- Part 3 -

134 8 0
                                    

Aku terbangun karena suara bell apartemenku. Aku mendengus kesal, karena siapapun yang datang dia sudah benar-benar mengganggu hari minggu pagiku yang seharusnya aku lewati dengan bermalas-malas di atas kasur. Hanya hari minggu aku bisa bermalas-malasan, karena di hari lain pagi-pagi sekali aku sudah disibukkan dengan persiapan ke kantor. Setelah mencuci muka dan mengikat rambutku asal, aku melangkah menuju pintu apartemenku untuk membukakan pintu.

“Kau !!” Pekikku kaget saat melihat siapa yang datang. Segera saja aku kembali menutup pintu apartemenku, aku tak mau bertemu dengannya. Namun dengan sigap, dia menahannya sehingga pintu kembali terbuka. Tentu saja, tenaganya jelas lebih besar di bandingkan denganku.

“Naura, ku mohon.. Kita perlu bicara.” Katanya, masih dibalik pintu karena aku masih berusaha untuk menutup pintu.

“Apa lagi yang harus dibicarakan ? Kita sudah selesai, Kalva !”

“Naura, tolong beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya. Aku tahu aku salah, aku minta maaf walaupun aku tahu mungkin aku tak akan bisa mendapatkan maaf itu darimu.”

Aku memejamkan kedua mataku, berusaha mengatur nafasku sebelum menatapnya, “Sebaiknya kau pergi. Kita sudah selesai, jadi tak ada lagi yang perlu kita bicarakan.”

Tubuhku menegang saat secara tiba-tiba dia langsung memelukku dengan erat, “Ku mohon Naura, sebentar saja ..” pintanya.

Aku menyerah, ini untuk yang terakhir kalinya. Aku mempersilahkan dia masuk dan duduk di sofa, sedangkan aku duduk di sofa yang berbeda dengannya, menunggunya mulai bicara. Dia masih menatapku dalam, “Jadi ?” tanyaku karena dia hanya diam selama beberapa menit.

Dia tampak menarik nafas dan menghembuskannya kasar, “Aku minta maaf. Waktu itu aku khilaf, wanita itu .. wanita itu namanya Marissa. Marissa selalu datang dan menggodaku dengan segala yang ia punya. Sedangkan waktu itu kau juga sedang sibuk dengan skripsimu. Aku harus bagaimana ? Aku lelaki normal, Ra.. Meskipun awalnya aku menolak, tapi akhirnya aku .. aku .. ”  Dia tak melanjutkan kalimatnya, wajahnya tampak frustasi.

Aku masih menunggu dia melanjutkan kalimatnya, mataku menatapnya intens. Aku tak peduli pada kenyataan yang sebenarnya. Aku ingin melupakan semuanya karena bagaimanapun alasannya, dia telah mengkhianatiku. Dia telah menorehkan luka yang hingga saat ini masih membekas bahkan masih terasa perih saat aku mengingatnya.

“Naura, hubunganku dan Marissa hanya sebatas sama-sama suka, kita hanya sama-sama saling membutuhkan. Aku, aku hanya mencintaimu, Ra. Sungguh ! Hari itu juga aku langsung memutuskan hubunganku dengan Marissa. Aku tak mau kehilanganmu, Naura. Aku sudah mencoba menghubungimu dan mendatangi apartemenmu yang dulu, tapi aku tak menemukan apapun. Aku ingin memperbaiki semuanya, Ra, bersama denganmu. Aku mencintaimu bahkan hingga saat ini.” Matanya menatapku tajam penuh kesungguhan. Tangannya terulur ingin meraih tanganku, namun dengan segera aku menjauhkan tanganku darinya.

Apa ini ? Kenapa dadaku terasa sesak ?  Ayolah Naura, kau tidak boleh termakan oleh rayuannya lagi.  Dia menatapku, dan tatapannya seperti ... terluka ? Tidak. Aku yang terluka disini, aku yang tersakiti, aku yang terkhianati. Dia tak tahu apapun tentang hatiku. Tidak sedikitpun. Dia hanya memikirkan perasaannya tanpa mau melihat bagaimana perasaanku.

Tidak. Aku harus menyelesaikan semuanya sekarang. Pembicaraan ini hanya membuang waktuku saja, aku harus mengakhirinya. Aku bangkit dari dudukku, “Apa kau sudah selesai ? Kalo sudah, sebaiknya kau segera pergi.” Kataku tanpa mau melihatnya.

“Naura, lalu bagaimana dengan kita ?” Tanyanya ikut berdiri.

“Kita sudah selesai. Apa itu kurang jelas untukmu ?”

Dan Akhirnya ,,,Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang