Waktu itu bergulir cukup cepat tatkala iris Rae memutar kepingan memori tentang pemuda ramah yang menghancurkan seluruh kepercayaan dan meremukkan tulangnya dengan suatu kali pertemuan panjang mereka. Tidak ada hal yang baik untuk di kenang, dua tahun yang lalu mungkin gadis itu akan mengaduh kesakitan pada satu titik dalam hatinya. Hancur. Tak menyisakan barang satu senti tempat untuk orang lain dalam dua puluh tiga tahun kehidupannya.
Hidup itu kompleks, kau bisa memilih takdirmu sendiri. Presensimu yang di hancurkan semesta, atau kau berusaha merangkak mempertahankan eksistensimu dalam kehidupan. Jadi, dalam detik yang berjalan lambat saat iris gadis itu dapat menemukan Seokjin yang tengah mengomel tak jelas karena kehabisan garam di dapur, ia menarik napas perlahan. Membenarkan posisi duduknya pada teras rumah---tentu bukan Kota tua Eastside, sejak kejadian itu Rae berjanji untuk meninggalkan segalanya---kenangan, tangis, rasa sakit yang menjalar ke seluruh tubuhnya, dan presensi Taehyung. Ini tidak akan pernah terjadi lagi. Tuhan cukup baik kepadanya dengan mengirimkan surat kecil untuknya untuk kehidupan yang lebih baik.
"Kau ingin mati, ya?" Pemuda tinggi itu terlihat santai, tapi dalam satu waktu juga marah. Tangannya di silangkan pada dadanya yang rata saat berkata pelan, "Jangan lakukan itu lagi, atau aku akan mati dengan benjolan di kepala akibat pukulan tongkat bisbol milik Lilith."
"Apa?"
"Percobaan bunuh diri untuk tidak makan selama dua hari ini."
Rae menahan tawa sejenak, membalas lirih saat tangannya meraih kalender di samping kursinya, "Lihat, aku sedang dalam masa diet, jadi buang jauh pikiran menjijikan itu. Bodoh sekali," gadis itu bisa melihat air muka Seokjin yang berubah melunak, pandangannya turun pada kalender dengan lingkaran merah yang menunjukan angka dua puluh, dan ini bulan Desember di mana gadis itu telah kehilangan sebagian dirinya yang menyenangkan.
Jadi mari lihat sisi baiknya, Rae menjadi pribadi yang sedikit mengurangi kebiasaan buruk lamanya untuk pulang dengan bau alkohol dan lipstik yang telah berantakan di pipi. Taehyung masih begitu penting. Sisi dari dirinya ikut tenggelam, tetapi barangkali pemuda yang masih mengenakan celemek berwarna merah muda itu lupa saat melihat iris gadis itu berkilat menatap senja; merah, jingga, kelabu, semburat ungu, semuanya masih sama. Bahkan Seokjin ingat hari di mana Rae menangisi sesuatu yang bergejolak di dalam hatinya---Rae adalah gadis yang kuat.
Desember dua tahun yang lalu di mana pemuda itu hampir saja melepaskan gelegak amarah dengan menghampiri kediaman Mauve tanpa persetujuan Lilith, gadis itu sangat hancur berantakan. Matanya membengkak, hidung dan telinganya memerah, dan Seokjin tidak mungkin tidak bisa menahan diri untuk datang dan menghancurkan Taehyung dengan kedua tangannya. Tetapi tidak. Gadis itu meraih tangannya erat---memintanya untuk kembali, memintanya berjanji satu hal. Berjanji untuk membawanya pergi meninggalkan Eastside, pergi sejauh mungkin asalkan bukan Paris dan Eastside. Luka itu jelas membekas dan membawa sekelumit getir untuk di kenang. Jadi di sinilah mereka kembali, Seokjin memiliki apartement di sisi lain Kota Northern. Tidak buruk juga, lagi pula ini bukan sesuatu yang dapat kau pilih dengan seenak jidat. Kebaikan Seokjin sudah lebih dari cukup untuk menampung satu orang lagi seperti dirinya.
Melihat presensi Seokjin yang mengangguk, tersenyum lembut sekali saat kembali berkata, "Tidak boleh, kau harus makan! Dengarkan aku, Rae. Kau hanya memiliki satu kehidupan, jadi jangan di sia-siakan seperti; Makan terlambat, tidak mematuhi aturan rumah, tidak suka diatur, pergi ke club malam dan---"
Gadis itu melirik tajam, mendengus, "Cukup, katakan saja semua keburukanku, dosa-dosaku seolah aku adalah orang paling buruk di dunia ini, Kak. Aku juga membenci diriku yang tidak bisa membuat satu orang bertahan. Aku benci tidak bisa membuatnya mencintaiku, jadi katakan padaku----apakah aku adalah orang yang paling buruk?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy
Fiksi PenggemarKim Taehyung itu sempurna, seperti matahari. Terkadang juga menjelma menjadi bulan, tetapi di balik senyuman yang terpatri pada bibir semanis gula itu, pemuda itu menyimpan luka menganga yang sulit menghilang dan membekas. Book 2 from Five Feet Apar...