bukan?" tawa Jimin menggema di setiap ruangan, seakan leluconnya adalah yang terbaik di dunia.
Keinginanku untuk pergi ke kamar dan menghabiskan waktu dengan tidur sampai Taehyung pulang semakin kuat, mendorong diri untuk membawa kedua kaki pergi menaiki tangga menuju ke kamar. Tetapi Jimin bukan orang yang payah saat tau akan di tinggalkan sendirian, sesuatu, dingin dan lembab menahanku untuk melanjutkan langkah.
Menoleh, mendapati Park Jimin setengah terengah, mengingat baru saja dia berlari dua meter untuk menahanku. "Kau marah?" payah! Tentu saja aku marah, siapa orang yang mau berurusan dengan manusia yang telah kehilangan sebagian akal sehatnya? mungkin Taehyung juga sudah muak.
Terutama aku yang sering menjadi bahan lelucon Jimin saat makan malam kami beberapa bulan yang lalu, dia---mengatakan bahwa aku adalah sampah paling cantik di antara yang ada, itulah kenapa Taehyung memungutku.
Tentu saja Taehyung marah, tetapi tidak berlangsung lama. Jimin memiliki suatu cara yang tidak aku mengerti untuk membuat Taehyung kembali membuang suaranya setelah lama tak berbicara kepadanya.
Aku merotasikan bola mata, tak mau lama-lama melihat Park brengsek di hadapanku. Tetapi sebelum melanjutkan langkah, dia justru mencengkaram erat pergelangan tangan, membuatku meringis meminta untuk di lepaskan.Jimin tersenyum penuh kemenangan, melihatku tampak hampir menangis, dia melepaskannya begitu saja, membuatku langsung menariknya untuk melihat bekas kemerahan tercetak di sana. Gila! dasar bodoh! entah apa yang harus aku lakukan pada Jimin saat ini.
"Apa kau sudah gila? Huh!" pekikku, suara tanpa sadar meninggi, melihat seringaian tercetak pada sudut bibirnya. Aku tau Jimin brengsek, tetapi dia tidak pernah se-gila ini dalam mengerjaiku. Tidak.
Irisnya menangkap ketakutan pada wajahku, terkekeh pelan. "Jawab pertanyaanku, Rae. Apa kau pernah merasakan hal aneh pada Taehyung?" dia melempar senyuman, terlihat menakutkan saat tangannya kembali menuntunku untuk duduk bersebrangan dengannya di meja makan. "Apa kau pernah merasakannya?" tanyanya kembali saat kami sudah benar-benar duduk dan menetralkan nafas yang sedikit terengah.
Alis bertaut, tak mengerti dengan pertanyaan yang Jimin lontarkan. "Maksudmu? Jelaskan secara spesifik, Jim." suara rintik hujan mendominasi ruangan setelahnya. Jimin tampak berfikir dengan menggaruk tengkuknya, seperti tengah merangkai kata-kata. Seperti biasa---dia akan menggunakan bahasa yang sopan untuk mengejek dan mencari kesalahan sekecil apa pun pada orang lain, terutama---aku.
Dia menghembuskan nafas sedikit gusar, aku dapat menangkap ekspresi penuh kebingungan. Mulutnya mendecak pelan dengan iris yang tanpa henti mondar-mandir menatapku, jarinya mengetuk pelan pada meja sebelum menjelaskan. "Kau tau, alasan Taehyung akhir-akhir ini pulang terlambat?" Jimin gelisah, menatapku penuh arti sebelum melanjutkan. "Aku tau, kau tidak akan suka mendengar perkataanku selanjutnya."
"Katakan, Jim."
"Rae, kau adalah alasan kenapa Taehyung selalu kembali ke rumah. Dia sangat mencintaimu, kau ingat, siapa yang membuat lilin-lilin tetap menyala pada malam natal tahun lalu?" dia menatapku, seketika otak di penuhi dengan satu nama. Kim Taehyung.
"Siapa yang menyembunyikan tangannya pada selembar sapu tangan? aku tau tangannya terluka demi membuatmu tersenyum, saat melihat lilin tetap menyala di pagi natal." ujarnya, suara parau kembali menyapa rungu sepersekon setelah Jimin membasahi bibirnya, kembali menatapku penuh arti.
"Tetapi, Rae. Dia telah melakukan sesuatu yang membuatmu terluka, air matamu akan kering mendengarnya. Aku mengatakan ini karena aku, aku, peduli padamu. Tetapi aku harap jika suatu hari kau mendengarnya, kau akan tetap mempercayainya. Karena dia benar-benar mencintaimu."
Untuk itu, aku menyesal pernah bertanya kepada Park Jimin, tanpa mendengar semuanya dari mulut manis Taehyung. []
KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy
FanfictionKim Taehyung itu sempurna, seperti matahari. Terkadang juga menjelma menjadi bulan, tetapi di balik senyuman yang terpatri pada bibir semanis gula itu, pemuda itu menyimpan luka menganga yang sulit menghilang dan membekas. Book 2 from Five Feet Apar...