"Seorang pemuda menawan pernah mengatakan kepadaku jika kematian akan membawa kita pergi kepada bintang lainnya. Aku mati, kukira aku akan bahagia seperti ini. Padahal, tahu tidak? aku tidak menemukan bintang lainnya selain kau di ujung sana menunggu untuk dicuri kembali."
_____________________________Rae pulang, meninggalkan satu pertanyaan besar saat mobilnya melaju meninggalkan Taehyung dengan luka menganga di dalam sana. Semuanya telah selesai, saat fajar datang menerpa seperti beton yang menghantamnya kepada kenyataan, satu senyuman luka tergambar jelas pada bibir pucat Taehyung saat sang gadis memutuskan pergi, setitik air jatuh pada lantai kayu. Iris sayu dengan pandangan kelam menatap kepergiannya.
Kendati harus menelan pil beberapa kali sebelum menjalankan mobil menuju ke perbatasan Eastside dengan napas tercekat dan jantung berdetak tak nyaman, satu kebenaran terungkap tentang bagaimana dirinya harus bertahan. Menghadapi satu kemungkinan besar di mana dirinya bertahan di atas ambang batas. Kehidupan tak mungkin berbaik hati dengannya, mengingat bagaimana kebenaran selalu menghantam seperti badai di musim dingin.
Rae jelas tahu bagaimana irisnya menangkap presensi si pemuda yang terus hidup bertahan dalam ingatannya. Kim Taehyung harus pergi, meninggalkan hatinya di ambang pergi dan tinggal. Seharusnya mereka tak pernah bertemu, atau membuat perjanjian konyol yang sama-sama menguntungkan untuk tetap bertahan satu sama lain, hingga salah satu dari mereka saling menghancurkan, tak menyisakan tempat untuk tetap bernapas lega.
Lagi pula, kendati harus melihat bagaimana salah satu dari mereka masih terjebak dalam memori, menyembuhkan luka dengan sebuah senyuman bangga, menunjukan pada semesta bahwa mereka yang paling kuat bertahan dengan satu senyuman getir. Tidak ada yang baik untuk dikenang, jujur saja, ini bahkan terasa sangat salah.
Jadi saat si gadis terus menatap jalanan dengan pikiran yang tenggelam dalam kegelapan, satu harapan mengundang kesadaran. Park Jimin masih berdiri di ujung sana menanti untuk dijamah.
"Kukira kau akan pergi meninggalkan Northern selamanya, Rae. Kenapa kembali kemari saat mengetahui kebenarannya? Bukankah kau mencintai Taehyung?" Tanya si pemuda tak mengerti, kepalanya penuh dengan satu nama sebelum pergi meninggalkan rumah. Jantungnya berdetak tak nyaman saat pergi meninggalkan rumah, meninggalkan Senna yang masih menatap saluran televisi dengan mulut penuh sereal.
Melangkah lebih dekat, aroma vanilla datang menyapa. Melihat bagaimana Park Jimin menatap penuh khawatir dengan tawa renyah sebelum membalas lirih, "Bagaimana aku meninggalkan Northern saat hatiku tertinggal di sini, Jim?" Balasnya, irisnya bulat itu melebar dalam satu sekon singkat, menangkap presensi pemuda yang tersenyum menahan tawa yang mengundang afeksi tersendiri.
"Aku mengakhiri semuanya," ada kilat rasa menyesal menusuk pandangan, menuntut lebih banyak saat si gadis menghela napas panjang, pasrah, "Semuanya termasuk Taehyung sebagai akhir perjalanan, setelah ini kau juga tak mungkin menemukanku lagi. Kupikir pergi menjauh dari semua hal yang beresiko membuatku gila akan lebih baik lagi, bukankah begitu, Park?"
Pemuda itu tenggelam, kelam. Tidak mau buru-buru menjawab saat Rae memberi sedikit ruang padanya untuk bernapas lega. "Kau tidak berfikir untuk mengakhiri hidupmu bukan?" Tanya Jimin, irisnya bergerak gelisah mencari objek yang dapat digunakan sebagai pelarian, tetapi nihil. Sepasang bola mata itu tetap menahan tangis, sebab jika si gadis pergi semuanya juga akan berakhir untuknya, "Maksudku jika kau ingin mengakhiri hidupmu, tidak ada ucapan selamat tinggal untukku?" Ucapnya sarkastik.
Tetapi meskipun perkataan itu bisa saja mengundang satu senyum tipis pada bibir sang gadis, rasanya tetap sama, sesak di sana sini tak dapat tertutupi. Park Jimin itu pembohong yang payah, kau juga dapat menemukannya menangis pada tengah malam tanpa alasan yang jelas lalu membuat lelucon konyol bahwa dia adalah pemuda yang kuat (tidak akan menangis karena hal kecil) Ya Tuhan, yang benar saja.
"Kau ingin aku benar-benar mati, ya?" Sahut Rae terlihat marah sekali, tetapi dalam satu waktu juga berusaha menahan tawa seolah lelucon milik sang lawan bicara adalah hal yang paling lucu.
Park Jimin lantas buru-buru menggeleng, tentu saja tak ingin si gadis pergi dengan keadaan seperti ini, tidak akan pernah. "Aku akan menjagamu di dalam surgaku, Rae," Tawaran itu jelas sangat menarik, tetapi untuk memilih hal lebih baik mana yang gadis itu akan tinggali selain surga, San Andreas jelas tempat yang paling sempurna. Menghabiskan satu tequila pada terik musim panas yang memanggil namanya dalam bisikan lembut, sebuah senyuman terekam jelas saat melihat bagaimana Jimin meraih jemarinya kala itu, berbisik lirih saat kesadaran hampir terenggut dengan satu senyum getir. "Tenang saja, bung. Itu tawaran yang berlaku selamanya untukmu, jangan terlalu memikirkannya. Tapi, apa kau bisa memberiku satu petunjuk kemana kau akan pergi? Itupun jika kau bersedia mengataka--"
"Strawberries and Cigarettes always taste like you?" Potong Rae, mengulum senyuman tipis sebelum melanjutkan perlahan, "Seseorang pernah membisikkan itu kepadaku pada penghujung musim panas."
"San Andreas," balas Jimin secepat kilat, jika diingat-ingat tentang bagaimana Park Jimin merenggut satu tequila pada tangannya, tawa riangnya yang terdengar beradu dengan suara berisik ngengat pada musim panas lima tahun yang lalu, pemuda itu tidak terlalu payah untuk mengingat memori tentang gadis itu tanpa disadari.
"San Andreas tempat terbaik yang pernah kudengar, Park. Untuk sebagian orang itu adalah tempat terbaik untuk mengakhiri hidup. Kudengar ada gedung tua berlantai sepuluh di sana." Sahut si gadis. Tidak ada yang mengetahui luka membusuk di dalam sana selain Park Jimin. Mengharapkan bahwa Kak Lilith atau Seokjin mengerti perasaannya bukan perkara yang mudah. Mereka memiliki kehidupannya tersendiri, Baik Rae mau pun Lilith merupakan dua sisi koin yang berbeda meski tak dapat di pisahkan. Lantas meraih tangan si gadis dengan perasaan tak tenang, wajah temaram yang disorot lampu teras itu tetap tersenyum, berusaha menguatkan dengan usapan lembut di telapak tangan."Kudengar, jika kita menggenggam tangan seseorang itu akan sedikit menenangkannya," sahut Jimin, segaris senyuman tertangkap mata saat si gadis menangkap presensi pemuda itu tengah menggenggam tangannya.
"Kau berbohong lagi." balas Rae, berusaha menelan tawanya saat melanjutkan tenang, "Kau tidak akan pernah melepaskanku, Jim. Kau pembohong yang buruk."
Park Jimin mengulum senyuman tipis, "Ya, dan kau adalah pembaca pikiran paling hebat yang pernah aku kenal, Rae," balasnya. Langitnya kelabu, bulan dan bintang masih berada pada tempatnya, tetapi tidak dengan hati si pemuda. Jatuh pada kubangan rasa bersalah saat menemukan Rae masih di sana berusaha keras menahan sakit luar biasa dalam satu titik krusial di hatinya.
Tuhan memberikan satu kesempatan dalam hidup gadisnya. Jadi, saat tangannya meraih dagu Rae dengan lembut tanpa keraguan, atau saat wajahnya mendekat dengan satu janji di dalam hatinya. Di sini, Park Jimin berjanji untuk tetap bersama Rae. Tak peduli segala konsekuensinya, bahkan saat semua orang meninggalkan gadisnya, pemuda itu tidak akan pernah beranjak dari tempatnya.
"Kau tahu apa yang paling aku takutkan dalam dua puluh lima tahun kehidupanku? Kehilanganmu untuk kedua kalinya." []
KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy
FanfictionKim Taehyung itu sempurna, seperti matahari. Terkadang juga menjelma menjadi bulan, tetapi di balik senyuman yang terpatri pada bibir semanis gula itu, pemuda itu menyimpan luka menganga yang sulit menghilang dan membekas. Book 2 from Five Feet Apar...