3

89 24 4
                                    

   Mochi menggeliat-liat di kursi dengan garis pupil tipis, sesekali kelopaknya menyipit lalu bergetar malas. Cuping lebarnya akan refleks menegak ketika menangkap suara aneh. Nampak matahari telah turun, jendela serta gorden dibuka hingga sorotnya berangsur mengisi bangunan berpilar tersebut. Sendawa nyaring terdengar menyerupai terompet kecil, Mochi bahagia perutnya montok kembali.

   Dia berdiri di atas karpet hijau tebal, melenggang santai menuju pintu keluar. Sepoi angin pagi dengan embusan udara merindingkan kuduk. Pagi ini gereja sedang ramai. Ya, seperti yang dikatakan pendeta itu kemarin, akan dilaksakan upacara kematian.

   Mochi merasa turut berduka melihat upacara mendoaan jenazah. Orang-orang di sana tidak ambil pusing melihat seekor kucing berbulu lebat berjalan lenggang. Anak-anak kecil bersorak melihat penampakan Mochi. Keganjilan yang terlihat hanyalah gadis kecil berpakaian butut dengan sepatu selop merah mencolok.

   Melihat bagaimana si gadis memilih duduk di samping kepala jenazah, Mochi menebak jika gadis itu merupakan salah satu dari keluarga jenazah. Mochi menguap panjang, berjalan lenggak-lenggok. Hingga tidak melihat pijakan menurun yang membuatnya jatuh tengkurap dengan perut bergelambir. Mochi mengerang hingga membuat semua pasang mata mengarah kepadanya. Entah apa yang dipikirkan para manusia itu ketika mendengar erangan kucing yang terdengar ganjil, lain dengan kucing kebanyakan.

   Katakan saja erangan Mochi berasal dari suara manusianya. Kembali melihat gadis yang sepertinya kurang cocok mengenakan sepatu merah di acara duka ini, terlebih lagi jika benar jenazah itu merupakan keluarganya. Mochi terduduk di pojokan pintu dengan semu malas.

   Tidak jarang terdengar komentar pedas mengenai si gadis yang mengenakan sepatu merah tersebut. Seperti saat ini, seorang pria tua berkata, "Anak yang aneh, memakai sepatu merah pada saat upacara pemakaman ibunya."

   Pernyataan yang sungguh akan menghujam jantung. Acapkali bisik-bisik itu disuarakan, memperpojok sang gadis yang terduduk lesu dengan sorot iris hampa. Mochi mencoba abai, tetapi wajah si gadis berangsur memerah ... hingga tangisnya pecah. Sang kucing jingga mengibai. Kasian juga dia, batin Mochi.

   Kehilangan seseorang yang amat disayangi. Mochi jadi merindukan nenek.

   "Huhuhu ... Mochi rindu Nenek, huhuhu .... Pulanglah, Nek." Mochi meraung sembari memeluk ekor di sudut ruangan. Tubuh berbulunya melingkar bagai roda, sengaja diguling-gulingkan.

   "Huwaaaa," tangis Mochi semakin pecah. Sayang, yang tertangkap di telinga para manusia itu hanyalah eongan nyaring seekor kucing bulu lebat. Bahkan tak segan-segan seorang anak mencoba menyentuhnya, tetapi mulut Mochi terbuka cepat dan memperlihatkan taring-taring nan tajam tersebut. Sontak si anak menjerit takut, lalu digendong pergi oleh sang ibu.

   Mochi menatap kepergian anak itu dengan raut iri! Digendong oleh pemiliknya, sedangkan Mochi? Kucing itu kembali meraung.

  Dia melingkarkan tubuh mencari kenyamanan, menjilati tubuh untuk menghilangkan debu-debu menempel. Juga membersihkan wajah penuh ingus--akibat tangis--dengan kaki depan. Untuk itulah Mochi berada di sini, mencari Nenek! Jika dia terus larut dalam kesedihan ... kapan Nenek akan ditemukan.

   Kalau saja malam tidak memeluk dan menyita seluruh energinya, petang itu Mochi sudah akan kabur dari si pendeta baik hati. Jika sudah begitu, Mochi tidak akan meraung-raung seperti tadi, ataupun melihat pemandangan gadis bersepatu merah darah yang memekik ketika jenazah ibunya digiring menuju pemakaman.

Petualangan Mochi [ Seri Kucing-Kucing Ajaib ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang