01 | Seiring Berjalannya Waktu

1.1K 31 12
                                    

Kita bukanlah sesuatu yang sama. Mereka bilang kita bisa saling melengkapi, nyatanya kita sibuk dengan perbedaan ini. Bahwa faktanya, mereka yang mengerti dunia kita jauh lebih menyenangkan.

BEAUTIFUL LIAR

×

LIMA TAHUN KEMUDIAN.

"Nya, mau dicium apa dipeluk?"

"Apaan, sih, Mas? Kayak ABG aja."

"Namanya juga usaha, Nya." Genta melingkarkan tangan di perut Anya. Tangan jahilnya mulai menelusup masuk ke dalam baju yang Anya kenakan. "Minggu kemarin dapet, sekarang mau alasan apalagi? Kangen..."

"Capek, Mas."

Anya tahu betapa Genta membutuhkan. Lewat bagian bawah perut suaminya--yang sengaja Genta dekatkan dengan bongkahan pantat Anya, Anya tahu jika Genta sangat siap. Hanya saja, Anya benar-benar tidak bisa. Tubuhnya sangat lelah.

"Besok pagi?"

"Anya kerja. Mas juga kerja, kan?"

"Makanya resign."

"Aku 'kan sudah bilang, Mas. Aku nyaman sama teman-teman di sana. Pekerjaannya juga enggak berat walau ditarget. Anya masih nyaman sama kehidupan Anya sekarang."

"Bilang aja, kamu lebih sayang sama uang daripada aku."

"Mas. Nggak usah bahas ini. Kita sering ngomongin ini dan ujungnya bertengkar terus."

"Gaji tahunan yang meningkat, cuti tahunan, THR 200%. Pantas saja karier lebih penting dari suami."

"Mas! Anya capek! Tolong ngertiin Anya. Jangan bahas itu terus."

"Aku setiap hari ngertiin kamu, Nya. Kamu nggak pernah masak, aku ngertiin. Kamu nggak pernah bersih-bersih rumah, aku ngertiin. Kamu nggak siapkan aku baju untuk kerja, nggak menyambut aku pulang, aku ngertiin. Lama-lama kita ini ketemu seperti orang asing, Nya. Ibarat satu rumah yang nggak memiliki hubungan."

"Mas."

"Apa? Minta pengertian apa lagi, Nya? Bahkan sekarang kamu sering menolak suami. Karna kamu capek? Kamu pikir aku nggak capek, Nya? Uang kamu bisa kamu pakai buat kebutuhan kamu sendiri, sementara aku banting tulang untuk mencukupi kebutuhan kita. Kalau kamu bilang banyak masalah pada perkerjaan kamu, sama, aku juga. Tapi saat aku pulang, dimana aku bisa mendapatkan tempat untuk menampung rasa lelah? Dimana aku bisa berkeluh kesah?"

"Anya... Mau tidur di luar."

Sebelum air mata yang Anya bendung jatuh, ia memilih untuk keluar dari kamar. Pertengkaran mereka sudah terlalu biasa terjadi. Anya yang tidak ingin melepas pekerjaannya, dan Genta yang bersikeras untuk mencukupi kebutuhan mereka.

Genta sama sekali tidak melarang Anya bekerja. Genta tetap akan bekerja dengan giat dan keras untuk keluarganya. Genta hanya perlu Anya selalu ada dan mendukungnya. Namun, ada beberapa hal yang tidak bisa Genta kendalikan di dunia ini--termasuk keinginan Anya.

"Nya, kamu janji, kan? Kalau kita punya anak maka kamu akan berhenti bekerja?"

Pertanyaan Genta membuat Anya terhenti di ambang pintu. Pertanyaan pahit yang selalu menyayat relung hati Anya.

"Besok kamu ijin. Nggak pa-pa, dong. Selama tujuh tahun kamu mengabdi di sana, kamu baru bolos sepuluh kali."

Genta memeluk Anya dari belakang. Menaruh dagu di pucuk kepala Anya. Sampai kemudian, mereka mulai melakukan ritual itu dengan posisi berdiri.

Genta membalikkan tubuh Anya, menghapus air mata istrinya yang jatuh di pipi. "Nggak usah nangis. Kita hanya perlu giat berusaha."

Ketika mereka melakukan, hanya derai air mata Anya yang tahu jika hatinya kembali hancur. Sebab, segiat apa Anya berusaha, Genta hanya menguakkan fakta jika lagi-lagi, Anya bukanlah wanita yang sempurna.

*

Genta tersenyum pedih melihat Anya berbaring tidur memunggunginya. Sebagai pekerja kantoran biasa, Genta tidak bisa sebebas Anya yang bisa absen. Ya, meskipun Anya merupakan karyawan rajin.

Tentu saja itu karena uang. Jika saja premi hadir dari perusahaan yang Anya tekuni kurang dari 7,5% gaji penuh, apakah Anya mau? Jelas tidak.

"Bangun dong, Nya. Aku mau sarapan sama masakan istriku."

"Mau dimasakin apa?"

"Hmm... Telur ceplok aja."

Anya bernapas lega, setidaknya permintaan Genta tidak terlalu muluk-muluk. Genta memang pasangan yang sempurna untuk Anya. Hanya saja, benar kata Genta. Anya istri yang buruk untuk seorang Genta Atmaja.

"Iya."

"Ya udah, pakai baju dulu, sana. Aku langsung ke kamar mandi."

"Iya."

Genta tersenyum cerah. Ia berlari ke kamar mandi tanpa menutupi tubuh telanjangnya. Hal itu tak luput dari penglihatan Anya yang mulai bergerak mengambil pakaian yang tercecer di lantai.

"Genta!! Tutupin itunya!!"

"Sudah lima tahun masih malu-malu aja, Nya. Padahal juga sering megang."

"GENTA!!"

Genta terbahak-bahak, menerima bantal yang Anya lemparkan dengan sigap. Jika mentari masih bersinar di ufuk timur, bisakah ia berbagi kehangatan? Setidaknya sedikit saja, karena Anya merasa banyak hal yang hilang setelah pernikahan mereka diikrarkan.

Oh, bukan. Lebih tepatnya, sejak Dokter mengatakan bahwa Anya mandul.

Genta, rasa cinta Anya selalu tumbuh setiap harinya. Tapi tidak ada yang tahu jika kecewa dengan diri sendiri itu, tumbuh lebih cepat berkali-kali lipat daripada perasaan cinta itu sendiri. Anya kehilangan kepercayaan diri untuk tetap bertahan di sisi Genta.

Cepat atau lambat, Genta tetap akan meninggalkannya.

"Telor ceplok?" Anya menahan air matanya. Lagi-lagi, Anya benar-benar tidak berguna untuk hal-hal sederhana.

------

HOLAAAAAA

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR.

Beautiful LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang