Dumai adalah gadis biasa, yang lebih tahu berapa skor yang didapatkan para pemain bulu tangkis di segala turnamen daripada jadwal update film romansa terbaru yang akan tayang di bioskop. Dumai menjadikan pebulu tangkis andalannya sebagai junjungan d...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
[]
Angin bertiup sangat kencang ketika waktu mengantar Jakarta pada siangnya. Mentari di atas sana sedang menjadi raja, sementara manusia di bumi sedang mengiba pada langit untuk setidaknya memperkerjakan awan agar menggumpal dan memasang badan di hadapan matahari. Atau lebih ringkasnya, agar langit sedikit meredup dan sinar UV tidak membakar kulit mereka secara menerus.
Bagi aku cuaca seperti itu enaknya bersantai di rumah, dengan menyalakan kipas angin atau ac serta ditemani segelas jus dingin yang baru saja dituang dari mesin blender lalu meneguknya dalam sekali tegukkan. Segar. Namun, sayangnya itu hanya hal-hal yang menjadi khayalan. Karena kenyataan membawa aku untuk tetap berada di sekolah. Sedang menanti makan siang di kantin, karena bel istirahat kedua baru saja berbunyi.
Dua menit lalu aku baru saja ke luar dari kelas karena tarikan dari Ochi yang memaksaku----menyeretku untuk segera tiba di kantin. Dan saat ini kami berdua sedang berjalan cepat di koridor seolah bermain siapa cepat ke kantin dia yang menang dengan yang lainnya.
"Dumaaai, sumpah perut gue udah nggak bisa ditahan lagi. Udah laper stadium akut ini!" gerutu Ochi entah yang keberapa----dan selalu kujawab dengan helaan napas.
"Ya, yang sabar jadi manusia. Kaki cuma ada dua, kecepatannya belum bisa ngalahin kendaraan bermotor. Terus lo suka lupa deh, jarak kantin dari kelas kita itu lumayan jauh, nyampe depan lapangan aja ini belum!" balasku kesal, menarik tangan dari genggaman Ochi dan memelankan langkah.
"Perasaan gue kantin deket, tapi kenapa ini jadi jauh banget, ya?"
Aku berdecak sambil memutar bola mata malas. "Dari dulu juga jaraknya emang segitu! Lo pikir sekolah kita ini semacam squishy yang bisa mengerut terus lebar lagi!"
"Tapi Dumai----ah, lo nggak bakalan ngerti. Bodo amat gue ngambek sama lo!" ujar Ochi ketus dengan matanya yang sinis.
Aku mengedikkan bahu. Menatap punggung Ochi yang beberapa langkah di depanku. Chi, kalau kamu tahu aku juga lapar. Banget. Namun, aku tahan-tahan karena kalau ngomong terus kayak kamu laparku malah bertambah!
Aku membiarkan Ochi berjalan terlebih dahulu dan aku juga tidak punya niat untuk menyusulnya. Bagiku jalan cepat atau pelan sama saja, pasti sampai di kantin nanti harus mengantre juga. Karena bukan cuma aku dan Ochi manusia-manusia kelaparan di pukul sepuluh lewat lima menit hari ini.
Kakiku baru saja sampai di koridor dekat lapangan utama sekolah, ketika melihat Ochi----yang tadi mengaku kelaparan sedang berdiri di pinggir lapangan, berteriak, kemudian tertawa terbahak-bahak. Ada gitu orang kayak Ochi, tadi merengek minta cepat-cepat ke kantin sekarang tetiba nongkrong di sini. Heran aku sama pemikirannya.
"CHI!" aku meneriaki namanya kencang.
Kepala Ochi menengok, tangannya melambai menyuruhku mendekat ke arahnya.