"arsaka habib, pikeeeet!" teriak eva membacakan jadwal piket hari selasa.
habib saat itu bukannya piket malah rebahan mentang-mentang kelasnya pake karpet. dia juga bawa bantal kalo sewaktu-waktu dia ngantuk. bener-bener gak ada niat belajar.
"bentar dulu sih, jeng. gue ngantuk parah." si habib bangun, eva pikir dia mau piket, ternyata bangun buat ngambil bantal.
"HABEEEEB, LO PIKET ATAU GUA PATAHIN TULANG LO?"
iya, seorang dhiajeng shareva ini pemegang sabuk hitam taekwondo tingkat empat. mungkin sekali pukulan bisa membuat habib ga masuk satu bulan.
mata habib langsung melotot ketakutan, seakan dikejar malaikat maut, habib dengan sigap mengambil vacuum cleaner.
"iya jeng iya, gue lagi piket ini."
*****
mungkin tak banyak yang tau rahasia seorang rashina novalia, karena tempat ia berbagi cerita hanyalah satu.
iya, atap sekolah.
seakan jadi saksi bisu segala sesuatu yang rara ceritakan, mulai dari keadaan rumah, hingga keadaan sekolah, ataupun keadaan rara sekalipun.
atap sekolahlah saksi bisu teman sejawatnya, hanan shafira, melompat dari lantai paling atas sebelum ia menangis dan memaki-maki orang orang yang telah merundungnya.
sungguh miris, pikir rara. tapi yang rara pikirkan adalah rara masih takut mati, rara masih takut untuk menyakiti diri sendiri, karena kadang rara masih merasa rara adalah kado istimewa dari tuhan untuk orang tuanya, namun yang terjadi adalah sebaliknya.
sekarang ia sedang melepas sepatunya, menunggu malaikat maut menjemputnya di bawah, dan melewati pagar pembatas.
"rara."
untung aja nggak kaget, karena jarak pembatas tinggal sejengkal lagi.
"lo jangan mati."
"kenapa?" tanya rara pada pria yang tak dikenalnya itu.
"kalo lo mati gue pengen ikutan jadinya."
"lo tau gue darimana sih?" ketusnya.
"terus sekolah mewajibkan setiap siswa pake papan nama itu sebuah peraturan yang gak penting ya?"
"lo aneh."
"halo rara, gua aneh. apa gua udah cukup aneh buat lo sebut aneh?"
"terserah lo ya, minggir gue mau lompat."
"lo turun sekarang atau gue bilang ke orang tua lo saat ini juga?"
"gak usah bawa-bawa orang tua gue. lo tau apa soal mereka."
"lo tau apa soal mereka? bukannya lo yang ngelawan terus sama orang tua lo tanpa lo tau apa yang sebenernya terjadi sama mereka."
rara terdiam, kalut dengan pikirannya sendiri.
"lagian kalo lo mau bunuh diri sekarang, lo bakal ditolongin sama pihak sekolah karena ini masih istirahat kedua. yang ada lo nyusahin doang, orang-orang pada mau sholat dan lo malah darah-darahan, gabut lo aneh banget pengen loncat dari atap." lanjutnya.
"bawel." ketus rara yang tanpa ia sadari, ia malah turun dari pagar pembatas, mungkin ia sadar perkataan cowok ini ada benarnya.
"bawal bawel nyatanya lo malah turun juga." sahut cowok itu sambil tertawa menang.
rara hanya diam sambil memakai sepatunya.
"anyway, kita belum kenalan." kata cowok itu memperhatikan gerak-gerik rara.
"ga perlu kenalan, lo udah tau gue kan." rara mengambil bekal yang letaknya nggak jauh dari tempat ia berdiri.
"tapi lo belum tau gue, sayang." si cowok mengeluarkan pemantik lalu menghidupkan rokoknya di depan rara.
"bacot."
"gua angkasa julian. lo bisa aja manggil gue julian, asal jangan panjul."
"oke, panjul. udah?"
julian tertawa, hampir ia tersedak asap rokoknya sendiri.
"lo ngerti adab bicara gak sih, kok garang banget sama gue?"
"lo ngerti adab sopan santun ga sih, kok bisa-bisanya ngerokok di depan perokok pasif kaya gue." rara berlalu sambil membawa kotak bekalnya keluar dari atap sekolah.
sekarang, giliran julian yang kalut. bisa-bisanya ada cewek yang membalikkan kata-katanya.
namun setelah keluar dari atap, ada satu hal yang julian baru sadari.
ada sebuah diari di tempat rara duduk tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
huru hara ; millenium sq
Fanfictiondan disinilah mereka berdiri. pemuda dan dara 17 tahun, berkumpul tanpa tujuan, dan hidup tanpa mimpi.