3. Perjodohan

1.3K 202 3
                                    


Beberapa hari setelah Hani menjumpai pemilik yayasan, Dito mendatangi Hani ke kamarnya. Wajah adiknya itu terlihat muram. Dia menghampiri Hani lalu memeluknya. Hani tentu saja kaget. Apalagi, ia merasa tubuh adiknya itu bergetar. Dito menangis.

"Dit, kamu kenapa?" tanya Hani ketakutan. Pikirannya menebak yang tidak-tidak, kalau ternyata setelah pemilik yayasan mengambil sikap dan memberikan ganjaran, anak-anak itu malah semakin parah mengerjai Dito.

"Maafin Dito, Kak. Dito udah kasar sama Kakak waktu itu. Dito Cuma nggak mau Kakak kepikiran. Dito sayang Kakak," ucap Dito masih tidak mau melepaskan pelukannya.

Hani membalas pelukan Dito, mengelus lembut punggung sang adik. "Kakak sudah maafkan, kok. Sudah, jangan nangis. Anak laki-laki harus kuat loh, harus tegar. Jangan cengeng."

Dito melepaskan pelukannya, menarik napas panjang lalu mengangguk. Dia menghapus air matanya, lalu tersenyum lebar. "Dito nyusahi Kakak terus ya," ucapnya.

"Dit, kamu nggak nyusahin kok. Kamu itu adik Kakak jadi wajar aja kalau kamu cerita ke Kakak masalah kamu."

"Makasih ya, Kak. Oh ya, memangnya Kakak ngelakuin apa sih, kok sampai mereka nggak berani lagi ganggu Dito?"

Hani terdiam sejenak. Jadi, adiknya ini sudah tau kalau dia telah melakukan sesuatu? Jadi, pemilik yayasan itu menepati janjinya untuk memberikan tegas?

Hani tersenyum, menarik Dito untuk duduk di sofa lalu mulai bercerita. Dia ingin Dito memetik pelajaran bahwa untuk menghentikan kekerasan tidak harus dengan kekerasan, bahwa untuk menghentikan sesuatu yang jahat, tidak harus dengan perbuatan yang memancing perhatian. Cukup gunakan akal maka semua akan terselesaikan dengan lebih rapi dan memuaskan.

***

"Hani, senyumnya," tegur Nidya. Mereka sedang duduk di salah satu restaurant, berhadapan dengan keluarga Atthar.

Hani menghela napas panjang, tadinya tidak mau mengikuti saran Nidya, tapi dia cukup tau diri. Keluarga di hadapannya ini sudah berjasa dalam membantunya membela Dito. Dia melebarkan bibirnya meski rasanya canggung. Tamat kuliah ternyata membuatnya harus menjalani beberapa hal memuakkan, termasuk makan malam dengan kenalan keluarga.

Wajar saja dari tadi dia yang sibuk mendapatkan peringatan. Selain karena dia yang sibuk membangkang, tidak semanis kedua perempuan muda lainnya dari keluarga Heigedirta, dia juga merupakan keturunan asli dari sepasang suami istri Heigedirta, juga pewaris. Tentunya dia sudah harus dipersiapkan dari sekarang tentang bagaimana membina hubungan baik dengan sesame pebisnis, bukan?

"Ayu, ya," ucap mama Atthar yang menatap ke arah Hani.

Kening Hani berkerut. "Maaf, Tante, tapi nama saya Hani, bukan Ayu." Sontak kening Hani tambah berkerut saat mendengar gemuruh tawa dari keluarga Atthar yang kemudian diikuti keluarga Hani.

"Ayu itu artinya cantik, Kakak," ucap adik lelaki Atthar yang sepertinya sebaya dengan Dito.

Hani membulatkan bibirnya, wajahnya merona karena merasa malu. Saat semua masih menatapinya, dia bertambah canggung. "Apa?" tanyanya pada keluarganya.

"Jadi, kamu baru tamat kuliah, ya? Jadi, umur kamu berapa? Dua puluh satu? Dua puluh dua? Dua puluh tiga?"

"Pa, nebak itu sedikit aja, jangan banyak-banyak. Durasi," ucap Atthar menyela ucapan papanya.

Kembali, keluarga itu tertawa. Jika Hani beranggapan keluarga pebisnis itu kaku, maka semua terbantahkan malam ini. Dua kali bertemu dengan keluarga Atthar, dia merasa keluarga Atthar lebih hangat dari keluarganya. Bahkan, dengan sinis Hani menambahkan dalam hati, keluarga itu sepertinya dipenuhi cinta. Keakraban antara orang tua dan anak terjalin begitu harmonis. Membuatnya mual karena benci. Terlalu malu untuk mengakui bahwa sebenarnya dia hanya merasa iri.

To be your wifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang