Mutualisme 1.2

6.3K 954 349
                                    

"Baik anak-anak," ujar Pak Jon, guru Matematika yang sebentar lagi akan menyebar lembar soal ulangannya. Siswa-siswi yang tadinya masih ribut langsung diam dan duduk dengan sangat manis. Alin selalu menyukai ketenangan yang muncul tiba-tiba seperti ini. Terasa begitu damai. "Sebelum Bapak bagikan soalnya, ada satu aturan baru yang ingin Bapak terapkan di ulangan kali ini."

Kedamaian seketika pecah. Bisik-bisik khawatir mulai terdengar di mana-mana, terutama dari geng meja belakang. Sepertinya usaha Alin mulai menunjukkan tanda-tanda keberhasilan. Alin menoleh ke arah Remi, cowok tinggi kurus berambut pendek lurus yang duduk di baris kedua, satu lajur di sisi kirinya. Wajahnya menyiratkan rasa panik. Alin juga menatap sekilas wajah beberapa anggota geng meja belakang, hanya untuk mendapati kekhawatiran yang sama tersaput di wajah mereka. Sepertinya mereka sadar hal buruk akan segera berkunjung.

"Bapak mau mengubah sedikit posisi tempat duduk kalian," lanjut Pak Jon, membuat kegaduhan makin tak terkendali

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bapak mau mengubah sedikit posisi tempat duduk kalian," lanjut Pak Jon, membuat kegaduhan makin tak terkendali.

Protes terdengar santer. Desna memandang Alin. Dia berbisik. "Ini, ya, maksud lo tadi?"

Alin memasang senyum kemenangan. "Yup. Sedikit pelajaran buat mereka biar lain kali nggak asal gantungin nyawa ke orang lain. Mereka harus siap dengan pedang sendiri kalau mau terjun ke medan perang."

"Tapi, lo juga mesti hati-hati, Lin." Desna memperingatkan. "Geng meja belakang bukan anak-anak yang bakal terima gitu aja diperlakuin kayak gini. Jangan sampai mereka tahu ini ulah lo, atau mereka bakal gunain pedang mereka buat nebas leher lo."

"Gue pikir mereka tetap bakal tahu, kok," balas Alin santai. Dia tak peduli, meski sadar tengah menabuh genderang perang. "Apa pun yang bakal mereka lakuin, terserah mereka. Gue ngelakuin hal yang benar. Jadi, ngapain gue mesti takut?"

Desna hanya bisa menghela napas. Pasrah. "Jawaban yang lo banget. Untung gue bukan Bian."

"Emang kenapa kalau lo Bian?"

Sekadar informasi. Fabian Ariwangsa atau lebih dikenal dengan panggilan Bian adalah pacar Alin. Cowok itu berada di tingkat yang sama dengannya, hanya berbeda kelas. Bian saat ini berada di kelas XI-IPA-3.

"Kalau gue jadi Bian, gue mungkin nggak bakal bisa jauh dari lo," jawab Desna dengan nada bercanda

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kalau gue jadi Bian, gue mungkin nggak bakal bisa jauh dari lo," jawab Desna dengan nada bercanda. "Takut lo babak belur dihajar geng meja belakang."

Alin tertawa pelan. "Untung Bian nggak parnoan kayak lo."

"Baik, semua dengar!" Kata-kata Pak Jon menginterupsi obrolan di antara Desna dan Alin. "Baris belakang silakan pindah ke baris kedua," lanjut Pak Jon mulai mengatur pembagian tempat duduk. "Baris ketiga pindah ke baris paling depan, baris kedua pindah ke baris belakang, dan baris pertama pindah ke baris ketiga."

Protes terdengar makin memekakkan telinga.

"Lakukan. Tidak ada protes." Pak Jon tidak mau berkompromi.

Meski gerutuan masih terus terdengar, tak ada yang membantah Pak Jon. Semua anak bangkit dari tempat duduk masing-masing, membawa tas mereka, dan menempati meja di baris yang sudah ditentukan.

"Yuk, Des, pindah," ajak Alin semringah. Senyum menghias wajah. Lakunya begitu percaya diri. Seperti inilah caranya mengekspresikan kemenangan.

Alin yang duduk di baris pertama langsung berjalan ke meja di baris ketiga di lajur yang sama. Dalam perpindahan tempat duduk itu, dia sempat berpapasan dengan beberapa cowok geng meja belakang. Dia tak sengaja mendengar gerutuan mereka.

"Dia pindah ke baris belakang. Gimana kita bisa lihat kodenya? Noleh ke belakang terus-terusan jelas nggak mungkin. Bisa ketahuan Pak Jon nanti."

"Padahal, gue nggak belajar sama sekali."

"Gue juga. Mampus aja kita."

"Lagian, kenapa Pak Jon tumben-tumbenan bikin aturan aneh kayak gini, sih? Biasanya juga langsung mulai."

"Iya. Gue jadi curiga ada yang lapor...."

Seiring banyaknya langkah yang Alin ambil, suara mereka berangsur menghilang. Lagi pula, biar saja mereka merasakan akibat terlalu mengandalkan orang lain tanpa ada keinginan untuk berusaha sendiri terlebih dahulu.

"Satu lagi," ujar Pak Jon setelah semua orang duduk di tempat masing-masing. Ternyata guru berkepala botak itu masih punya kejutan lain. "Taruh ponsel kalian di atas meja."

Desna menoleh ke arah Alin. Tanpa perlu mendengar pertanyaan apa pun yang akan keluar dari mulut temannya itu, Alin tahu apa yang ingin Desna tanyakan. Dia pun segera menyambar. "Yang ini bukan ulah gue."

Protes kembali terdengar. Tapi, lagi-lagi, tidak ada yang berani membantah.

"Baiklah, sekarang, mari kita mulai ulangan hari ini," ujar Pak Jon beberapa menit kemudian, setelah memastikan semua ponsel bertengger manis di atas meja. "Standar lulus untuk ulangan ini adalah tujuh puluh. Bagi siswa yang tidak mencapai standar, Bapak sudah siapkan soal-soal latihan untuk kalian, juga kelas sore setiap hari Senin dan Kamis selama dua bulan ke depan."

Pak Jon tersenyum. Alin menahan senyum. Anak-anak geng meja belakang mengerang kesal.

------------------------------------------------------------------------------------------------

------------------------------------------------------------------------------------------------

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nah, sampai di sini dulu, ya, postingan hari ini. Selanjutnya, Simbion bakal update setiap hari Minggu pukul 20.00. Catat waktunya, ya?

See ya~

SIMBIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang