1. Keluarga menyebalkan

3.8K 224 15
                                    


Bagi semua orang keluarga adalah nomor satu. Keluarga sumber kebahagiaan sebelum seseorang membentuk keluarga lain. Tapi tidak, itu tidak berlaku bagi Hani. Ya, bahkan dia membenci nama belakang yang disandangnya. Hani Heigedirta. Jika dia bisa memilih, dia lebih memilih menyandang nama belakang milik ayah tirinya, oh ralat, mantan ayah tirinya. Sayang, menurut aturan apa pun yang terjadi seseorang tidak boleh menghapuskan nama ayahnya, apalagi sekarang ia tinggal bersama ayahnya. Tragis bukan, setelah beberapa tahun hidup penuh ketenangan dia kembali masuk ke rumah pria pengkhianat yang bertaubat karena ibunya yang ditinggal mati ayah tirinya kembali rujuk dengan ayah kandungnya.

Harusnya ia bahagia? Tidak. Dia sudah bisa berpikir dengan jernih saat semua terjadi. Saat sang ayah dulu berselingkuh dan lebih memilih keluarganya hancur demi sang wanita lain. Lalu sekarang, saat sang wanita lain meninggalkannya demi pria lain, dia kembali mendekati ibunya? Itu menyedihkan sekali. Atau mungkin ibunyalah yang mendekati sang ayah karena meski disakiti berulang kali dan pernah merasakan cinta dari pria lain yang lebih sempurna sang ibu masih merasakan cinta yang begitu besar pada sang ayah. Kata orang, cinta pertama tidak pernah pupus. Sialan. Hani membenci perasaan dungu itu, atau mungkin ibunya yang dungu.

"Jadi Kak Hani mulai kerja di kantor Papa, ya? Asyikkk," sorak Clara yang tak lain dan tak bukan adalah adik beda ibu dengan Hani. Dia adalah anak ayah Hani dengan wanita lain sialannya itu. Mendengar antusiasmenya, Hani hanya mendengkus kesal. Hani hanya tahu satu hal tentang Clara, yaitu wanita itu sama seperti ibunya, wanita bermuka dua. Terlalu ceria demi mendapatkan simpati semua orang.

"Iya. Hari ini Kak Hani mulai kerja, Sayang. Di bagian keuangan," jawab Nidya sambil melirik Hani, memberi kode teguran karena saat sang adik tercinta membahas tentang dirinya, dia bersikap seolah tidak mendengarnya sama sekali. Hani tau, dan bisa merasakan tatapan itu meski dia tidak melihat sang ibu, tapi dia tidak perduli.

Dia masih marah juga karena dipaksa bekerja untuk Hasan, sang ayah. Dia ingin berdiri di kakinya sendiri, memiliki kehidupan mandiri tanpa sokongan harta yang diagung-agungkan ayahnya, tapi mereka memaksanya. Sekantor dengan Cecyl, saudari tirinya. Memuakkan sekali harus selalu satu meja makan dengan wanita serba modis di setiap kesempatan itu. Meski dia bersikap menyenangkan, Hani tau bahwa itu hanya agar dia tidak diusir. Hanya karena dia sadar bahwa mengikuti ibunya, dia tidak akan dianggap sama sekali. Sang ibu pecinta uang dan hidup bebas meski usianya tidak lagi muda. Dia bisa melupakan segalanya, termasuk anak kandungnya, jika sudah berkaitan dengan semua itu.

"Wah, asik dong, sekantor sama Kak Cecyl. Duh, Clara nggak sabar deh pengen lulus sekolah biar bisa barengan. Nanti semuanya kerja di sana. Enak banget." Kembali, Clara berbicara dengan ceria.

"Kamu sudah selesai, makannya?" tanya Hani pada Dito, adiknya dari hasil pernikahan ibunya dengan ayah tirinya, Bambang.

Dito melirik Hani, lalu mengitari orang-orang yang kini memperhatikannya dengan wajah gugup, lalu mengangguk kepada Hani. Hani meletakkan sendok dan garpunya, meminum susunya sampai tandas, lalu berdiri untuk beranjak.

"Sudah jam setengah tujuh. Kami berangkat duluan ya," ucap Hani tanpa melihat siapa pun.

Dito memberikan senyumnya pada semua orang, hendak menyalami ibu dan ayah barunya, tapi tidak sempat karena Hani terus berjalan cepat. Dia takut ketinggalan jadi dia segera mengejar Hani.

"Kenapa anak itu tidak juga berubah," geram Hasan sambil menggelengkan kepalanya. Dia sudah memberi tahu istrinya kalau untuk saat ini kandidat penerusnya yang terkuat itu Hani. Dia anak kandung tertua dan Hasan tidak memiliki anak laki-laki.

Nidya mengelus tangan sang suami lalu melemparkan senyum permintaan maaf. "Mungkin dia butuh waktu, Pa."

"Waktu? Sudah empat tahun berlalu!"

To be your wifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang