Bagian 00; Prolog.

118 30 46
                                    

[]

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


[]

"Twenty all."

"HUH!"

Kor suara semangat itu terdengar ketika kok menyentuh daerah kubu pertahanan lawan. 20-20. Game point pertama gugur, digantikan dengan poin seri ----game point yang gagal dimenangkan oleh kubu dari SMA Jantung Negara. Di tribun, semua penonton kompak menundukkan kepala, sesekali dengan pandangan waswas melihat ke arah lapangan tanding. Harapan dari mereka adalah Pahlawan yang dipercaya sekolah dalam pertandingan kali ini dapat menyabet game point terakhir di set dua untuk pertandingan final. Dan tentu saja kemenangan ada di pihak sekolah yang masing-masing mereka banggakan.

"SA-TU NU-SA!"

"JANG-TUNG N'GARA!"

Sorak sorai antara dua kubu penonton terdengar, sesaat kok mulai dipukul kembali. Kali ini, keberuntungan ada di pihak SMK Satu Nusa, pemainnya menyervis kok dengan baik.

"SE-MA-NGAT! SA-TU NU-SA! PASTI BISA! HUUUUUWA! DIGDAYA KAMI BERSAMAMU!"

Seolah tidak mau kalah dengan performa kubu lawan yang sedari tadi meneriaki yel-yel penuh semangat, Tribun kanan----yang dipenuhi oleh pendukung SMK Satu Nusa kembali mengeluarkan kor teriakannya. Membuat suasana gor semakin ricuh dan tentu saja menjadi jembatan semangat untuk para Pahlawan yang sedang bermain merebut kemenangan demi harga diri sekolah di lapangan sana, ketika Digdaya berhasil mengubah skor menjadi 21-20.

"Gila, performa si Daya kali ini mantap banget! Jadi nge-fans gue sama doi!" di antara ricuhnya kor penyemangat di gor Semangaria seorang cewek yang juga menjadi pendukung pertandingan kali ini berceloteh.

Sementara teman sebelahnya hanya menekuk wajah kesal. "Nggak sehebat itu!"

"Dumaaai, akui saja kalau Daya sehebat itu. Nggak usah gengsi. Please, deh, bencinya ditunda dulu. Sekarang ayo kita semangatin Daya lagi, satu poin lagi Daya bakalan menang! Sekolah kita menang!"

Dumai hanya berdecak kesal. Alih-alih meladeni Ochi, Dumai lebih memilih menepuk kedua balon penyemangat di tangannya dengan keras. Berusaha menenangkan diri, dan kembali menikmati pertandingan babak final 02SN kali ini. Pandangan matanya Dumai buang ke arah lapangan sana, melihat bagaimana Digdaya mencoba bermain dengan kefokusan tingkat tinggi. Kaki panjangnya berlari, melompat, ke segala arah, mengikuti ke mana kok itu akan melambung lalu jatuh. Keringat di dahinya bercucuran. Dan baju Digdaya sudah basah lepek. Dumai yakin itu pasti sangat lengket.

Rally panjang terjadi, sepertinya sangat susah bagi Digdaya untuk mendapat satu poin lagi dan menyelesaikan pertandingan sebagai pemenang. Hingga pukulan itu datang, ketika Digdaya membagi lawan lambungan bola tinggi dan dibalas lawan dengan smash tajam ke arah belakang. Waktu seakan melambat. Seperti fitur slow motion semuanya terasa nyata, bagaimana iris hitam Digdaya mengikuti arah kok dan akhirnya kok terjatuh jauh di belakang sana, keluar dari area lapangan.

Sekonyong-konyongnya Dumai melihat Digdaya menjatuhkan diri. Bersujud dengan raket kebanggaannya yang masih berada digenggaman jari, sebelum mengadahkan kepala tersenyum ke arah tribun Satu Nusa sambil matanya berkaca-kaca.

"YEAH DIGDAYA! HEBAAAT! GUE TAHU LO BISA!"

"DIGDAYAAAAA! BESOK KANTIN GRATIIIS, WUHUUUUUU!"

Dumai masih membisu sedangkan Ochi sudah seperti supporter Satu Nusa lainnya, berteriak heboh dan menyerukan nama Digdaya dengan teriakan penuh. Teriakan yang Dumai artikan sebagai rasa bangga sekaligus terima kasis atas kerja keras Digdaya yang membuahkan hasil yang sangat diharapkan.

"Dia memang nggak sehebat Kento Momota pembulu tangkis dari negeri Sakura yang mati-matian lo junjung. Dia juga bukan Lin Dan si penguasa lapangan dari negeri Tirai Bambu sana. Apalagi Jojo, pembulu tangkis yang digilai seluruh rakyat Indonesia. Tapi dia Digdaya, pahlawan Satu Nusa dari masa ke masa. Lo patut melebelinya dengan kata 'bangga' walau gue tahu hubungan lo dengan dia jauh dari kata baik!" Ochi berujar panjang dan pelan, sambil tangannya menepuk pundak kiri Dumai lalu kembali menyorakkan nama Digdaya.

Perlahan tanpa Dumai sadari sendiri bibirnya mengulas senyum. Matanya masih menelisik raut muka gembira Digdaya di lapangan sana yang sedang bersalaman dengan lawan. Hingga tanpa sadar, bibirnya terbuka tepat pada saat mata Digdaya sedang menjatuhkan tatapan pada dirinya.

"Selamat, lo hebat."

Tiga kata keluar. Entah Dumai sadar atau tidak, yang pasti kalimatnya dijawab anggukkan dan cengiran lebar Digdaya dari bawah sana.

[]

Depok, Rabu, 31 Oktober 2018
2:30 PM.
[Revisi: 5 November 2018. 8:01 PM]

----rani yang mencintai Momota sepenuh hati, HEHE----

#GrasindoStoryInc
grasindostoryinc

Halo sesama pengikut kompetisi grasindo! salam kenal kalau-kalau kamu menemukan ceritaku ini. Sila dibaca jika berkenan. Sila beri kritik dan saran bila menurutmu ada yang kurang pas. Sila koreksi si typo kalau dia muncul. Sila pencet bintang atau komentar jika ingin, hehe.

🌼Gomawo🌼

Badmeandone!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang