Paris bukan tempat buruk, begitu pikir Rae sesaat melihat peta map yang menuntunnya pada sebuah cafe di sisi Kota Berlin. Udara tak begitu dingin hingga gadis itu harus bersusah payah untuk mencari jaket tambahan. Kim Taehyung mendadak menyadari sesuatu, seharusnya ia tak pernah membiarkan gadis itu datang dengan wajah menggembung menggigil sesaat setelah menapakkan kaki di Berlin, katanya sih tidak kedinginan dan ingin melakukan ini itu sendiri. Keputusan yang tidak dapat di ganggu gugat tentunya.
Lantas menghentikan ketukan jemarinya pada meja makan, pemuda itu serta merta menatap Rae lurus, menghela napas panjang saat berkata, "Kau tidak mungkin tinggal di hotel sendirian tanpa aku, bukan?" Gadis itu masih tak bergeming dari tempatnya, menusuk potongan daging terakhir pada piringnya lalu menyumpalkannya pada mulutnya tanpa menaruh minat sedikit pun.
"Kau membawaku kemari bukan untuk berlibur, aku mengerti itu. Sangat." Nadanya turun satu oktaf, mengalihkan atensi pada gedung pencakar langit yang mengurung mereka, cafe ini tidak begitu ramai. Cukup menenangkan. Ada dua orang di pojok dan yang lainnya duduk tepat bersebelahan dengannya yang di batasi sekat sejauh satu meter. Rae mengatasi luka di dalam sana dengan satu tawa getir sebelum melanjutkan lirih, "Besok pagi, aku ingin melihat Berlin lebih dekat. Kau boleh pergi, Tae."
Sepasang iris kelam milik Taehyung menatapnya dalam, meraih jemari gadis itu yang masih menggenggam garpu, saat membalas lembut "Tentu, aku akan menemui Seokjin malam ini, dan kau bisa pergi bersamaku besok," gadis itu menepuk punggung tangan milik Taehyung, memberinya senyuman cerah. Senyuman yang bahkan tidak bertahan lama sesaat setelah irisnya menangkap rintik salju yang mulai mendera kota ini dengan cepat. Tidak banyak yang gadis itu harapkan, bersama dengan Taehyung sudah lebih dari cukup untuk sebuah kebahagiaan kecil. Lagi pula itu pun sangat sulit di wujudkan, jadi menghela napas terlewat lelah, Rae menyadari sesuatu bahwa impiannya itu akan turun dan menjadi angan semata.
Menyambar tas dan menuruni tangga setelah makan malam selesai, akhirnya mereka pergi. Menunggu taksi yang mendadak sangat sulit di temui setelah setengah jam menghabiskan waktu di pelataran cafe----sial, kepalanya sudah di penuhi amunisi untuk menendang gumpalan salju setebal lima senti di hadapannya, tetapi urung, mengingat jika Taehyung akan marah dan mengomel ini itu semakin tidak jelas. Pun Rae hanya membutuhkan waktu lima menit saat irisnya menangkap presensi Taehyung yang menatapnya dengan ekspresi tak mengerti---dahinya berkerut sesaat, kedinginan.
"Kau sih tidak meminta Seokjin untuk menjemput kita di bandara," Taehyung terkesiap, kepalanya pening luar biasa hingga tak mampu menahan sebagian berat dari tubuhnya. Jadi, menggenggam tangan si gadis terlewat erat---meremat jemarinya saat Rae kembali menekan nomor ponsel Seokjin pada layar ponsel miliknya saat melanjutkan, "Aku akan memintanya datang menjemput kita, aku sudah mengirim alamatnya."
Si Kim mengangguk, menahan dingin yang menusuk tulang, bahkan cuacanya sangat buruk untuk berkendara. Tersenyum singkat, menatap iris gadis di sampingnya yang tengah kelabakan setengah mati menunggu Seokjin datang dengan gigi bergemeletuk kedinginan, terkekeh pelan saat balas bertanya dengan nada mengejek, "Katanya tidak membutuhkan jaket tambahan saat sampai di Berlin?" tanyanya, mengerling lucu. Tidak, ini benar-benar tidak bagus untuk kesehatan jantung Rae. Sangat. Tidak. Bagus. Bagaimana seseorang bisa tampak menawan dan lucu di saat yang bersamaan!
Seakan kesadaran telah kembali sepenuhnya, gadis itu sedikit memberi sekat untuknya bernapas lega. Tetapi terlampau lambat untuk melakukan hal itu, Taehyung kembali membuat perutnya bereaksi seakan ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam sana saat melanjutkan, "Atau menghabiskan semalaman suntuk bersamaku?" Jelasnya dengan akting menahan tawa yang sangat sempurna, Rae bahkan sangat yakin jika pipinya sudah bersemu merah. Tidak berselang lama saat seorang gadis di ujung persimpangan jalan sana menyerukan nama Taehyung. Cantik sekali, seperti boneka, begitu pikir Rae saat menemukan presensi si gadis dengan setelan repead jeans dan kaus kebesaran berwarna biru tua itu tersenyum meraih tangan Taehyung.
"Sudah lama sekali, bukan?" Tutur si gadis saat menatap iris Taehyung dalam, masih dengan senyuman manis itu. Wajahnya menunjukan ras yang nampak sedikit berbeda dari orang Paris kebanyakan membuat Rae menautkan alisnya saat si gadis lanjut bertanya antusias, "Bagaimana kabarmu, Tae?"
Pemuda itu masih tak bergeming dari tempatnya, melepaskan genggaman tangan milik Rae saat membalas dengan tenang, "Baik, bagaimana denganmu? kau bahkan tampak lebih baik dari saat terakhir kita bertemu," pemuda itu, Kim Taehyung kembali tersenyum gugup saat menemukan kepingan dirinya yang masih tertinggal di sisi lain kehidupan gadis itu. Lantas menahan sesak luar biasa, merasakan hatinya yang mendadak merosot jatuh ke hingga ke dasar perut, Kim Taehyung mengulum senyuman getir saat melanjutkan, "Aku harus pergi sekarang, Rae kedinginan karena menunggu jemputan Seokjin."
Rae menatap tak mengerti, membiarkan neuron dalam otaknya bekerja dua kali lipat lebih cepat di saat sialnya kedinginan hingga membuatnya seperti orang tolol---pengganggu, menyadari akan adanya presensi makhluk hidup yang sejak tadi terlibat dalam konversasi ini tanpa menanyakan nama dan siapa gadis yang sejak tadi mengeratkan ikatan jaketnya dengan gigi bergemeletuk tak senang, akhirnya si gadis mengulurkan telapak tangannya, tersenyum hangat, "Halo Rae, aku Mauve Park, senang bertemu denganmu."
Bising, jalanan bukan kawan yang baik saat kau ingin memulai konversasi. Dengung suara mesin juga gemericik air menuntut untuk di hentikan dengan cara menuntun langkah mereka pada bangunan klasik dengan lonceng keemasan di samping pintu kayu berwarna putih tulang, sebuah tawaran teh kamomil membuat ketiganya sepakat untuk menetap di kediaman Mauve. Tidak buruk, toh Seokjin juga baru membalas pesannya dengan pesan suara, nadanya di penuhi penyesalan saat berkata,
"Ah maaf, aku tidak bisa menjemput kalian malam ini. Lilith terserang flu berat, jadi besok pagi aku akan menjemput kalian. Sebagai gantinya," ada jeda sesaat, diiringi suara bersin sebanyak dua kali saat melanjutkan dengan suara pemuda Kim yang sedikit mendengung, "---Lilith akan membiarkan kau tidur di kamar tamu bersama Taehyung tanpa uang sewa, ingat itu."
Rae mengulas senyuman tipis, menahan tawa yang akan meledak seiring dengan bunyi bersin di akhir pesan suara,
"Yang benar saja."
Rumah ini tidak buruk, meski kau bisa menemukan tumpukan baju kotor di kamar mandi dan juga keran air yang menyala hingga airnya meluber keluar, juga lampu besar yang tergantung tepat di ruang tengah tidak terlalu buruk. Mauve, gadis itu mengerti dengan perjalanan yang baru saja di lewati Taehyung dan Rae, jadi tanpa keberatan membiarkan keduanya membersihkan diri dan menata barang mereka untuk tinggal selama semalam.
Di kamar yang berbeda, dengan alasan satu kamar hanya bisa menampung satu penghuni---satu ranjang yang tentunya tidak kuat menahan bobot berlebih seperti Taehyung.
Pun menghela napas berat, waktu telah berputar di angka satu saat si gadis membuka mata. Tidak, rasanya ada yang hilang. Rae membawa kedua kakinya menuruni tangga menuju dapur, hingga rungunya menangkap suara aneh. Memutar arah menuju tempat di mana sumber suara itu berasal---kamar milik Taehyung yang tidak terkunci, menyisakan celah untuk irisnya menatap kelam. Sepasang mata itu tidak akan pernah membohonginya. Saat bibirnya terkatup rapat melihat bagaimana Kim Taehyung menghancurkan dinding kepercayaannya.
Saat Kim Taehyung, membalas lumatan lembut dari bibir Mauve. Malam di mana ia melihat bagaimana kepingan dirinya hancur tidak bersisa.
"Kabar baiknya, bukankah sekarang aku tahu, bagaimana bisa kau melewati hari-harimu tanpa aku, Kim Taehyung?" []
KAMU SEDANG MEMBACA
Redamancy
FanfictionKim Taehyung itu sempurna, seperti matahari. Terkadang juga menjelma menjadi bulan, tetapi di balik senyuman yang terpatri pada bibir semanis gula itu, pemuda itu menyimpan luka menganga yang sulit menghilang dan membekas. Book 2 from Five Feet Apar...