Parasitisme 3.1

2.6K 358 30
                                    

Seperti biasa, pukul lima pagi, Bian dan Nenek selalu sudah sibuk di dapur

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Seperti biasa, pukul lima pagi, Bian dan Nenek selalu sudah sibuk di dapur. Sementara Bian menyiapkan sarapan, Nenek akan sibuk dengan bernampan-nampan adonan kue. Membuat kue kering adalah pekerjaan Nenek, hal yang dia dan Bian gantungi untuk bertahan hidup. Toko kecilnya memang tak menghasilkan terlalu banyak uang, tapi cukup untuk membuat mereka hidup dengan sangat layak. Selepas urusan menyiapkan sarapan kelar, biasanya Bian akan membantu Nenek. Lebih-lebih beberapa minggu terakhir ini. Ketika kesehatan Nenek sudah jauh berkurang, Bian harus membantu lebih banyak dari biasanya.

Dua loyang nastar dan dua loyang kastangel baru saja keluar dari oven. Aromanya luar biasa harum. Gurih keju serasa memenuhi dapur. Perut Bian yang baru terisi segelas teh hangat sampai berbunyi. Nenek melirik Bian, Bian tersenyum malu. Mereka tertawa.

Nenek menggeser loyang nastar ke arah Bian, lalu membenahi letak penutup kepala yang membungkus rambutnya yang sudah rata memutih. "Coba kamu icip, enak nggak nastar Nenek?"

Itu bukan benar-benar pertanyaan. Hanya cara Nenek mempersilakan Bian mengambil kue kering buatannya. Sambil menunggu ikan gorengnya masak, Bian mengambil sepotong nastar dan melemparkannya ke mulut. Masih agak panas, tapi tetap sangat bisa dinikmati. Satu potong lagi masuk ke mulut tak berselang lama. Sampai potongan keenam, dia belum punya keinginan untuk berhenti mengunyah.

"Ikanmu bisa gosong kalau kamu keenakan ngabisin kue Nenek," ujar Nenek mengingatkan Bian akan tanggung jawabnya.

Bian mengambil dua potong lagi, lalu beralih pada ikan di penggorengan.

Untuk beberapa waktu, keheningan menyela. Hanya suara loyang beradu dan suara berisik penggorengan yang mendominasi ruang dapur yang sempit itu. Nenek dan Bian fokus pada pekerjaan masing-masing. Nenek mamastikan kuenya terpanggang sempurna, sedangkan Bian sangat berhati-hati agar ikan gorengnya tidak gosong.

"Bi, akhir-akhir ini Nenek jadi gampang banget capek," ujar Nenek tiba-tiba, di tengah usahanya mencetak potongan-potongan kecil nastar. "Nenek udah nggak bisa bikin kue sebanyak dulu. Nenek pengin banget kamu bisa gantiin Nenek dan ngelanjutin usaha ini. Seenggaknya, sampai kamu lulus kuliah dan dapat kerjaan yang bagus. Hasilnya memang nggak banyak-banyak amat, tapi..."

"Nek, Bian janji bakal tetap bantuin Nenek jalanin usaha ini," balas Bian memotong kata-kata Nenek, sebelum pembicaraan ini melebar ke mana-mana. "Tapi kalau Nenek suruh Bian ngambil alih usaha ini, Bian belum siap. Bian belum bisa ngeluangin terlalu banyak waktu buat usaha ini. Jadwal sekolah Bian aja udah padat."

"Tapi, bisa nggak kamu luangin waktu lebih buat bantuin Nenek?" tanya Nenek penuh harap. "Nggak cuma bantuin Nenek pas pagi kayak gini aja, tapi sore juga. Di toko. Habis kamu pulang sekolah."

"Bian usahain, Nek," jawabnya. "Tapi, kalau Nenek beneran butuh tenaga tambahan, Bian bisa nanya ke Mbak..."

"Nggak usah," potong Nenek cepat, tiba-tiba berubah galak. Nenek tahu siapa orang yang ingin Bian rekomendasikan. "Lebih baik Nenek tutup toko daripada harus nerima wanita itu di rumah ini lagi."

SIMBIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang