Sebelumnya aku udah pernah bilang kalau aku masih kelas 9, masih bocil. Mungkin kalian bakal pikir 'yaelah drama banget, sih, hidupnya. Kayak masalahnya paling berat aja'.
Itu hak kalian buat berpendapat, tapi aku sih biasa aja. Aku emang kayak gini orangnya, menganggap hal sepele menjadi luar biasa.
Salah satunya saat aku memutuskan untuk lanjut di mana waktu SMA.
Teman-temanku dengan mudahnya nentuin mau lanjut sekolah di mana begitu saja, tanpa peduli kalau SEKOLAH YANG DIPILIH ITU MENENTUKAN KEHIDUPAN KITA SELANJUTNYA.
Alay banget, nggak, sih? Wkwk. Maaf, ya, tapi kalau boleh jujur, cuma masalah nentuin SMA aja aku bisa depresi, stress, bahkan sampai kurang tidur dan nggak fokus saat pelajaran selama sebulan lebih. Serius.
Kenapa begitu?
Ini alasan aneh, sih. Biasanya kalau mau pilih SMA kan dipilih berdasarkan bagus atau nggak pendidikannya, fasilitasnya, dan lain-lain. Tapi, aku nggak.
Aku milihnya berdasarkan gimana sifat murid-muridnya di sana.
Iya, aneh banget. Aku takut kalau di sana murid-muridnya bandel dan suka geng-gengan, terus ujung-ujungnya aku di bully sama mereka. Aku takut kalau di sana murid-muridnya pada famous dan cakep, sedangkan aku udah kayak babu mereka.
Intinya AKU TAKUT. Aku takut dijauhi mereka, makanya aku nyari sekolah yang derajatnya setara denganku.
Waktu awal kelas 9, aku ketemu sekolah yang dilihat dari IG murid-muridnya friendly banget. Saat ku stalk, mereka juga sederajat denganku. Tapi sayang, sekolahnya ada di kota lain, jadi mau nggak mau aku harus pindah dan jauh dari orang tua.
Karena aku anak tunggal, orang tuaku langsung nggak setuju. Waktu itu aku benar-benar bingung dan marah, jadi aku ngambek nggak ngomong seharian. Iya, aku kalau ngambek nggak bakal ngebentak atau gimana, tapi diam. Parah banget, ya, haha.
Di pertengahan semester 1, aku mau sekolah di salah satu SMA negeri favorit yang cukup dekat dari rumahku. Kelihatannya di sana muridnya friendly juga, makanya aku mau pindah ke sana.
Tapi, tau nggak, orang tuaku bilang apa? Nggak boleh.
Awalnya aku putus asa dan makin stress karena udah mulai akhir semester pertama, tapi aku nggak mau menyerah. Akhirnya aku berdoa minta pertolongan Tuhan, bahkan orang tuaku sampai menyuruhku untuk mengunjungi sekolah-sekolah yang dekat dengan rumahku.
Waktu kukunjungi sekolah-sekolah yang dekat dengan rumahku, rasanya aku mau pulang di saat itu juga. Nggak tahu kenapa, aku benar-benar malu setiap berpapasan dengan salah satu murid di sekolah itu. Rasanya aku mau hilang saat itu juga.
Akhirnya, aku memutuskan untuk lanjut di salah satu sekolah yang sedikit lebih 'baik' dibanding sekolah lain.
Meskipun kelihatannya lebih 'baik', aku tetap takut. Kabarnya banyak cewek cantik dan famous berambut badai yang sekolah di sana, dan kabar itu ternyata benar. Saat aku tes masuk, banyak cewek-cewek cantik badai juga ikut tes masuk.
Coba bayangin, deh. Cewek buluk kayak aku berada di antara lautan cewek bening sebening Chelsea Islan. Jadi ciut, kan?
Sahabatku yang Introvert (coba, deh, baca di bab sebelumnya. Dia itu orang yang kuceritain di Tipe Anak Baik, Pintar, dan Suka Menabung) juga ikut tes ini, sih. Tapi, dia bisa dibilang juga cantik, nggak ada bedanya dengan yang lain.
Jujur, aku pengeeeeen banget keluar dari pola pikir buruk kayak begini.
Tapi, gimana caranya?
29-10-18
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Introvert
Ngẫu nhiênSebuah catatan pribadi seorang remaja introvert. Ps: diusahakan update rutin. Pss: tidak menggunakan bahasa baku.