TMtB : 1

29 7 0
                                    

Gumandang adzan terdengar samar dari kejauhan. Membangunkannya dari mimpi indah yang datang saat matanya ia pejamkan. Mata yang terpejam mengerjap untuk membiaskan cahaya yang masuk pada kornea matanya.

Kaki ringannya menapaki sebuah dunia yang terasa dingin.  Langkah menuju perintah Sang Maha Kuasa akan segera ia jalankan.

Sejuk pagi, kicau burung khas sebuah pedesaan, tempat yang ia tempati saat ini. Tempat yang mempunyai kenangan selama dua puluh satu tahun lamanya.

Sejenak ia memandang luas ke arah luar jendelanya. Memikirkan betapa banyak memori yang tertanam di tempat yang ia pijak kini. Tapi rasa sakit di relung hati kian muncul. Ketika teringat tidak akan ada lagi yang bisa membuat kenangan bersamanya. Beliau sudah pergi untuk selamanya. Meninggalkan dia bersama Sang Ibu.

Satu tetes air mata keluar dari sudut matanya, tapi dengan cepat ia menghapusnya. Ia tidak mau tenggelam dalam kesedihan lebih dalam. Ia harus kuat. Ada yang lebih sakit disini. Yaitu Ibunya.

Setelah tersadar dari lamunannya segera ia melangkah ke kamar kecil di dalam rumahnya. Tapi ia melihat Ibunya sedang termenung di meja makan yang berada di dapur. Kebetulan kamar kecilnnya melewati dapur.

"Ibu? Kenapa Ibu melamun? Nanti kesambet lagi, masih pagi lho ini. " Ucapannya menyadarkan Sang Ibu dari lamunnannya, dan menyambut anaknya dengan senyum yang ia buat sesempurna mungkin.

"Ah Jani kamu sudah bangun nak? Ibu melamunkan dosa tikus yang kembali mencuri sarapan kita Jani." Balas Ibunya dengan gurawan.

Senjani terdiam sejenak, kemudian dia tertawa renyah, menanggapi candaan Ibunya. Bukan karena kalimatnya yang lucu tetapi mimik wajah Sang Ibu yang membuat ia tertawa.

"Ibu ini ada ada saja, Ibu lucu jika berekspresi seperti itu Bu."

"Ah itu, Ibu hanya kaget kamu tiba-tiba datang. Dan itu hanya spontanitas Ibu Jani, hehe. " Elak Ibunya.

Senjani hanya tersenyum sembari mengangguk ragu.
"Ah baiklah-baiklah apapun itu alasan Ibu. Jani mau ambil wudhu dulu ya Bu nanti kita sambung lagi bercandanya, hihi. "
Kepergian Senjani membuat senyuman yang tadi Ibunya ukir luntur, kini hanya raut kesedihan yang ada pada wajahnya.

"Jika kamu tau semuanya, akankah Jani putri kecilku meninggalkan si tua ini? Ya Rob, hamba tak ikhlas jika harus berpisah dengan putri kecil itu." gumamnya pelan dengan helaan nafas keras diakhir katanya.

*****

Matahari sudah tanpak jelas dan panasnya pun sudah mulai menyapa kulit. Menandakan pagi menjelang siang sudah datang waktunya.

Hari ini seorang gadis sedang bencengkrama dengan Ibunya tercinta di teras rumahnya. Sesekali mereka tertawa ketika ada pembicaraan yang lucu.

"Bagaimana jika kamu nikah nanti ya Jani? Ibu pasti menjadi yang terakhir dalam hatimu haha." Kalimat yang membuat Jani diam. Dia bertanya dalam hati, mengapa Ibunya tiba-tiba menyinggung hal pernikahan?

"Isshh Ibu, Jani belum mau menikah, jadi jangan bahas hal itu. Jani masih mau membahagiakan Ibu sebelum hidup Jani bahagia Bu. " Jelas Jani.

"Nak, dalam hidup kamu tidak bisa menargetkan akhir hidupmu seperti apa yang kamu mau, takdir itu sudah ada di tangan Allah. "

Senjani diam.

"Bu, takdir memang ada di tangan Allah, tapi takdir itu masih bisa di ubah jika kita mau berusaha. Dan memang itu tidak akan mudah, karena Allah pasti menberikan ujian dulu kepada kita." Sanggah Jani.

Ayma-Ibu Senjani terdiam menatap mata anaknya yang bersinar.

"Baiklah-baiklah itu anggapan kamu. Tapi Jani, Ibu juga pernah mengingikan akhir hidup bahagia bersama ayahmu. Tapi, kenyataan yang Ibu dapatkan jauh dari harapan yang Ibu bangun bertahun-tahun. Buktinya, ayahmu pergi meninggalkan Ibu meratapi hidup sendiri. " Air mata sudah mengalir dari mata cantik Ibunya membuat Jani mau tidak mau ikut merasakan sakitnya.

Dengan cepat segera ia memeluk tubuh Ibunya kedalam tubuhnya yang mungil. Ikut terisak dengan sakit yang menggebu.

Sudah 2 tahun ayahnya meninggalkannya, tetapi sakitnya masih terasa sampai saat ini. Tahun pertama kepergiannya, di dalam rumah yang Jani pijak kini tidak ada kehidupan. Dua jiwa yang menghuni rumah itu sama-sama terdiam dalam dunia mereka sendiri.

Sampai akhirnya mereka menyerah dengan keadaan dan mulai menata hidup dari awal. Awalnya sulit dan terpikir mustahil. Dua jiwa perempuan berperan menjadi pelindung untuk satu sama lain. Tetapi akhirnya mereka bisa bangkit walaupun dengan waktu yang tidak singkat. Bayangan ayah bagi Senjani dan bayangan Suami bagi Ayma tidak pernah hilang, dia adalah orang yang sama-sama mereka cintai.

"Ibu sudah, kita harus kuat. Ayolah Bu, ini sudah 2 tahun berlalu. Kita tidak mungkin tenggelam dalam kesedihan ini selamanya. Kapan kita sampai ke permukaan jika kita terus menghirup air? Sedangkan di atas sana ada permukaan yang menyediakan udara yang membuat relung paru-paru kita lega? " Kata-kata putri kecilnya membuat ia mengusap air matanya pelan. Dan langsung menatap langit.

"Ibu juga ingin terbang bersama ayahmu nak, sebenarnya Ibu tidak mau tenggelam bersamamu, tapi Ibu akan terbang setelah menyelamatkan Jani dari dalam sana dan membawamu kepermukaan. Tapi nyatanya Ibu bahkan yang lebih tenggelam. Dan kamu yang mencoba menyelamatkan Ibumu yang lemah ini. Maafkan Ibu Jani. " Gumam Ayma pelan.

Pelan tetapi masih terdengar oleh Senjani yang menyimak. Ternyata Ibunya juga sama berusaha dengan dirinya, tapi Ibunya tidak bisa. Hingga akhirnya seperti ini.

"Baiklah sudah lupakan. Bagaimana jika kita pergi sebentar ke ladang untuk liburan? Sepertinya asyik bu"

Senyum kembali terbit dari bibir mungil Ibunya. Walaupun Ibunya sudah umur lanjut tapi entah kenapa kecantikannya tidak pernah berkurang. Padahal jika orang desa itukan tidak pernah perawatan. Dan anehnya Jani tidak sedikitpun mewarisi paras Ibunya. Bahkan ia seperti bule-bule yang ia lihat di televisi. Almarhum ayahnya bukanlah seorang yang datang dari jauh, masih dalam negara yang sama. Tapi entahlah, Jani begitu berbeda.

"Hem, baiklah kita berangkat sekarang. Tunggu Ibu mengunci pintu dulu."

Mereka pun berjalan beriringan dengan sesekali bersenandung sholawat. Kesedihan mereka sedikit teralihkan dengan cara seperti ini.

"Jani, nanti sampai di rumah ada hal penting yang akan ibu katakan. Tapi kamu harus berjanji sama Ibumu yang tua ini. Jika kamu akan menerimanya dengan kuat dan lapang dada. " ucapan Ibunya membuat Jani menoleh bingung.

"Iya Jani janji. Sudah jangan serius dulu. Sekarang waktunya kita bahagia dan lupakan semuanya ya Bu. "

Ibunya hanya menganggum menyetujui. Dia bangga memiliki putri kecilnya itu. Putri yang bukan hanya parasnya saja yang cantik. Tetapi hatinya juga cantik melebihi parasnya.

*****

Jangan lupa voment-nya

Maafkan jika kurang berkenan di hati kalian wahai pembaca. Ini adalah cerita pertama saya . Saya mohon pemakluman dari kalian untuk penulis abal-abal, kw-kw-an ini ya. Makasihhh😆

Tuntunan Malaikat tak Bersayap [Revisi!!]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang